Kamis 11 Aug 2016 13:00 WIB

Narkoba dan Penegak Hukum

Red:

Barangkali desas-desus mengenai adanya oknum penegak hukum yang terlibat dalam bisnis narkoba sudah bukan lagi menjadi barang baru di telinga masyarakat. Terlebih, fakta di lapangan pun menunjukkan bahwa tidak sedikit oknum penegak hukum yang memang terlibat dalam bisnis narkoba, baik sebagai pengguna, pengedar, maupun beking bandar narkoba. Misalnya, Letkol Caj Wahid Wahyudi dan Serma Safril Irawan yang terbukti terlibat dalam peredaran seribu butir pil ekstasi. Selain itu, masih ada nama-nama lain seperti Kolonel Inf Jefri Oktavian Rotti, Mayor Joko Suwarno, Aipda Sugito, dan Bripka Bahri Afrianto yang notabene adalah penegak hukum, tetapi juga malah terlibat dalam bisnis narkoba.

Oleh karena itu, terhadap adanya informasi baru mengenai keterlibatan oknum penegak hukum dalam bisnis narkoba, semestinya disikapi secara bijak dan konstruktif oleh institusi penegak hukum. Sehingga, ke depan ada kepastian hukum mengenai benar dan tidaknya keterlibatan oknum penegak hukum yang disebutkan dalam informasi tersebut.

Hanya saja, dalam konteks penegakan hukum di negeri ini, hal-hal yang bersinggungan langsung dengan internal institusi penegak hukum itu sendiri lazimnya memang sulit tersentuh. Jika tersentuh pun, hasilnya kerap tidak transparan dan akuntabel. Salah satu contoh kasus yang masih begitu diingat penulis yakni dugaan tindak pidana korupsi pengadaan alat simulator SIM oleh mantan kepala Korps Lalu Lintas Polri, Irjen Djoko Susilo. Ketika itu, berbarengan dengan investigasi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mabes Polri juga melakukan investigasi internal yang hasilnya menyebutkan bahwa tidak ditemukan unsur-unsur korupsi dalam proyek pengadaan alat simulator SIM tersebut. Padahal, dalam proses persidangan Irjen Djoko Susilo dinyatakan terbukti melakukan korupsi. Bahkan, di tingkat kasasi vonis hukuman Irjen Djoko Susilo diperberat menjadi 18 tahun penjara.

Resistensi hukum

Celakanya, pola resistensi penegakan hukum demikian tampaknya malah kembali dipertontonkan oleh institusi penegak hukum negeri ini. Pasca-Haris Azhar mengunggah informasi mengenai adanya keterlibatan oknum TNI, Polri, dan BNN dalam bisnis narkoba Freddy Budiman di media sosial, ketiga institusi penegak hukum itu langsung bergerak cepat dengan melaporkan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) tersebut ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri atas sangkaan pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3 UU ITE).

Belakangan, upaya tersebut diikuti dengan membentuk tim yang konon katanya independen oleh masing-masing institusi penegak hukum tersebut. Namun, di dalam tim masing-masing itu, baik tim independen versi Polri, TNI, maupun BNN faktanya masih 'disusupi' oleh orang dari internal institusi penegak hukum masing-masing. Maka, mudah ditebak hasil investigasinya nanti pun tak akan transparan dan akuntabel sebagaimana yang pernah terjadi pada hasil investigasi dugaan korupsi pengadaan alat simulator SIM oleh tim internal Polri.

Kecuali, dari perspektif penegakan hukum substansi utama persoalan jelas berpotensi terabaikan. Setiap institusi penegak hukum nantinya hanya akan sibuk beradu argumentasi tentang pencemaran nama baik di pengadilan. Sementara, pokok persoalan mengenai adanya oknum penegak hukum yang terlibat melanggengkan bisnis haram narkoba Freddy Budiman tidak akan pernah tersentuh. Padahal, merujuk pengakuan Freddy Budiman, bila benar adanya, aliran dana yang masuk ke kantong oknum-oknum penegak hukum tersebut jumlahnya sangat fantastis, yakni Rp 90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri dan Rp 140 miliar ke oknum BNN.

Maka, investigasi secara komprehensif harus betul-betul dilakukan agar lingkaran setan bisnis narkoba dapat terputus. Jika tidak, maka sebagaimana yang dikemukakan oleh advokat senior, Todung Mulya Lubis, perkawinan antara kekuasaan (baca: penegak hukum) dan bandar narkoba akan terus terjadi. Itu berarti, bisnis narkoba akan terus ada, bahkan berpotensi berkembang jauh lebih pesat dari kondisi saat ini.

Membentuk tim independen

Untuk saat ini, opsi yang bisa dilakukan hanyalah mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar segera membentuk tim independen. Terlebih, Presiden Jokowi sendiri telah mengakui bila negeri ini sedang mengalami darurat narkoba. Maka, jika ada informasi dugaan tindak pidana narkoba, terlebih yang mengarah pada keterlibatan oknum penegak hukum investigasi serius mesti dilakukan. Namun, yang perlu menjadi catatan, dalam pembentukan tim independen itu Presiden Jokowi mutlak tidak boleh melibatkan unsur Polri, TNI, maupun BNN. Mafhum disadari, ketiga institusi penegak hukum tersebut saat ini sedang terseret namanya ke dalam lingkaran bisnis narkoba, karena ada oknum di dalamnya yang diduga berperan dalam melanggengkan bisnis narkoba Freddy Budiman. Oleh karena itu, adanya unsur ketiga institusi penegak hukum tersebut nantinya jelas hanya akan menyebabkan conflict of interest saja, baik terkait proses maupun hasil investigasi tim indepenen tersebut.

Di sisi lain, institusi-institusi penegak hukum terkait juga tidak perlu khawatir ataupun malah menghalang-halangi pembentukan tim independen ini. Namun, yang perlu dilakukan justru sebaliknya, yakni ikut mendorong Presiden Jokowi agar segera membentuk tim yang betul-betul independen tersebut. Selain itu, pelbagai bentuk resistensi hukum lain, tak terkecuali pelaporan Haris Azhar ke Bareskrim Polri, juga harus dicabut. Dengan demikian, apa pun hasil investigasinya, masyarakat tentu akan tetap memberikan apresiasi positif terhadap keberanian dan sikap legowo institusi-institusi penegak hukum terkait itu. Pada akhirnya, bukan tidak mungkin integritas dan kepercayaan publik pada Polri, TNI, dan BNN malah akan meningkat signifikan. Wallahu a'lam bisshawab.

Sumarsih

Staf Peneliti Alwi Research and Consulting

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement