Jumat 29 Jul 2016 14:55 WIB

MTQ dan Cita Revolusi Mental

Red:

Sejak digelar secara nasional pada 1968, Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) telah menyuguhkan kehangatan spiritual dan pesona budaya keagamaan khas Indonesia. Bagi umat Islam Indonesia, MTQ tidak hanya menjadi cermin kesalihan spiritual, tetapi lebih dari itu, amat kental dengan gambaran aktivisme sosial keagamaan.

Hal ini tergambar ketika hampir seluruh komponen umat terlibat dalam kegiatan tersebut dan memfungsikannya sebagai wahana syiar Islam yang diracik dalam konteks kebudayaan lokal yang Islami. Singkatnya, MTQ menjadi program nasional yang benar-benar dirasakan kehadirannya oleh masyarakat, bahkan pada tataran tertentu menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan di bidang keagamaan.

Di sisi lain, penyelenggaran MTQ, terutama pada level regional, telah pula membangkitkan gairah dan motivasi yang kuat bagi generasi muda untuk senantiasa memelihara kesucian dan meningkatkan kecintaan terhadap kitab suci Alquran lewat pembudayaan membaca, menghafal, memahami, serta upaya mengamalkan isi dan kandungannya dalam kehidupan yang sesungguhnya, baik sebagai individu maupun sebagai warga negara.

Ekspos seremonial MTQ juga sangat dominan mewarnai altar-altar media massa nasional dan daerah. Alhasil, penghargaan terhadap mereka yang berhasil meraih predikat terbaik adalah sebuah keniscayaan dan menjadi impian setiap generasi muda yang gandrung dengan seni baca Alquran dan studi ilmu-ilmu Alquran pada umumnya.

Mentalitas budaya keagamaan

Dalam potret budaya masyarakat Indonesia, MTQ telah menjadi perhelatan keagamaan yang populer dan fenomenal. Bahkan, kegiatan yang dilakukan secara berjenjang dan berkala ini telah sukses menciptakan suatu pola atau paradigma baru keberagamaan umat Islam Indonesia yang khas. MTQ tidak sekadar mempertontonkan eksklusivitas spiritual, tetapi ia juga membawa nilai-nilai pluralitas yang tecermin dari nuansa tradisi yang mengemuka dalam hiruk-pikuk hajatan tahunan tersebut.

Namun, hiruk-pikuk dan kemegahan MTQ--dengan segala manfaat dan kegunaan yang ditimbulkannya--tidak berarti sepi dari kritik. Banyak pihak merasa pesimistis, bahkan pada tataran tertentu bersikap apatis--terhadap penyelenggaraan MTQ yang dianggap tak ubahnya pesta pora dan pemborosan uang negara.

Munculnya reaksi pejoratif dari beberapa kalangan tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, bahwa tidak semua komponen bangsa memahami secara bijak terhadap substansi dan makna strategis di balik penyelenggaraan MTQ sehingga melupakan arti penting dan mahalnya ongkos untuk sebuah syiar keagamaan.

Kedua, perjalanan waktu telah menempatkan perhelatan MTQ tidak sekadar menjadi wahana pembinaan masyarakat dalam bidang kegamaan. Kini, tidak jarang momentum MTQ menjadi ajang mempertaruhkan prestise yang berimplikasi serius secara politis. Akibatnya, dalam kasus-kasus tertentu, politisasi MTQ menjadi tak terelakkan. Tindakan melanggar hukum untuk sekadar memperoleh kejuaraan menjadi hal yang lumrah atau bahkan menjadi tradisi yang dilakukan secara sadar dan sistematis. Kondisi semacam inilah yang melahirkan kegamangan dan menurunnya muruah MTQ.

Seperti diketahui, dasar pemikiran program penyelenggaraan MTQ adalah untuk meningkatkan gairah umat Islam Indonesia, khususnya generasi muda, dalam membaca, menelaah, memahami, dan mengamalkan isi kandungan Alquran. Meski tak ada satu pun teks suci yang secara sharih menjadi dasar penyelenggaraan MTQ, tapi jika menilik manfaat dan syiar yang ditimbulkan, MTQ layak diposisikan dalam konteks "al-mashlahah al-mursalah", yakni memetik dampak positif yang ditimbulkan MTQ bagi umat.

Jika dicermati secara objektif, MTQ sejatinya menjadi momentum spiritual yang berkolaborasi dengan ruh kebudayaan. Ini berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan serupa di beberapa negeri Muslim lainnya di dunia. Perbedaan mencolok tampak jelas dari sisi ornamentasi kegiatan yang sarat dengan riuhnya tampilan kesenian dan kekhasan budaya lokal lainnya. Jadi, seremonial MTQ menjadi semacam 'pesta' budaya Muslim Indonesia yang bernuansa religius.

Tantangan sosial budaya

Kehadiran MTQ pada beberapa dekade yang lalu diakui telah melahirkan ekses spiritual dan sosial. Perhelatan ini selalu mendapat tempat di hati masyarakat. Tingginya animo dan tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap penyelenggaraannya menjadi indikator kuat kegandrungan umat dengan kegiatan ini. Mereka dengan senang hati berbondong-bondong memenuhsesaki arena musabaqah sambil terus bergumam penuh kekaguman.

Ada beberapa hal yang mendorong antusiasme masyarakat terhadap MTQ pada waktu itu. Pertama, secara sosiologis, keterbatasan akses informasi dan hiburan yang diperoleh masyarakat melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, memungkinkan mereka berkonsentrasi dengan tradisi lokal yang sangat religius. Hampir semua aktivitas kemasyarakatan berorientasi kepada pendidikan dan pembelajaran moralitas masyarakat serta selalu mencerminkan semangat keagamaan.

Kedua, secara ekonomis, tuntutan kebutuhan materi masyarakat tidak menyebabkan mereka enggan melakukan aktivitas keagamaan maupun kemasyarakatan. Boleh jadi tipologi agraris menyebabkan rendahnya obsesi terhadap materi dan kemewahan. Selain itu, keterjaminan struktur ekonomi, terutama pada paruh kekuasaan Orde Baru, nyaris tidak ada gejolak yang membuat masyarakat mengalihkan perhatian pada sisi ini.

Ketiga, secara politis, sokongan penguasa Orde Baru demikian tampak terlihat. Ini bisa dimaklumi mengingat arah kebijakan politik yang dijalankan penguasa waktu itu cenderung memberi ruang yang seluas-luasnya kepada umat Islam. Perlakuan pimpinan negara dapat dirunut dari kehadiran presiden pada setiap penyelenggaraan MTQ/STQ tingkat nasional yang kemudian diikuti oleh pejabat-pejabat pemerintahan pada level lokal.

Keempat, sebagai sebuah konsekuensi, momentum yang melibatkan massa besar akan menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan pers. Paling tidak, masih terkait dengan sokongan penguasa, media elektronik milik pemerintah, seperti RRI dan TVRI, menjadi mitra sangat setia dalam menyebarluaskan informasi kegiatan MTQ. Kondisi ini didukung posisi media "pelat merah" ini sebagai single fighter dalam ranah teknologi informasi Tanah Air.

Beberapa faktor itulah yang mengantarkan MTQ pada presisi yang unik dan seolah menjadi ikon kebudayaan Muslim nusantara. Sulit mencari pihak-pihak yang tidak mengenal dan merasakan kehadiran MTQ sebagai perhelatan kebudayaan religius. Meski masih dijumpai di beberapa daerah, terutama daerah dalam kategori rural, untuk saat ini, agaknya sulit menemukan potret penyelenggaraan MTQ dengan situasi semacam itu. MTQ saat ini, harus diakui, kian banyak menemukan tantangan. Hal ini disebabkan oleh di samping faktor eksternal di atas, adanya pergeseran orientasi dan kecenderungan para pelaksana MTQ yang sebelumnya lebih pada upaya pembinaan prestasi generasi muda beralih pada orientasi prestise yang sarat kepentingan pragmatis.

Di sinilah arti penting mengembalikan MTQ pada khitahnya. Apa yang dicanangkan Kementerian Agama melalui tema besar MTQ Nasional 2016 ini, yakni "MTQ dan Revolusi Mental", tampaknya relevan dengan semangat mengembalikan MTQ pada jalur yang genuine. Yakni, MTQ sebagai wahana pembinaan umat dan syiar keagamaan, bukan semata merengkuh prestasi, prestise, dan hasrat pragmatis. Oleh karena itu, MTQ diyakini akan dapat menghidupkan kembali mentalitas keberagamaan yang sejati.

MTQ juga harus menjadi perhelatan keagamaan yang kredibel dan akuntabel. Seluruh komponen yang terlibat di dalamnya dituntut memiliki komitmen yang tulus untuk menjaga muruah MTQ. Komitmen itu harus tecermin dalam seluruh sistem dan norma yang disepakati serta etika keagamaan.

Bagaimanapun, dengan pelbagai atribut kebudayaannya, MTQ masih dan akan terus menjadi bagian penting dari episode perjalanan sejarah sosial umat Indonesia yang tidak boleh lekang dan terhapus dari memori kolektif. Pekerjaan rumah yang mendesak saat ini adalah bagaimana mendudukkan kembali penyelengaraan MTQ kepada jalurnya yang benar untuk menyokong revolusi mental yang dicitakan bersama.

 

Ahmad Tholabi Kharlie

Wakil Dekan dan Pengajar Program Magister Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement