Kamis 28 Jul 2016 14:00 WIB

Urgensi Mengatur Layanan Fintech

Red:

Kehadiran teknologi tak hanya membawa kemudahan bagi para pengguna, tapi menimbulkan guncangan pada industri yang telah mapan. Di tengah era digital seperti saat ini, teknologi telah berhasil mengubah cara masyarakat perkotaan mengatasi tantangan dalam bertransportasi.

Meski awalnya menimbulkan konflik, tak bisa dimungkiri regulasi akhirnya harus mau mengejar ketertinggalannya mengatur teknologi. Karena, saat ini konektivitas tak hanya mencakup transportasi, beberapa industri mapan lainnya juga mau tak mau harus beradaptasi menghadapi perubahan zaman.

Salah satu industri yang mulai merasakan dampak besar dari arus digitalisasi adalah perbankan. Hasil perkawinan antara teknologi dan perbankan telah menghasilkan terminologi financial technology (fintech) yang kini telah mulai bisa kita temui di mana-mana.

Apabila awalnya fintech masih terbatas pada proses pembayaran tanpa uang fisik, kini fintech terus berevolusi dalam berbagai bentuk baru. Di antaranya, proses peminjaman uang secara peer to peer, gadai, bitcoin, hingga crowdfunding.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Accenture, investasi keseluruhan pada bidang fintech terus merangkak naik dengan nilai mencapai tiga kali lipat dalam kurun waktu 2008 hingga 2013. Bahkan, terhitung sejak 2010 hingga 2013, nilai investasi di ranah fintech berkembang hingga mencapai empat kali lipat.

Khusus di wilayah Asia Pasifik, nilai investasi ke dalam bidang fintech selama sembilan bulan pertama pada 2015 sudah mencapai 3,5 miliar dolar AS. Angka ini hampir empat kali lebih besar dari angka 880 juta dolar AS pada 2014.

Berdasarkan data Bank Dunia pada 2014, di negara berkembang, seperti Indonesia, dengan tingkat penetrasi keuangan 35,8 persen fintech ternyata dapat mengambil peran guna mempercepat perluasan jangkauan layanan keuangan.

Di Indonesia, telah hadir berbagai model layanan fintech yang gencar memperkenalkan layanannya ke masyarakat. Uang Teman memungkinkan siapa saja untuk meminjam uang sampai dengan Rp 2 juta dengan waktu pengembalian hingga 30 hari.

Selain itu, ada pula Taralite yang menyediakan layanan pinjam secara daring untuk beragam kebutuhan, seperti biaya pendidikan, pernikahan, persalinan, renovasi rumah, kredit usaha, hingga umrah.

Taralite berani memberi pinjaman pendidikan sampai Rp 300 juta dengan bunga satu dan tiga persen dengan durasi pinjam satu hingga lima tahun sesuai dengan jenis jaminan yang diberikan. Tetapi, ada sejumlah syarat dan dokumen yang diperlukan untuk bisa melakukan pinjaman, seperti kartu keluarga, slip gaji, NPWP, dan dokumen lain.

Teknologi yang hadir karena kolaborasi telekomunikasi dan perbankan ini, diakui Menteri Telekomunikasi dan Informatika Rudiantara, masih memerlukan jalan panjang dalam penerapannya. Salah satunya karena antara dua industri ini masih dalam tahap 'rebutan kue'.

Meski perbankan adalah industri yang lebih dulu ada dibanding telco, tapi penetrasinya ternyata masih tertinggal jauh. Di tengah industri telco yang telah hampir mencapai saturasi, masih tak sedikit warga Indonesia yang belum tersentuh layanan perbankan.

Kemajuan teknologi tentu tak bisa dihadang. Apabila Indonesia masih dalam tahap awal pengenalan fintech, di Amerika Serikat (AS) dan Eropa fintech sudah masuk tahap 'seleksi alam'.

US Lending Club yang merupakan salah satu perusahaan fintech terbesar di AS harus menghadapi investigasi dari Kementerian Kehakiman di sana. Satu-satunya bank digital di Jerman, Number26, juga harus tutup karena ratusan akun yang menjadi anggotanya dilaporkan melakukan terlalu banyak penarikan uang secara tak wajar.

Jatuhnya beberapa raksasa fintech membuat regulator Inggris diminta segera membuat aturan jelas mengenai praktik perbankan yang baru ini. Terutama, terkait urusan peminjaman dana secara peer to peer.

Saat ini, tentu tak ada satu pun industri yang imun terhadap disrupsi teknologi. Khusus untuk industri finansial, konflik dasar yang akan terjadi adalah fintech akan melahirkan berbagai konsep-konsep layanan baru yang sama sekali belum pernah ada sebelumnya.

Sementara, di sisi lain, bank konvensional akan mencoba mengejar, tapi terkendala besarnya investasi yang telah digelontorkan untuk berbagai layanan legacy selama ini. Berbagai turbulensi tentu pasti akan terjadi tak lama lagi.

Namun, berbagai guncangan yang ada justru bisa menjadi tanda bahwa pasar sekaligus masyarakat tengah melangkah menghampiri maturasi. Sudah menjadi sifat dasar teknologi yang memberikan disrupsi, kehadiran fintech diharapkan bisa memberikan layanan perbankan yang lebih memiliki transparansi dan simpati yang lebih tinggi kepada para nasabahnya.

Industri fintech memiliki peluang besar untuk bisa sukses di Indonesia. Tak hanya karena masyarakat kita yang sudah semakin technology savvy/, tapi juga karena menawarkan layanan perbankan yang lebih low cost dan aksesibilitas yang tinggi.

Oleh karena itu, pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keungan (OJK), sebaiknya segera merumuskan berbagai peraturan yang terkait dengan industri baru ini. Sama seperti layanan perbankan konvensional, prinsip kehati-hatian dan compliance harus menjadi standar utama.

Edukasi terhadap layanan fintech juga bisa dilakukan beriringan dengan regulasi yang dikerjakan. Yang penting, pemerintah mampu membuat sistem yang memunculkan rasa percaya masyarakat bahwa uang mereka aman meski tak bisa lagi dilihat secara fisik.

Belajar dari yang terjadi di industri transportasi, jangan sampai disrupsi menimbulkan permasalahan berskala nasional. Karena, industri fintech jelas-jelas berkaitan dengan uang yang tentunya lebih krusial ketimbang transportasi, urgensi untuk mengatur hal ini semakin tak bisa ditawar lagi.

Menggandeng stakeholder lainnya, seperti swasta, dalam hal ini, pelaku bisins manajemen cloud storage dan internet security bisa membantu menumbuhkan rasa aman pada masyarakat. 

Setyanavidita Livicansera

Wartawan Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement