Selasa 26 Jul 2016 14:00 WIB

Jati Diri Turki

Red:

Sekitar setahun yang lalu (30/7/15), Recep Tayyip Erdogan, presiden Turki, melakukan kunjungan ke Indonesia. Pada saat itu kebetulan perhatian pers banyak tertuju pada persiapan dan pelaksanaan Muktamar NU dan Muhammadiyah. Mungkin, karena dua event akbar itulah liputan tentang Erdogan saat itu tak begitu menonjol di media massa Indonesia, baik televisi, cetak, maupun daring.

Biasanya, kehadiran Erdogan di mana pun di negara berpenduduk mayoritas Muslim selalu menyedot perhatian massa secara signifikan. Bahkan, di banyak tempat ia dielu-elukan sebagai pemimpin baru dunia Islam.

Melalui Erdogan, Turki memang terus menebarkan "pengaruh" ke seluruh dunia Islam. Turki bak negara yang menebar pesona ke sana kemari setelah pencapaian stabilitas politik dan kemajuan ekonomi negara itu secara signifikan dalam satu dekade terakhir.

Melalui Erdogan dan pemimpin lainnya, Turki terlibat sangat aktif dalam berbagai pemecahan persoalan yang dihadapi dunia Islam. Mereka berupaya menawarkan solusi dan formula "Turki" bagi pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi dunia Islam, terutama dalam masalah ekonomi dan kesejahteraan, politik dan stabilitas keamanan, dan persoalan lainnya. Popularitas Turki dan Erdogan terkerek secara cepat pascaberkobarnya gerakan rakyat di sejumlah negara Arab.

Turki dan Erdogan begitu percaya diri bahwa Turki layak menjadi kiblat bagi dunia Islam saat ini dalam banyak hal. Di saat negara-negara Timur Tengah dilanda badai protes rakyat, seperti di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah, negara itu begitu aktif mengambil sikap dan memberi dukungan kepada rakyat di negara tersebut. Karena itu, pada awal-awal Arab Springs, Erdogan seperti menjadi idola baru rakyat Timur Tengah. Dalam setiap kunjungannya ke negara-negara Timur Tengah waktu itu, sambutan luar biasa datang dari lapisan luas masyarakat.

Kini, Erdogan menghadapi tantangan serius untuk mempertahankan itu semua. Di tengah tekanan hebat dari sel-sel ISIS dan Kurdistan Merdeka, ia harus menghadapi kudeta militer yang nyaris menumbangkan pemerintahannya. Sejarah kudeta Turki dan situasi yang dihadapi Erdogan saat ini bukan semata cermin demokratisasi negara itu yang kurang "beres", melainkan juga kebingungan negara dalam mencari jati dirinya.

Lebih jadi

Turki, jika mau jujur, masih dalam proses pencarian diri, dalam kebingungan yang belum berakhir. Apakah mereka mesti berkiblat ke Barat sebagaimana pernyataan konstitusinya sebagai negara sekuler ataukah mereka berkomitmen kepada keislaman sebagaimana pada masa kejayaan Ustmaniyah dahulu? Sebagaimana maklum bahwa Turki dengan ibu kota Istanbul dahulu adalah pusat kekuasaan politik Islam dengan kekuasaan yang membentang sangat-sangat luas. Masa Utsmaniyah adalah puncak capaian historis bangsa Turki.

Namun, pasca-Perang Dunia I yang menandai ambruknya kekuasaan Ustmaniyah, keislaman dan kearaban menjadi tertuduh sebagai biang dari kemunduran Turki. Mustafa Kemal membalikkan arah kiblat Turki ke Barat yang saat itu dipandang jauh lebih maju. Itulah fondasi Turki modern sekarang ini. Faktanya, sekularisme yang hampir satu abad itu tak membawa Turki menjadi bangsa disegani di dunia Islam, apalagi Barat.

Sebaliknya, rasa keislaman yang dibawa Partai AKP pimpinan Erdogan selama satu dekade terakhir telah membawa Turki kepada capaian penting negeri itu. Bangsa Turki saat ini semakin disegani di Eropa dan Amerika, tetapi juga sangat dihormati di dunia Islam. Tapi, mereka sebenarnya masih dalam kebingungan orientasi antara Barat dan keislaman sebagai basis kekuatan dan orientasinya. Faktanya, mereka sudah demikian percaya diri dan ekpansif kendati menghadapi persoalan yang begitu berat.

Sementara, keislaman Indonesia (baca: Islam Nusantara atau Islam Berkemajuan) sudah lebih jadi. Acuannya adalah sejarah dan praksis keislaman yang ada di nusantara. Di tengah arus radikalisasi agama, keislaman Indonesia memiliki signifikansi penting. Dengan tagline sebagai Islam yang rahmatal lil 'alamain, tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (berimbang), Islam Indonesia sejak lama telah menegaskan penolakannya terhadap segala bentuk ektremisme. Model Islam yang demikian sesungguhnya memiliki daya tawar tinggi di dunia Islam yang saat ini dikepung dengan agresifnya kelompok-kelompok ekstrem dan radikal. Sebab, keislaman semacam itu adalah kebutuhan yang nyata saat ini, baik itu diakui ataupun tidak oleh umat Islam di Timur Tengah.

Praktis Islam Indonesia memiliki kekayaan yang besar. Hal itu tercermin pada karya-karya budaya, baik pola laku maupun ritus yang hidup, bahkan benda, bukan semata teks yang berisi kumpulan ancaman dogma. Islam Indonesia kaya dengan fitur-fitur dan pernik budaya hidup yang merajut dan merawat solidaritas sosial dan kebangsaan secara excellent. Capaian Indonesia sebagai negara demokratis yang stabil tak bisa dilepaskan dari keislaman orang Indonesia.

Patut disesalkan, mental Muslim Indonesia begitu inferior di hadapan Muslim Timur Tengah. Perasaan sebagai Islam pinggir dan Arab sebagai Islam pusat masih sangat terasa kendati sebagian kita berupaya menyangkalnya. Arab adalah Islam dan pandangan bahwa perbedaan dengan Islam-Arab patut dicurigai sebagai penyimpangan adalah pandangan yang diakui atau tidak masih lazim di kalangan Muslim Indonesia.

Oleh karena itu, semangat NU dan Muhammadiyah yang berupaya terus melihat keluar, berkomitmen mulai mempromosikan keislaman Indonesia ke dunia internasional patut kita apresiasi. Sebagian kita mungkin berpandangan bahwa keinginan itu adalah ambisi yang terlalu tinggi, kegeden rumongso. Namun, langkah itu setidaknya mencerminkan suatu sikap baru yang tak lagi inferior dengan keislaman kita di tengah model-model keislaman Arab.

Jika Turki yang masih bingung dengan dirinya saja sudah sedemikian ekspansif, keislaman Indonesia yang jelas lebih jadi tentu tak boleh kalah dengan mereka. Umat Islam Indonesia mesti lebih percaya diri dengan khazanah dan sejarahnya di hadapan umat Islam yang lain bahwa Islam Indonesia memang layak untuk dipromosikan sebagai salah satu solusi bagi persoalan-persoalan dunia Islam sekarang ini.

Oleh Ibnu Burdah

Pemerhati Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement