Jumat 22 Jul 2016 16:00 WIB

Pastikan Keselamatan WNI

Red:

Sebanyak 10 warga negara Indonesia (WNI) yang disandera di Kepulauan Sulu, selatan Filipina, dilaporkan dalam posisi terpencar setelah militer Filipina menggempur markas Abu Sayyaf. Badan Intelijen Negara (BIN) menyatakan, sebanyak empat WNI yang disandera terpisah dari rombongan. Kementerian Luar Negeri menyatakan, ke-10 WNI yang disandera itu dalam kondisi baik.

Upaya pemerintah untuk membebaskan para WNI yang disandera melalui berbagai jalur patut diapresiasi. Sudah menjadi tugas pemerintah untuk melindungi keamanan dan keselamatan warga negaranya di manapun mereka berada. Publik, terutama keluarga ke-10 WNI ini, tentu sangat berharap agar pemerintah dapat memastikan dan menjamin keselamatan para sandera. Kita semua berharap agar mereka dapat segera kembali ke Tanah Air dengan selamat. Kita memercayakan sepenuhnya langkah-langkah pembebasan kepada pemerintah.

Upaya pembebasan dengan diplomasi diharapkan dapat ditempuh pemerintah. Ini penting untuk menghindari terjadinya korban. Sudah tepat apabila pemerintah lebih mendahulukan pendekatan diplomasi. Namun, sebaiknya proses pembebasan ini tak menggunakan pendekatan uang tebusan karena dikhawatirkan akan melahirkan aksi pembajakan berikutnya.

Kita berharap upaya pemerintah menggandeng Nur Misuari, tokoh di selatan Filipina untuk membantu membebaskan para sandera bisa berhasil. Membebaskan WNI yang disandera di luar negeri tentu bukan persoalan mudah. Karena itu, seluruh elemen bangsa perlu mendukung upaya pemerintah dalam membebaskan para WNI yang disandera, termasuk jika harus menempuh operasi militer. Namun, seperti yang diungkapkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, operasi militer sangat berisiko meskipun dilakukan prajurit berpengalaman. Apalagi, misinya menyelamatkan sandera.

Kasus penculikan dan penyanderaan terhadap WNI seperti ini tak boleh terulang lagi. Sudah empat kali warga negara Indonesia disandera kelompok Abu Sayyaf. Pertama, pada akhir Maret lalu, kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 dibajak dalam perjalanan dari Sungai Puting, Kalimantan Selatan, menuju Batangas, Filipina Selatan. Sebanyak 10 awak kapal Anand 12 disandera, tetapi akhirnya dibebaskan.

Kedua, pada 15 April, giliran kapal tunda TB Henry dan kapal tongkang Cristi yang dibajak. Saat itu, empat ABK yang dalam perjalanan kembali dari Cebu, Filipina, menuju Tarakan, Kalimantan Utara, disandera dan seorang mengalami luka tembak. Ketiga, pada 20 Juni, sebanyak 13 ABK Indonesia dari kapal tongkang Charles disandera setelah kapal mereka dibajak di Laut Sulu, Filipina, oleh dua kelompok bersenjata yang berbeda. Enam di antaranya kemudian dibebaskan, tapi sisanya sejauh ini masih disandera. Keempat, pada 9 Juli lalu, tiga WNI juga disandera kelompok Abu Sayyaf. Jadi, total WNI yang saat ini masih disandera bejumlah 10 orang.

Empat kali aksi penyanderaan dalam waktu enam bulan tentu sudah tak bisa lagi ditoleransi. Pemerintah harus segera menyelesaikannya dengan menjalin kerja sama antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk mengantisipasi aksi serupa kembali terulang. Pentingnya kerja sama trilateral melalui patroli bersama di perairan Sabah, Malaysia, dan Filipina yang dikenal sebagai "jalur neraka" itu harus segera dibahas pemerintah ketiga negara. Aksi perompakan di laut ini harus terus diperangi.

Pemerintah Indonesia juga perlu segera menerbitkan regulasi khusus yang mengatur rute-rute pelayaran lintas batas negara, terutama yang membawa bata baru atau barang dagangan lainnya yang rawan perompakan. Hal yang lebih penting dan mendesak saat ini, pemerintah bisa segera membebaskan WNI yang disandera dan memastikannya pulang ke Tanah Air dengan selamat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement