Jumat 24 Jun 2016 15:00 WIB

Perda dan Kedaulatan Rakyat

Red:

Persoalan kedaulatan rakyat adalah sesuatu yang prinsipil dalam sejarah kehidupan politik manusia. Masalah kedaulatan rakyat menjadi inti dari banyak pertikaian politik di berbagai belahan dunia. Terjadinya revolusi besar, sebut saja, misalnya, Revolusi Amerika (1776) atau Revolusi Prancis (1789) yang mengakhiri kekuasaan para raja dan tiran itu didorong dan ditandai oleh cita-cita penegakan kedaulatan rakyat.

Semangat egalite di Prancis, misalnya, menjadi fondasi bagi kesamaan hak seluruh warga negara sebagai individu berdaulat yang berkonsekuensi pada pemerintahan atas dasar persamaan itu. Begitu pula ide tentang checks and balances di Amerika Serikat guna menciptakan pemerintahan yang terkontrol tak lain adalah untuk melindungi kedaulatan rakyat.

Belakangan, berbagai pergerakan menggusur kekuatan lama (ancient regime) dan upaya penciptaan dunia baru setelah Perang Dunia II banyak terinspirasi oleh upaya mewujudkan gagasan kedaulatan rakyat. Gelombang demokratisasi dunia yang makin memperlihatkan dominasi demokrasi menunjukkan dengan jelas keinginan masyarakat di berbagai belahan dunia dalam memutus rantai kekuasaan sentralistis-otoritarian.

Saat ini, upaya pencarian bentuk implementasi kedaulatan rakyat terbaik tidak terhenti. Berbagai model pemerintahan terus ditelaah untuk dapat lebih menjamin tegaknya kedaulatan rakyat. Berbagai terobosan juga terus dikembangkan, termasuk, misalnya, referendum di Inggris yang dilakukan untuk menentukan masa depan Inggris dalam Uni Eropa.

Salah satu hal pendorong terjadinya referendum karena UE dirasa telah melucuti kedaulatan rakyat Inggris dengan menerapkan seperangkat aturan yang harus dijalani oleh Inggris, tanpa harus mendapat persetujuan langsung dari rakyat Inggris. Bagi para pendukungnya, keluarnya Inggris dari UE akan mengembalikan peran rakyat dalam mengontrol kebijakan pemerintah dan bukan lagi menjalankan aturan yang ditetapkan oleh lembaga atau "kekuatan asing".

Fenomena pencarian dan pemantapan kebebasan secara kontinum yang berujung pada adanya kesempatan lebih luas lagi bagi rakyat untuk berdaulat tampak sejalan dengan pemikiran Georg WF Hegel (1770-1831) tentang akhir atau ujung sejarah manusia. Hegel percaya bahwa gerak sejarah politik manusia tak lain adalah sejarah pencarian dan pemantapan kedaulatan manusia.

Hal yang menarik, ketika di berbagai belahan dunia membangun kedaulatan rakyat terus disempurnakan, di Tanah Air justru mengalami keterusikan. Meski pada 1998 persoalan kedaulatan rakyat menjadi fondasi bagi agenda reformasi yang dicerminkan salah satunya dengan otonomi daerah, saat ini substansi kedaulatan rakyat diam-diam berpotensi tergerus.

Penyebabnya apalagi kalau bukan kebijakan presiden untuk menarik perda yang jumlahnya mencapai 3.143 yang dinilai telah tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang sehat dan menjaga toleransi sesama warga negara. Persoalannya, perda itu sendiri adalah hasil kesepakatan para wakil rakyat yang mewakili masyarakat di level lokal.

Ada dua aktor yang mewakili kedaulatan rakyat yang terlibat pembuatan perda. Pertama, pemerintah daerah yang dipimpin oleh kepala daerah yang langsung dipilih oleh rakyat.

Aktor kedua adalah para wakil rakyat di DPRD yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Keduanya memiliki kewajiban untuk menghadirkan kebijakan publik bagi rakyat. Pembatalan sepihak kebijakan oleh pemerintah pusat jelas membuat peran lembaga yang merepresentasikan kedaulatan rakyat di level lokal menjadi terkebiri. Perjuangan mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat menjadi sia-sia karena toh tidak mampu menghindari intervensi pemerintah pusat.

Persoalan yang juga muncul adalah terkait persepsi atas esensi berbagai perda itu sendiri. Memang sulit dimungkiri beberapa perda telah kebablasan dan secara mendasar tidak cukup kondusif bagi terciptanya ruang dan iklim yang lebih sehat bagi persaingan global, termasuk dalam konteks persaingan ekonomi.

Namun, yang membuat beberapa kalangan menjadi khawatir karena potensi tergerusnya beberapa perda yang bagi masyarakat melalui para wakilnya di pemerintahan, kebanyakan perda dipandang telah sesuai karakteristik daerah, terutama sebagai pemenuhan kebutuhan sosial-budaya atau pengakuan atas identitas mereka. Beberapa perda justru dilihat sebagai landasan hukum yang melindungi masyarakat atas hal-hal yang selama ini meresahkan.

Dengan dicabutnya perda itu, bisa jadi masyarakat merasa tercerabut dari jati dirinya dan menjadi tidak lagi terlindungi dari berbagai potensi kriminal dan penyakit masyarakat, termasuk maraknya miras. Dua persoalan yang pada gilirannya dapat menciptakan persoalan besar dan kondisi tidak kondusif bagi penciptaan iklim yang sehat bagi investasi.

Adalah tepat jika ada semacam pendekatan dua arah yang intens sebelum memutuskan keputusan yang berdampak pada masyarakat lokal. Seberapa buruk kualitas relevansi dan kebermanfaatan perda seharusnya dilihat dari seberapa besar tingkat penolakan masyarakat atas keberadaannya. Kenyataannya, beberapa perda yang dianggap tak toleran justru didukung (atau setidaknya dianggap bukan persoalan) oleh kalangan minoritas di tempat perda itu diberlakukan.

Memang ada hak dari pemerintah pusat untuk menjaga agar substansi perundang-undangan sesuai semangat konstitusi. Namun, ini harus dilakukan dengan bijak. Dalam konteks ini, pendapat Prof Mahfud MD bahwa pihak pemda dapat mengabaikan pembatalan perda oleh presiden itu mengindikasikan secara kuat demikian bermasalahnya persoalan pembatalan itu.

Pandangan Prof Mahfud mengisyaratkan, pembatalan tidak saja mengabaikan kenyataan adanya proses penahapan pembuatan perda yang melibatkan pemerintah, juga mengabaikan peran DPRD sebagai lembaga yang lebih berwenang dalam pembatalan perda. Memang absennya seperangkat aturan ideal membuat pembatalan ini menjadi multitafsir.

Namun, setidaknya, proses ini harus menghindari kecenderungan mengesampingkan kedudukan institusi demokrasi di level lokal, baik di ranah eksekutif maupun legislatif.

Pencabutan beberapa perda itu memang bagian dari upaya pemerintah menggenjot perbaikan kondisi ekonomi yang kian tak menentu. Investor mulai berpikir ulang untuk menanamkan investasinya di Indonesia.

Persoalan ini tentu amat penting untuk diatasi. Ke depan, perlu ada koridor hukum yang mampu menjembatani kepentingan nasional terkait perda bermasalah dengan kepentingan tegaknya kedaulatan rakyat di level lokal dalam mengurus dirinya.

Hal ini untuk menghindari kesan menyalahkan masyarakat lokal secara tidak langsung atas apa yang terjadi. Dan, yang terpenting, menghindari tergerusnya kedaulatan rakyat dan terberangusnya kearifan lokal yang selama ini diperjuangkan dengan tulus oleh seluruh anak bangsa. 

Firman Noor

Peneliti Politik LIPI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement