Jumat 24 Jun 2016 15:00 WIB

Dekonstruksi Logika RUU Minol

Red:

Dalam sejarah perkembangan manusia, logika memiliki multidefinisi yang dikemukakan oleh para ahli. Namun, secara garis besar, logika dimasukkan dalam dua pemahaman besar, yakni sebagai bagian dari lingkungan filsafat dan ilmu pengetahuan (sains) yang sekaligus dimaknai sebagai keterampilan (art) untuk berpikir lurus.

Dari sekian banyak definisi logika, penulis memilih sebagai cabang filsafat yang mempelajari, menyusun, mengembangkan, dan membahas asas-asas, aturan formal, prosedur, serta kriteria sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Memang agak ribet, tapi dia tidak boleh dipandang sebelah mata karena definisi menjadi landasan penting yang berpengaruh besar terhadap sebuah implementasi. Disebut penting karena logika memiliki objek material berupa akal budi atau pikiran manusia.

Yang menjadi menarik, pikiran manusia seperti apa yang akan digunakan sebagai objek material logika? Apakah tipe manusia serakah, tamak, dan tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan? Ataukah sebaliknya?

Pertanyaan di atas tidak lepas dari fakta bahwa pikiran manusia yang salah akan melahirkan logika yang salah (illegal logic). Namun, sebaliknya, pikiran manusia yang benar akan melahirkan logika yang benar (legal logic).

Oleh sebab itu, definisi logika memang bertautan erat dengan asas, prosedur, kriteria sahih, dan penyimpulan yang berakhir dengan pencapaian kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Dari definisi yang sudah penulis paparkan di atas, ada hal penting yang bisa ditarik benang merahnya, yaitu ujung dari logika adalah pencapaian kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Inilah sebuah logika kebenaran yang harus diperjuangkan dalam fase kehidupan manusia yang memiliki pikiran dan akal budi sehat. Dan, ini juga yang menjadi bukti bahwa logika menjadi anugerah Tuhan yang begitu besar yang ditujukan menjadi pembeda benar dan salah.

Berkaitan dengan RUU Larangan Minuman Beralkohol yang saat ini menjadi polemik di Senayan, penulis ingin berbagi gagasan, yaitu pentingnya merombak (dekonstruksi) logika ilegal dalam pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol. Dari sejumlah inventarisasi pendapat di media massa, penulis mendapatkan beberapa illegal logic terkait RUU ini. Setidaknya, ada tiga poin yang harus dikritisi.

Pertama, kelompok yang menolak RUU Larangan Minol berdalih minuman keras tidak memiliki relevansi pada kasus kejahatan, khususnya kejahatan anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) justru mendapati berbagai kasus kejahatan seksual anak selalu berkaitan erat dengan minuman beralkohol.

Kita bisa menengok pembunuhan yang disertai pemerkosaan YY (14) di Bengkulu merupakan akibat minuman beralkohol. Dalam keadaan mabuk, peminum alkohol akan melakukan tindakan di luar kemanusiaan. Belum lagi, kasus di daerah lain yang juga memiliki relevansi kuat antara kejahatan anak dan minuman beralkohol.

Kedua, saat ini sedang dibangun opini publik bahwa minuman beralkohol adalah warisan budaya Indonesia. Inilah bukti adanya illegal logic yang harus didekonstruksi atas nama kemanusiaan.

Apa pun yang diwariskan harus dilihat apakah di dalamnya ada kebenaran, kemanfaatan, dan kemaslahatan dalam kehidupan umat. Asas berpikir yang lahir dari ketamakan dan keserakahan atas materi akan melahirkan logika sesat. Ini tentang peradaban manusia, apakah kita ingin membangun peradaban yang sesat atau justru peradaban yang memegang teguh nilai-nilai kebenaran.

Mau dilihat dari aspek apa pun, minuman beralkohol tidak menguntungkan manusia. Dari aspek kesehatan sudah jelas, minuman beralkohol akan merusak organ tubuh. Dari aspek perlindungan anak pun demikian, dia menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup anak-anak kita.

Bahkan, dari aspek ekonomi, kerusakan akibat pembebasan penjualan minuman beralkohol akan lebih besar, yaitu lahirnya generasi pemabuk yang hilang akal sehat. Oleh sebab itu, pelarangan minuman beralkohol menjadi mutlak karena dia memang bertabrakan dengan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Ketiga, adanya anggapan kelompok yang memperjuangkan RUU Larangan Minuman Beralkohol memiliki agenda politik tertentu. Lagi-lagi, ini sebagai illegal logic yang berangkat dari asas berpikir yang salah.

Justru, mereka yang memperjuangkan RUU ini ingin membuat benteng pertahanan yang fungsinya mencegah dampak buruk minuman beralkohol. Sesuai pepatah, bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?

Dari sekian illegal logic yang diperjuangkan kelompok industri dan kawan-kawannya, penulis mendesak semua pihak untuk kembali berpikir dengan hati nurani. Hilangkan kepentingan bisnis dalam masalah ini.

Jika yang menyuarakan pembelaan adalah pebisnis, mungkin masih bisa dimaklumi, tapi jika ada cendekiawan yang bersuara lantang menolak RUU Larangan Minol, ini menjadi keprihatinan. Apa itu seorang intelektual? Dan, apa fungsinya di dalam masyarakat? Yakinlah, mempertahankan kebenaran yang diraih melalui proses kontemplasi itu masih lebih baik ketimbang guyuran rupiah yang kian deras.

Akhir dari tulisan ini, penulis ingin mengutip qoul Imam al-Ghazali, "Jika kuketahui bahwa 10 adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular dan hal itu memang terjadi bahwa memang kusaksikan sendiri, kejadian itu tidak akan membuatku ragu terhadap pengetahuanku bahwa 10 adalah lebih banyak dari tiga. Aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal itu sekali-kali tidak akan pernah membuat aku bimbang terhadap pengetahuanku." 

Asrorun Ni'am Sholeh

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement