Sabtu 14 May 2016 16:44 WIB

Ketimpangan Pembangunan

Red: operator

Setidaknya, ada tiga persoalan rumit "disparitas" dalam proses pembangunan ekonomi Indonesia. Pertama, kesenjangan (disparitas) pendapatan antarrumah tangga yang diindikasikan oleh nilai rasio gini yang semakin besar. Kedua, kesenjangan laju perkembangan antarsektor ekonomi; pertanian, pertambangan, manufaktur, dan jasa.

Untuk Indonesia, ini diperburuk dengan "deindustrialisasi". Manufaktur sebagai penghela ekonomi bangsa tidak tumbuh baik.

Akibatnya, nilai tambah sumber daya nasional, utamanya dari sektor pertanian dan bahan tambang diambil negara lain. Ketiga, kesenjangan pembangunan antarwilayah.

Ketimpangan pembangunan antarwilayah di Indonesia ternyata sangat berat. Indonesia menjadi negara terburuk di dunia dalam aspek pemerataan pembangunan secara geografis. Dari studi Lessmann, profesor dari Jerman, Indonesia adalah outlierkarena memiliki nilai coefficient of variation (CV)

pendapatan daerah yang lebih dari satu untuk data periode 2004-2008.

CV yang semakin besar menunjukkan ketimpangan makin tinggi. Negara lain nilai CV-nya semua kurang dari 0,8, termasuk Cina yang juga dikenal buruk dalam pemerataan pembangunan antarwilayah.

Setelah dihitung ulang dengan periode yang diperpanjang dengan data 1980-2013, diperoleh nilai CV yang lebih rendah, tapi tetap tertinggi di dunia, yaitu 0,93. Contoh mudah gambaran ketimpangan antarwialyah yang (semakin) serius adalah pada 1983, pendapatan regional tertingi (DKI Jakarta)

nilainya 20 kali lipat dibandingkan pendapatan regional terendah (NTT).

Pada 2013 rasio ini malah naik menjadi 25 kali lipatnya. Secara teoretis, seharusnya lambat laun ketimpangan pembangunan antarwilayah akan hilang. Ini beranjak dari pemikiran bahwa wilayah yang kurang berkembang produktivitas marginal dari investasi yang lebih tinggi ketimbang wilayah yang lebih berkembang.

Akibatnya, akan terjadi proses catch-up dari wilayah yang kurang berkembang terhadap wilayah maju (konvergensi). Kajian Firdaus dan Yusop (2013) menunjukkan, untuk Indonesia proses konvergensi terjadi, tapi sangat pelan. Diperlukan sekitar 200 tahun agar wilayah kurang berkembang bisa mengejar kemajuan wilayah lain; bila dibiarkan secara alamiah.

Ketimpangan pembangunan antarwilayah adalah masalah historis setiap negara. Masalah ini muncul mulai dari level kecamatan (antardesa) hingga global. Dunia be lahan selatan dianggap lebih tertinggal daripada utara. Beberapa Negara, seperti AS, Cina, dan Thailand berkebalikan dengan Indonesia.

Pembangunan wilayah bagian barat lebih tertinggal daripada timur. Pulau Jawa bagian selatan secara umum lebih tertinggal dibandingkan daerah utara atau kawasan pantai timur Sumatra lebih maju daripada pantai barat.

Pada tingkat kabupaten, contoh ekstrem adalah kabupaten dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, yaitu Bogor. Wilayah barat Kabupaten Bogor jauh tertinggal ketimbang tengah dan timur. Wilayah bagian timur Bogor memiliki ukuran ekonomi dua kali lipat ketimbang barat yang juga disertai tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi.

Pemerintah pernah menyusun strategi dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan baru dalam bentuk koridor ekonomi yang tertuang dalam rencana induk MP3EI.

Ada kelemahan konsep ini, tapi tak berarti harus dilupakan.

Komitmen pemerintah saat ini untuk lebih membangun kelautan dan pulau-pulau terpencil tentu patut didukung, tapi pembangunan wilayah daratan yang lebih tertinggal juga harus tetap menjadi perhatian.

Di Cina, pertumbuhan ekonomi kawasan timur (daerah pantai/coastal) lebih cepat daripada kawasan tengah dan barat yang daratan. Rendahnya investasi di kawasan barat diidentifikasi sebagai penyebab utama, terutama sejak kebijakan pemerintah Deng membuat special economic zonedi kawasan pantai pada 1980-an (Zheng, 2007).

Sejak akhir 1990-an, pemerintahan Zhu menetapkan kebijakan untuk mengatasi ketimpangan pembangunan wilayah yang disebut "Xibu da Kaifa" atau "Go West". Padahal, saat itu rasio PDRB kawasan barat sekitar separuh kawasan timur. Strateginya, meningkatkan investasi publik besar-besaran di kawasan barat.

Selama lima tahun berjalan, proyek pemerintah senilai 120 miliar dolar AS telah ditanamkan di kawasan barat; terutama untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan industri pengolahan pertanian. Hasilnya, pertumbuhan investasi maupun ekonomi di kawasan barat (Hainan, Inner Mongolia, Guangxi, Sichuan, dan Jilin) lebih cepat ketimbang kawasan timur (Xinjiang, Shanghai, Beijing, Helongjiang, dan Guizhou).

Di tingkat lebih mikro, mengatasi ketimpangan pembangunan antarwilayah di Indonesia dengan kesungguhan membangunan sektor pertanian, perikanan, dan kelautan.

Salah satu solusi titik lemah adalah ketidakmampuan sektor ini dalam pencapaian economies of scale.

Konsolidasi lahan komoditas pangan (padi, jagung, kedelai); pengembangan ke skala perkebunan untuk komoditas hortikultura;

peremajaan dan peningkatan daya saing produk hasil perkebunan; integrasi perikanan darat dengan pertanian; peningkatan akses sumber daya dan teknologi bagi nelayan kecil merupakan catatan yang sulit diselesaikan dalam kurang dari satu periode pemerintahan. Everything can wait, but not agriculture.

Pengembangan kewirausahaan di tingkat perdesaan mendesak dilakukan. Bila di Jepang dikembangkan one village one product yang diadopsi Indonesia; di Thailand skema ini dimodifikasi menjadi OTOP, one tambon one product.

Malaysia yang selalu berpikir produk pertanian harus dicari nilai tambahnya menggunakan istilah ODOI, one district one industry. Meskipun kita tak terlalu kreatif memodifikasi dari negara asalnya, implementasi program ini tentu jauh lebih penting.

Baru saja diumumkan bahwa DKI Jakarta menyabet empat penghargaan pemerintah.

Penilaian oleh para profesional tentu sudah menggunakan kriteria objektif. Nyata sekali kondisi DKI Jakarta sudah sangat maju ketimbang provinsi lain. Untuk IPM yang dipublikasikan sejak 1996 oleh BPS hingga kini, DKI Jakarta menempati posisi teratas. Sebaliknya, Papua dan NTT selalu terbawah.

Dari keempat penghargaan ini, tiga terkait aspek penyusunan perencanaan dan penyerapan anggaran. Yang keempat, Anugerah Angripta Nusantara, merupakan cerminan hasil kerja pembangunan riil yang diindikasikan oleh pencapaian MDGs.

Penilaian untuk 2011 sampai 2015 (laporan dari Sekretariat MDGs Indonesia)

menunjukkan ada satu provinsi yang konsisten meraih posisi terbaik dari empat kriteria MDGs. Provinsi NTB selalu menjadi provinsi terbaik pencapaian MDGS. Untuk kri teria MDGs dari sisi pengentasan kemiskinan diraih Sulawesi Tenggara pada 2016.

Dalam teori makroekonomi, kita diajarkan untuk mempertimbangkan steady state leveldalam analisis komparasi pembangunan ekonomi. Kondisi Jakarta bisa jadi sudah terlalu mapan untuk dikompetisikan dengan daerah lain.

Pemikiran seperti ini menjadi signifikan saat pemangku kepentingan mengambil keputusan alokasi sumber daya. Tentang keberpihakan terhadap daerah yang lebih tertinggal; keberpihakan terhadap rumah tangga miskin dan tunawisma; keberpihakan pada sektor ekonomi yang rendah produktivitasnya.

Banyak juga negara berkembang yang mengalihkan strategi pembangunan ekonomi dari picking the winnerske arah pembangunan yang lebih berkeadilan (growth with equity). Semoga, ini juga terjadi dengan pemimpin negara dan pemerintah daerah di Indonesia.

MUHAMMAD FIRDAUS 

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement