Rabu 27 Apr 2016 14:00 WIB

Narkoba di Sekitar Aparat

Red:

Penangkapan Kasat Narkoba Polres Pelabuhan Belawan, Sumatra Utara, AKP Ichwan Lubis, akhir pekan lalu, sungguh menyentuh rasa keadilan masyarakat. Aparat kepolisian yang seharusnya menjadi gawang terakhir menekan peredaran narkoba di Indonesia, justru menjadi salah satu pihak yang menikmati peredaran barang haram tersebut.

Kasat Narkoba yang semestinya dapat mencegah darurat narkoba di Tanah Air agar tidak lebih parah, malah menikmati sogokan uang haram dari bandar narkoba. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana  mungkin kejahatan narkoba bisa dikikis bila aparat yang berwenang justru masuk dalam bagian dari para pengedar.

Kita menyadari bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini Indonesia telah masuk dalam darurat narkoba. Barang yang membuat para pemakaian rusak tersebut telah masuk ke berbagai sendi kehidupan  masyarakat. Narkoba telah merasuki anak dan remaja, ibu-ibu rumah tangga, anggota DPR, aparat keamanan, para pengusaha dan lainnya. Di kalangan aparat, pemakai narkoba tidak hanya di lingkungan kepolisian, tapi juga di lingkungan TNI dan sipir penjara.

Kita tentu masih ingat, pada awal bulan ini, Komandan Kodim (Dandim) 1408/BS Makassar Kolonel Inf Jefri Oktavian Rotty ditangkap saat sedang berpesta sabu-sabu. Sebelum ini, oknum TNI berpangkat lebih rendah  tidak sedikit yang juga ditangkap. Begitu juga aparat kepolisian yang tertangkap tangan sedang pesta narkoba yang jumlahnya tidak sedikit.

Banyak aparat keamanan yang terlibat narkoba mengindikasikan bahwa bukan tidak mungkin sejumlah oknum aparat terlibat dalam mafia peredaraan narkoba. Memang, jumlah aparat keamanan yang benar-benar terlibat dalam jaringan bandar narkoba jumlahnya bisa dihitung jari seperti AKP Ichwan Lubis. Namun, jumlah aparat kepolisian dan TNI yang mengonsumsi narkoba begitu marak membuat dugaan juga  muncul kemungkinan mereka berperan menghalangi upaya memberangus peredaraan-peredaraan narkoba di negeri tercinta ini.

Sebab, para pecandu narkoba akan lebih suka jika barang-barang yang dilarang tersebut banyak beredar sehingga harganya murah. Sedangkan, jika dilakukan pemberantasan peredaraan narkoba, hal itu akan membuat berbagai jenis narkoba langka. Ketika narkoba langka, harganya pun mahal, yang sudah pasti memberatkan para pecandu dan  orang-orang di dalamnya, termasuk aparat.

Belum lagi, dugaan oknum lembaga pemasyarakatan terlibat dalam jaringan narkoba pun cukup besar. Dalam data yang disampaikan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), setidaknya 50 persen peredaran  narkoba di Indonesia dikendalikan dari balik lapas. Sejumlah oknum sipir diduga terlibat membantu para bandar narkoba menjalankan aksinya.

Saat ini, narkoba sudah hampir sama seperti korupsi. Budaya korupsi di negeri tercinta sudah mendarah daging di kalangan aparat, baik itu eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berjibaku mengurangi korupsi, namun upaya itu belum mampu membuat Indonesia bebas dari korupsi karena sudah turun-temurunnya korupsi di Indonesia.

Kita berharap, meski nyaris sama dengan korupsi, narkoba belum mendarah daging di aparat kita. Jumlah aparat yang terlibat narkoba tidak sebesar aparat yang melakukan korupsi. Karena itu, BNN masih punya kesempatan besar untuk membuat narkoba tidak seperti budaya korupsi di Tanah Air. Jika didukung oleh seluruh pihak, BNN akan mampu mencegah narkoba berkembang biak di kalangan aparat dan masyarakat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement