Selasa 19 Apr 2016 13:00 WIB

Budaya Digital Indonesia

Red:

Belum lama ini, kita dikejutkan sebuah berita tentang seorang siswi sekolah yang mengaku sebagai anak pejabat saat diberhentikan oleh seorang polisi lalu lintas. Tidak membutuhkan waktu lama untuk informasi tersebut menjadi viral dan berakhir mengenaskan dengan meninggalnya ayah sang siswi.

Terlepas dari pembahasan hitam-putih opini mengenai kejadian tersebut, fenomena partisipasi aktif masyarakat dalam menggunakan teknologi untuk mendistribusikan dan menanggapi informasi dengan begitu cepatnya serta pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Dampak penggunaan teknologi digital atau teknologi informasi (online) terhadap budaya atau kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat (offline) biasa disebut sebagai budaya digital.

Budaya digital menjadi topik hangat untuk didiskusikan, mengingat dampaknya yang semakin kuat dan luas dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebut saja, gejolak panas pro-kontra transportasi online, debat haters vs lovers di media sosial saat pemilu, pilpres atau pilkada, hingga isu internasional skandal dokumen Panama. Lalu, bagaimana peluang dan tantangan budaya digital di Indonesia serta bagaimana trennya di masa depan?

Asosiasi perusahaan iklan di Asia Tenggara merilis beberapa data menarik yang mengilustrasikan dengan jelas besarnya pengaruh teknologi informasi di Indonesia. Setidaknya, sejak 2014 jumlah telepon genggam telah melampaui jumlah penduduk di Indonesia.

Pada 2015 lebih dari 75 juta masyarakat Indonesia telah memiliki akses ke internet dan hampir semuanya adalah aktif pengguna media sosial. Jumlah pengguna media sosial ini bertambah hampir 20 persen dari tahun sebelumnya dengan rata-rata waktu akses 2,4 jam per hari.

Potensi besar ini tidak luput dari pantauan pemerintah, setidaknya terindikasi dari kunjungan Presiden Joko Widodo pada Februari lalu ke Silicon Valley, markas media sosial terbesar di dunia saat ini.

Tentu saja, penetrasi teknologi digital ke hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia tidak berhenti hanya di seputar media sosial. Seiring dengan peningkatan penetrasi jaringan internet, nilai perdagangan online di Indonesia tahun ini diperkirakan meningkat tajam.

Di bidang pendidikan, setidaknya keterhubungan dengan dunia maya akan menghilangkan kendala akses informasi dan pengetahuan yang sebelumnya menjadi kendala utama di berbagai daerah terpelosok di Indonesia. Di bidang politik, 'demokrasi digital' memecah pasifnya peran serta masyarakat dalam berpolitik yang dirasakan beberapa dekade yang lalu.

Perbaikan birokrasi juga dilakukan berbagai institusi pemerintah dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan pelayanan dan efisiensi. Namun, seperti dua sisi mata uang, perkembangan teknologi ini juga memiliki sisi lain yang penting untuk dicermati.

Di era digital, penyebaran informasi telah beralih dari sistem konvensional distribusi-sirkulasi media masa ke model participatory. Masyarakat tidak lagi hanya berperan sebagai konsumen yang pasif, tapi sebagai aktor yang ikut berperan aktif dalam membentuk, menyebarkan, bahkan mentransformasi berbagai informasi.

Proses ini pun berjalan dengan sangat cepat tanpa kendala batasan geografis. Namun, perubahan ini menjadi salah satu titik pangkal berbagai masalah yang timbul dan menyebabkan keresahan dalam masyarakat akhir-akhir ini.

Diskusi yang tak logis beraroma kebencian semakin jamak kita temukan di dunia maya. Tidak sedikit pengguna internet berkomentar dan mengeluarkan pendapat hanya berdasarkan judul sebuah artikel. Sebagian lagi begitu mudah memercayai sebuah informasi yang berasal dari situs-situs tak bertanggung jawab yang sama sekali tidak mengindahkan kaidah dan aturan jurnalisme.

Perilaku afirmatif ini terbentuk, di antaranya, karena rendahnya budaya membaca dan luputnya kompetensi membaca dan berpikir kritis dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini cenderung berbeda di negara-negara maju, sebut saja Australia.

Pemerintah Australia telah terlebih dahulu menyadari hal ini. Dalam pendidikan dasar Australia, tidak hanya terselip penyesuaian terhadap perkembangan teknologi terkini, tapi juga penanaman budaya digital sebagai bekal pembentukan masyarakat digital yang lebih dewasa dan bertanggung jawab.

Kemampuan pemrograman dan budaya penelitian serta pengajaran melalui media internet sudah jamak di sekolah tingkat dasar. Keahlian ini diberikan bersamaan dengan penanaman pengetahuan penting seputar dunia digital, mulai dari budaya membaca dan berpikir kritis dari berbagai perspektif, hingga masalah privasi, piracy, dan keamanan dalam dunia maya.

Penyesuaian kurikulum pendidikan yang kurang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman bukanlah satu-satunya permasalahan yang terjadi di Indonesia. Bentrokan yang terjadi akibat pro-kontra transportasi online mengindikasikan kurang cepatnya pemerintah dalam mengatur dan menyusun regulasi terkait dengan penggunaan teknologi dalam kehidupan masyarakat.

Potensi masalah budaya digital ini lebih dari apa yang terlihat secara kasat mata. Saat ini, kita berada pada era 'Big Data' (BD), sebuah masa yang ditandai dengan besar dan cepatnya arus informasi mengalir. Cepat atau lambat isu privasi, etika, dan regulasi akibat penggunaan sistem BD ini akan melahirkan masalah-masalah baru yang harus segera diantisipasi bersama.

Tidak hanya seputar privasi, sistem BD bahkan memiliki potensi kuat untuk mengontrol sentimen masyarakat. Pada akhir 2014 Forbes pernah melaporkan percobaan yang dilakukan Facebook terhadap penggunanya. Facebook mampu mengubah emosi pengguna hanya dengan mengubah bagaimana informasi disajikan dalam aplikasi mereka.

Saat ini, budaya digital masih didominasi oleh penggunaan media sosial. Seiring dengan semakin meluasnya penetrasi jaringan internet ke berbagai daerah terluar Indonesia, dalam beberapa tahun ke depan sepertinya media sosial akan masih menjadi pengaruh terbesar dalam budaya digital Indonesia.

Namun demikian, beberapa laporan perusahaan media sosial di berbagai negara maju menunjukkan data yang cukup menarik. Pengguna media sosial baru semakin berkurang atau mencapai stagnansi. Tidak hanya itu, ada sebuah tren yang menunjukkan bahwa pengguna media sosial semakin mengurangi lama penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Pertanyaan besar yang muncul kemudian adalah ada apakah setelah era media sosial? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu saja kita harus melihat perkembangan teknologi yang ada.

Selain BD, beberapa potensi teknologi yang akan semakin berkembang di masa depan, di antaranya,  merebaknya penggunaan Internet of Things (IoT), seperti dalam smart homes atau dalam fungsi pengawasan/monitoring, semakin jamaknya perangkat virtual dan augmented reality (VR-AR) dalam memperkaya pengalaman digital, peningkatan perdagangan online, dan semakin meluasnya aplikasi kecerdasan buatan dalam kehidupan sehari-hari.

Di masa depan, industri-industri besar juga akan mendapat tantangan baru dari industri kecil atau menengah yang mengutamakan inovasi dan kreativitas. 

Taufik Sutanto

Kandidat Doktor Big Data Queensland University of Technology

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement