Selasa 29 Mar 2016 15:00 WIB

Mengatur Relawan Politik

Red:

Keberadaan relawan politik telah menjadi entitas baru dalam praktik politik kekinian. Setidaknya, mulai muncul sejak rekrutmen jabatan politik, baik di level daerah maupun level nasional melalui sistem pemilihan langsung (one man one vote).

Sebenarnya, eksistensi relawan politik dapat menjadi mitra strategis bagi partai politik yang secara konstitusional sebagai satu-satunya pintu masuk untuk menjadi calon presiden/wakil presiden serta calon kepala daerah/wakil kepala daerah (khusus calon kepala daerah diatur juga ketentuan calon perseorangan), termasuk calon anggota DPR serta DPRD kabupaten/kota.

Namun, dalam kasus tertentu, justru terjadi rivalitas relawan politik dengan partai politik. Bahkan, tak sedikit yang menyebut relawan politik merupakan bentuk kritik terhadap keberadaan partai politik.

Sejumlah catatan kritis terhadap posisi relawan politik patut digarisbawahi terkait dengan perilaku aktivis relawan politik yang tak ubahnya sebagai "relawan yang politisi". Relawan politik juga telah menjadi sumber rekrutmen baru dalam pos-pos jabatan publik. Sejumlah fakta mengonfirmasi fenomena tersebut.

Di sisi lain, relawan politik selain memobilisasi massa, juga tak bisa dielakkan dengan melakukan mobilisasi finansial untuk keperluan logistik politik. Sebuah konsekuensi dari kerja politik, biaya politik menjadi keniscayaan. Di titik inilah, pengaturan terhadap relawan politik memiliki konteksnya.

Langkah ini semata-mata ditujukan untuk menciptakan praktik politik yang beradab yang mensyaratkan adanya transparansi, akuntabilitas, serta pertanggungjawaban di hadapan publik. Pengaturan sama sekali tidak menyentuh pada aspek "kebebasan berekspresi" yang memang dijamin oleh konstitusi. Pengaturan ini juga bukan dimaksudkan untuk mengerdilkan partisipasi masyarakat.

Eksistensi relawan politik hingga kini belum terwadahi secara hukum. Persisnya, relawan politik lebih tepat sebagai organisasi tanpa bentuk (OTB), tidak jelas jenis kelaminnya. Relawan politik tentu bukanlah entitas yang berbentuk partai politik, kendati aktivitasnya sama seperti partai politik, khususnya dalam hal memobilisasi massa, termasuk pendanaan sebagai konsekuensi turunan dari mobilisasi massa.

Relawan politik juga tidak berbentuk perkumpulan atau ormas yang berbadan hukum atau yang tidak berbadan hukum sebagaimana ketentuan yang diatur dalam UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Massa (Ormas). Seperti dalam ketentuan di Pasal 9 ayat (1) UU No 17 Tahun 2013 disebutkan, ormas dapat berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.

Ormas yang berbadan hukum itu bentuknya bisa perkumpulan atau yayasan (Pasal 11 Ayat 1). Di ketentuan lainnya, yakni di Pasal 12 Ayat (1) disebutkan soal persyaratan pendirian perkumpulan, di antaranya, akte pendirian, sumber pendanaan, NPWP atas nama perkumpulan, dan lain-lain.

Padahal, perkumpulan masyarakat yang bentuknya komunitas semestinya diikat oleh suatu aturan yang dituangkan secara tertulis yang menjadi hak konstitusional warga (constitutional citizens) dan hak asasi konstitusional manusia (constitutional human rights). Seperti, yang dikenalkan Jimly Asshiddiqie (2015) dengan sebutan konstitusi sosial. Dalam konteks organisasi nonpemerintah, diatur dengan Anggaran Dasar (By-Laws).

Hingga saat ini, tidak ada norma yang mengatur keberadaan relawan politik ini. Karena memang secara normatif, peserta pemilu, pilkada, atau pilpres tidak mengenal istilah relawan atau relawan politik.

Dalam sejumlah regulasi paket politik yang tersedia, seperti UU Pilkada, UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden, termasuk UU Partai Politik, pengaturan soal sumbangan pendanaan hanya mengatur kepada partai politik (pengusung), serta pasangan calon (pilkada dan pilpres) saja. Seperti dalam Pasal 74 ayat (2) dan (4) UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), norma yang muncul hanya terkait dengan pendanaan calon perseorangan, termasuk besaran sumbangan bagi calon perseorangan.

Setali tiga uang, di Pasal 129 Ayat (1) UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum disebutkan kegiatan kampanye pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota didanai oleh partai politik peserta pemilu masing-masing. Hal senada juga terjadi di UU No 43 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.

Adapun di Pasal 34 UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik disebutkan ketentuan sumber keuangan partai politik. Di Pasal 39 Ayat (1), (2), dan (3) UU No 2 Tahun 2011 juga diatur soal laporan keuangan partai politik seperti laporan keuangan partai politik serta adanya keharusan audit oleh akuntan independen.

Pesan penting dari pengaturan tersebut, politik meniscayakan adanya transparansi dan akuntabilitas. Pendanaan politik yang transparan dan akuntabel akan menghasilkan kebijakan yang transpran dan akuntabel pula. Kebijakan publik tak lagi disusun di ruang remang-remang dan gelap. Apalagi, diboncengi kepentingan tangan-tangan yang tidak tampak (invisible hand).

Meski demikian, aturan dan regulasi tersebut tidak berarti praktik politik, khususnya dalam pendanaan partai politik maupun kontestasi politik, menjadi terang dan jelas. Tidak sedikit kritik tetap muncul, seperti soal usulan pembatasan belanja politik oleh partai politik maupun kandidat dalam kompetisi politik.

Dalam konteks inilah, mengatur relawan politik memiliki relevansi, khususnya terkait dengan pendanaan atau sumbangan. Toh, dalam praktiknya, perilaku relawan politik tak ubahnya seperti partai politik dalam urusan mobilisasi massa yang juga secara linier mobilisasi pendanaan atau sumbangan politik. Pemasangan atribut dan alat peraga kampanye yang dilakukan oleh relawan politik tentu bukanlah hal yang cuma-cuma.

Oleh karenanya, pengaturan sumber pendanaan dan akuntabilitas pendanaan bagi relawan politik sudah semestinya dipikirkan oleh pembuat UU (law maker), yakni DPR dan pemerintah untuk dimasukkan dalam perubahan paket UU Politik yang telah masuk agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Jangan sampai, UU gagap menangkap perkembangan zaman yang cepat. Langkah ini semata-mata diikhtiarkan untuk mewujudkan politik yang beradab serta bentuk cerminan demokrasi konstitusional.

R Ferdian Andi R

Peneliti Hukum Konstitusi di Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement