Kamis 24 Mar 2016 16:00 WIB

Menyoal Ekonomi Digital

Red:

Letupan demonstrasi Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) yang menolak keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi online menandai babak anyar lanskap ekonomi yang masuk ke gerbang digital. Kegaduhan tersebut adalah ekses dan konsekuensi logis dari perubahan yang tengah bergulir perlahan. Dan lagi, kita menyaksikan tak ada yang kuasa membendung perubahan.

Kita berpindah dari era ekonomi konvensional yang usang ke ekonomi digital yang instan, cepat, dan transparan. Inilah zaman baru yang mengguncang persaingan. Era gelombang ekonomi digital baru saja dimulai. Pelopor revolusi ekonomi ini adalah anak-anak muda kita yang disebut sebagai digital native. Mereka lahir dan tumbuh bersama deru perkembangan dunia teknologi.

Layanan transportasi umum berbasis daring yang mengemuka di Indonesia hanyalah sebagian kecil dari arak-arakan ekosistem yang berembus bersama gelombang kelima dalam sejarah kompetisi ekonomi dunia. Perjalanan ekonomi dunia telah melampaui era masyarakat pertanian, era mesin pascarevolusi industri, era perburuan minyak, dan era kapitalisme korporasi multinasional.

Empat gelombang ekonomi sebelumnya berkarakter eksklusif dan hanya bisa dijangkau oleh kelompok elite tertentu. Gelombang ekonomi digital hadir dengan topografi yang landai, inklusif, dan membentangkan ekualitas peluang.

Seperti gelombang pada umumnya, kita bisa karam atau bisa juga menyelam di dalamnya. Itulah sebabnya, konsep kompetisi yang lama menjadi spirit industri dengan enteng terdongkel oleh para startup yang mengedepankan kolaborasi dan sinergi. Gelombang ekonomi digital adalah era sharing economy yang mengangkat banyak usaha kecil dan menengah melenggang ke panggung gengsi bisnis dunia.

Ia mengguncang kemapanan korporasi yang lama dinikmati oleh segelintir kecil kapitalis. Arus ekonomi digital tak terbendung. Arus ini memunculkan konglomerat baru dari kalangan anak muda. Sebelumnya, mereka sama sekali tak pernah terhubung dengan taipan manapun. Mereka lahir secara organik dari celah perubahan lanskap ekonomi.

Kini, di etalase orang terkaya dunia, bertengger sejumlah anak muda. Mereka tidak mendapatkan kekayaan dari warisan ayah ataupun pemberian mertua. Anak-anak muda ini menciptakan kekayaannya sendiri. Memetik buah dari ranumnya potensi ekonomi digital. Ini adalah fenomena unik nan langka sepanjang sejarah ekonomi dunia.

Seperti sifat teknologi yang memangkas konsumsi waktu, kekayaan yang diperoleh para triliuner dari ranah ekonomi digital ini juga diraih relatif lebih singkat. Tak seperti Bill Gates, Warren Buffet, atau Carlos Slim Helu yang meraih kemakmuran di atas usia 40 tahun, bahkan 50 tahun.

Mark Zuckerberg (pendiri Facebook) dan Evan Spiegel (pendiri Snapchat) masuk ke jajaran orang terkaya dunia selagi mereka terhitung belia di ranah bisnis, yakni di rentang usia 20 hingga 30 tahun. Anak-anak muda ini hanya butuh dua hingga tiga tahun untuk memanen buah hasil kreasinya. Ekonomi digital penuh dengan cerita dramatis.

Ada kejayaan yang terancam karam, sehingga ekonomi digital dianggap sebagai lawan. Mereka yang telah lama menikmati takhta dibayangi rasa waswas, alih-alih memasang kuda-kuda sembari beradaptasi. Gagap menyambut peralihan ekonomi, mereka dibuntuti oleh warga pribumi ekonomi digital yang siap menyalip. Hukum perubahan tak pernah bisa direvisi. Siapa yang lamban, siap-siap ditinggal menjadi penonton atau bahkan terlindas dan mati.

Kemapanan yang terusik mengakibatkan terjadinya benturan antara pelaku ekonomi konvensional dan mereka yang gesit menyelam di samudra ekonomi digital. Di lain pihak, pemerintah tak sigap, kurang antisipatif dan lamban merespons tuntutan perubahan.

Ekonomi digital dengan sifat dan kultur bawaan serbacepat, mandek menghadapi birokarsi yang kaku nan lamban. Dan, pada akhirnya, ia mendobrak kebekuan tersebut ketimbang terpasung.

Pengampu kebijakan terbilang kurang cekatan menganalisasi para pelaku ekonomi digital, sehingga mereka terkesan liar dan menimbulkan kegaduhan. Bila tak segera ditindaklanjuti, benturan ini bisa jadi pemicu konflik sosial. Untuk jangka panjang, ekonomi digital memerlukan langkah strategi kebijakan.

Generasi milenial, warga asli digital economy yang lahir dalam rentang waktu 1980-an hingga 2000, menciptakan gerakan arus bawah yang tak mungkin lagi dibendung. Di Indonesia, jumlah mereka mencapai 34,45 persen penduduk Indonesia (mengacu pada penduduk berusia 15-35 tahun).

Mereka lahir dari rahim zaman yang baru dengan membawa mahkota di kepalanya. Mahkota itu berisi kue ekonomi dengan nilai Rp 248 triliun dan diproyeksi Rp 1.756 triliun per 2020. Proyeksi ini hanya dari satu sektor ekonomi digital, yaitu e-commerce atau retail online. Bagaimana bila dikalkulasi dengan transportasi, logistik, pendidikan, komunikasi, dan layanan kesehatan online? Tentu menghasilkan angka ekonomi yang eksponensial.

Pemerintah telah mencanangkan Indonesia sebagai largest digital economy pada 2020. Sektor digital ingin diletakkan sebagai bantalan ekonomi yang menjadi salah satu tumpuan pembangunan nasional. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah memerlukan peta jalan membuka akses berbagai macam sektor bisnis untuk masuk, bergabung, dan memperkuat bangunan ekosistem ekonomi digital.

Untuk memastikan agar kapitalisasi ekonomi digital tak mengarus ke luar negeri, dibutuhkan benteng regulasi dan strategi kebijakan. Perpres Nomor 39 Tahun 2014 yang mengatur ketentuan maksimal 45 persen kepemilikan asing dalam industri jasa telekomunikasi, mencakup di dalamnya berbasis aplikasi daring, harus dipertahakan. Bahkan, perlu dikurangi lagi porsinya hingga maksimal 30 persen, mengingat besarnya minat pengusaha dalam negeri membangun industri ini.

Amerika Serikat telah sukses membangun ekosistem digital di Silicon Valley yang melahirkan banyak perusahaan global, seperti Google, Facebook, Netflix, dan e-Bay. Mereka memberikan sumbangsih besar bagi perekonomian AS.

Menyitir data Departemen Perdagangan AS, lebih dari separuh ekspor jasa dan seperenam total ekspor barang dan jasa di negeri tersebut bersumber dari ekonomi digital. Sepanjang 2014, AS memperoleh pendapatan 400 miliar dolar dari ekspor berbasis ekonomi digital. Ini belum termasuk transaksi di dalam negeri.

Setali tiga uang, Cina juga meraup untung besar dari ekonomi digital. Asia Business Council mencatat, pada 2014 kapitalisasi pasar e-commerce di Cina mencapai 450 miliar dolar. Hingga 2020, target kapitalisasi ekonomi digital Cina sangat ambisius, yakni 2.948 miliar dolar. Cina memang memiliki perusahaan digital yang telah mendunia untuk mewujudkan ambisinya. Sebut saja, Alibaba, Sina Weiboo, Taobao, dan WeChat.

Baik di AS maupun Cina, ekonomi digital tumbuh subur berkat dukungan pasar dalam negeri yang besar. Pemerintah kedua negara juga membuat special policy yang menghilangkan hambatan perkembangan ekonomi digital.

Pemerintah bahkan secara nyata ikut ambil bagian di dalamnya. Contohnya, pemerintah daerah di Cina meluncurkan platform khusus untuk lelang agunan properti yang disita. Termasuk, menjualnya di situs Taobao.

Pengalaman dari dua kampiun ekonomi digital tersebut menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan aturan yang lebih rigid tentang industri berbasis ekonomi digital. Terutama, regulasi dan kebijakan yang menciptakan iklim usaha ekonomi digital yang sehat, berkesinambungan, kompetitif, dan jauh dari kegaduhan, sehingga ekosistem ini tumbuh sempurna.

Jusman Dalle

Direktur Ekskutif Tali Foundation

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement