Selasa 22 Mar 2016 17:00 WIB

RI-Cina Pascainsiden Natuna

Red:

Hubungan diplomatik Indonesia-Cina sedang diuji dalam insiden kapal nelayan Cina di perairan Kepulauan Natuna, Sabtu (19/3). Ujian ini bisa menghasilkan beberapa kemungkinan.

Sebelum insiden pencurian ikan di Natuna Sabtu lalu, posisi Indonesia dalam sengketa Laut Cina Selatan relatif pasif. Kedua negara sepakat soal sikap pasif ini.

Namun, pascainsiden itu, pernyataan tegas Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti, Menlu Retno Marsudi, dan tanggapan resmi Pemerintah Cina bisa memberikan gambaran. Apakah Indonesia akan bergabung bersama Vietnam dan Filipina menjadi pihak yang paling tegas bersengketa di wilayah Laut Cina Selatan melawan Cina?

Ada beberapa faktor yang bisa memengaruhi. Pertama, fakta kejadian Sabtu lalu harus dipertegas. Menteri Susi mengatakan, kapal nelayan Cina Kway Fey 10078 tertangkap basah mencuri ikan di perairan Kepulauan Natuna. Wilayah kapal Cina itu masih masuk ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Kemudian, proses penegakan hukum berlangsung. Kapal itu ditangkap dan hendak dibawa ke Natuna. Namun, dalam proses ini muncul kapal penjaga pantai Cina mengganggu penangkapan oleh aparat Pemerintah RI. Kapal Cina itu sebagai barang bukti tak bisa dibawa ke Natuna.

Menteri Susi protes keras terhadap Kedubes Cina di Indonesia. Indonesia menghormati Cina, seharusnya Cina juga menghormati Indonesia yang kini sedang gencar-gencarnya memerangi penangkapan ikan ilegal. Susi mengancam akan membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional.

Menlu Retno kemudian memanggil perwakilan Cina di Indonesia, menyampaikan protes keras dan nota protes kepada Beijing. Cina harus menghormati prinsip hukum laut internasional di wilayah Natuna. Apalagi, Indonesia bukan pihak yang bersengketa dalam Laut Cina Selatan.

Namun, jawaban Pemerintah Cina justru terasa melawan. Jawaban Pemerintah Cina dalam kasus ini serupa dengan jawaban Cina kepada Vietnam dan Filipina ketika dua negara itu merasa dilanggar kedaulatan lautnya.

Cina justru makin menegaskan keberadaan kapal nelayannya di Natuna masuk di wilayah maritim tradisional Cina. Dalam kasus sengketa Laut Cina Selatan, batas wilayah tradisional Cina itu kerap disebut "Nine Dash Line". Ini yang diakui sepihak oleh Cina dan ditolak Filipina, Vietnam, Malaysia, dan kini Indonesia.

Kita mendukung langkah protes dua menteri perempuan itu. Selain dari langkah diplomatik, kita ingin melihat ada langkah lanjutan dari sisi pertahanan dan keamanan di Natuna. Bila diperlukan, pemerintah bisa mengikuti jejak Filipina, membawa kasus ini ke mahkamah sengketa internasional.

Namun, hubungan RI-Cina tidak bisa dilihat dari satu keping insiden Natuna kemarin. Kita tahu pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tengah berupaya membangun hubungan baik dengan Cina. Presiden Jokowi dan Wapres JK sudah berkunjung ke Cina. Presiden Cina Xi Jinping pun berkunjung ke Indonesia.

Masalah ini berpotensi lebih pelik karena sejumlah proyek yang melibatkan kedua negara. Kita tahu, Presiden Jokowi mengajak investor Cina menanamkan modalnya di proyek infrastruktur di sejumlah daerah di Indonesia. Cina juga dilibatkan dalam proyek pembangkit tenaga listrik di beberapa kota. Bahkan, ribuan tenaga kerja Cina sudah masuk ke Indonesia.

Kemudian, Cina menjadi pemenang megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Pertanyaannya, apakah insiden Natuna dan efeknya ke depan akan memengaruhi hubungan RI-Cina dalam proyek tersebut di atas? Natuna dan wilayah Indonesia sangat penting. Namun, proyek infrastruktur nasional juga tak kalah penting. Ini yang harus dijawab pemerintah Jokowi.

Kita menunggu apa yang akan menjadi sikap Presiden Jokowi dan para pembantunya. Namun, perlu ditegaskan, apa yang terjadi di Natuna adalah soal kedaulatan negara. Kedaulatan sejatinya tak bisa ditawar.

Wilayah negara sejatinya tak bisa dibiarkan diberikan begitu saja. Karena itu, babak baru hubungan RI-Cina di Laut Cina Selatan akan sangat menentukan bagi pemerintah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement