Senin 15 Feb 2016 13:00 WIB

Kemiskinan, Ketimpangan, dan Jokowi

Red:

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapatkan tamparan keras ketika didapati bahwa selama tiga semester pemerintahannya angka kemiskinan justru naik dan ketimpangan—khususnya di perkotaan—memburuk. Cita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia sebagaimana tertuang dalam sila kelima Pancasila semakin jauh dari harapan.

Awal Februari lalu, Badan Pusat Statistik mengeluarkan data yang menunjukkan bahwa jumlah orang miskin naik dari 27,73 juta jiwa (10,96 persen jumlah penduduk) pada September 2014 menjadi 28,51 juta (11,13 persen) pada September 2015. Pada periode yang sama, rasio Gini, khususnya di perkotaan, naik dari 0,43 menjadi 0,47. Rasio Gini adalah rasio yang menggambarkan tingkat ketimpangan, semakin tinggi rasio ketimpangan semakin lebar.

Melebarnya kesenjangan sudah bisa teraba sebelumnya ketika ekonomi masih bisa tumbuh 4,79 persen, sementara jumlah orang miskin membengkak. Itu menunjukkan bahwa yang menikmati kue pertumbuhan hanya kalangan menengah atas, masyarakat miskin gigit jari. Seperti syair lagu Rhoma Irama bahwa yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Kondisi ketimpangan sebelumnya juga menjadi sorotan Bank Dunia. Pada laporan November 2015 lalu, mereka mengeluarkan data bahwa selama dasawarsa terakhir sampai 2014, sebesar 10 persen penduduk terkaya menguasai 77 persen ekonomi negeri. Laporan Bank Dunia hanya sampai 2014, dengan begitu, data 2015 semakin menegaskan bahwa ketimpangan terus berlanjut dari era Susilo Bambang Yudhoyono ke era Jokowi.

Menurut Bank Dunia, ada empat penyebab kesenjangan yang semakin tinggi, yakni ketimpangan peluang yang terkait dengan perolehan pendidikan dan kesehatan yang memadai; keterampilan pekerjaan yang tidak merata yang berujung pada kesenjangan gaji; tingginya konsentrasi kekayaan pada kelas atas yang memiliki aset keuangan dan properti; dan ketahanan ekonomi kalangan bawah yang lemah sehingga mudah untuk jatuh miskin.

Berdasarkan alasan tersebut, menjadi mudah dipahami jika ketimpangan di perkotaan semakin akut karena semua penyebab itu ada di kota. Penguasaan aset tanah, misalnya, kalangan the have di perkotaan berinventasi di properti yang harganya setiap tahun selalu naik. Otomatis kekayaan mereka semakin meninggalkan kalangan bawah yang tidak memiliki aset.

Sementara, di pedesaan mengapa ketimpangan minim karena kehidupan masyarakat relatif hampir merata di bagian bawah. Artinya, masyarakat miskin dan hampir miskin jumlahnya besar, tetapi golongan yang sangat kaya sebagaimana orang kaya di kota, tidak ada. Sarana investasi di desa bagi orang kaya desa minimal.

Pemerintah harus waspada dengan fenomena ketimpangan ini karena angka rasio Gini sudah mengkhawatirkan, rawan terjadi gejolak sosial. Apalagi jika pemerintah tidak mampu menahan kenaikan bahan pangan, seperti beras, jagung, cabai, bawang, yang terjadi dalam dua bulan terakhir. Di sisi lain, beberapa perusahaan termasuk perusahaan asing mulai menutup usahanya di Indonesia yang akan berakibat bertambahnya daftar pengangguran.

Paul Krugman, peraih Nobel Ekonomi, mengatakan, ketimpangan adalah akibat keberpihakan institusi pemerintah dan politik pada kelompok tertentu, bukan karena faktor pasar. Dari pernyataan Krugman itu berarti berbagai kebijakan pemerintah menjadi penyebab atas terjadinya kesenjangan.

Jika ingin menyempitkan jurang kesenjangan, berarti level terbawah dinaikkan dengan mengurangi jumlah orang miskin, bersamaan dengan itu pertumbuhan kekayaan kalangan atas diatur agar terkontrol.

Dalam hal mengurangi jumlah orang miskin, penyelesaian ad hoc-nya adalah menurunkan harga pangan, terutama beras karena tingkat kemiskinan rentan terhadap harga pangan. Pasokan harus dijaga, jika perlu operasi pasar beras bersubsidi terus dilakukan.

Upaya lebih mendasar yang bersifat jangka menengah-panjang agar keluar dari jeratan kemiskinan adalah pendidikan dan entrepreneur. Pendidikan tinggi memberi kesempatan seseorang untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang baik.

Motivator Jamil Azzaini bisa menjadi contoh. Di tengah kemiskinan yang menjeratnya, dia mati-matian melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Dari ijazah yang diperolehnya itu kemudian dia mengawali kariernya dan sekarang menjadi motivator terkenal. Hal yang hampir sama juga dijalani Menteri Sudirman Said.

Jalan lain yang ditempuh adalah menjadi entrepreneur. Beberapa konglomerat seperti Liem Sioe Liong atau Eka Tjipta Widjaja, misalnya, mereka sewaktu kecil adalah anak-anak miskin dan puluhan tahun kemudian menjadi orang terkaya di Indonesia.

Fauzi Saleh, pengembang perumahan mewah Pesona Depok, juga seperti itu. Ketiga orang tersebut dari keluarga miskin dan hanya bersekolah sampai SMP, tapi kegigihannya berwirausaha mampu mengangkatnya dari kemiskinan.

Dalam skala yang lebih masif, Muhammad Yunus yang dengan Grameen Bank-nya di Bangladesh telah mengentaskan jutaan warga dari jerat kemiskinan dengan mendorong masyarakat menjadi entrepreneur. Grameen memberikan pinjaman kepada kelompok-kelompok wanita untuk mengembangkan bisnis yang ada di lingkungannya, misalnya, membuat kerajinan dan lain-lain.

Lantas bagaimana mengerem pertumbuhan kekayaan kalangan atas? Ekspansi perlu dibatasi. Contoh, kepemilikan lahan perkebunan yang mencapai jutaan hektare, tak bisa dibiarkan.

Pengembangan properti perlu pembatasan agar jangan sampai, misalnya, ada sebuah kota yang lahannya dikuasai oleh satu-dua perusahaan. Pembatasan persaingan usaha juga perlu, terutama yang bersaing dengan usaha kecil, seperti minimart yang mematikan warung kecil di kampung.

Pada 2016, pemerintah mencanangkan rasio Gini sebesar 0,39. Target yang hampir mustahil. Konsekuensinya, pertumbuhan yang ditargetkan 5,3 persen harus berkualitas, yakni mampu menyerap banyak tenaga kerja (setiap pertumbuhan satu persen menyerap 400 ribu tenaga kerja) dan mengurangi kemiskinan sehingga tercipta pemerataan pendapatan. Kata kuncinya, kue pertumbuhan harus dinikmati bersama.

Selama ini Jokowi-JK lebih berkonsentrasi di bidang infrastruktur sehingga masalah pangan, kemiskinan, dan kesenjangan sedikit terabaikan. Infrastuktur penting, tapi merealisasikan sila kelima harusnya lebih penting. 

Anif Punto Utomo

Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement