Jumat 12 Feb 2016 15:47 WIB

Penculikan dan Pembunuhan Anak

Red: operator

Tren penculikan dan pembunuhan yang menimpa anak-anak belakangan ini cenderung makin mencemaskan. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, paling tidak 160 laporan kematian anak yang didahului penculikan.

Dari 160 kasus pembunuhan anak, sebanyak 121 kasus di antaranya yang terjadi sepanjang 2015 didahului dengan tindak penculikan. Sejak Januari 2016 hingga awal Februari ini, tercatat sudah ada 39 kasus kematian anak yang didahului dengan penculikan (Republika, 10 Februari 2016).

Tindak penculikan dan pembunuhan terbaru yang terungkap ke publik adalah kasus Jamaluddin, siswa kelas satu SDN 3 Beji, Depok, Jawa Barat. Bocah malang ini diculik dan dibunuh Begeng (35 tahun) alias Januar Arifin seusai pulang sekolah. Aparat kepolisian menemukan mayat Jamaludin di dalam kamar mandi rumah pelaku di daerah Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur.

Di luar kasus yang menimpa Jamaluddin, daftar anak yang menjadi korban penculikan dan pembunuhan masih bisa terus diperpanjang. Di berbagai daerah, anak-anak yang pulang sekolah atau bermain sendirian jangan kaget jika menjadi target penculikan pelaku.

Bagi orang-orang yang memiliki kelainan seksual, para pedofil, orang-orang jahat lainnya, menculik anak-anak yang lugu, menjadikan objek eksploitasi seksual dan kemudian membunuhnya adalah pilihan yang menarik karena dinilai aman dan mudah.

Korban potensial

Berbeda dengan menculik remaja atau orang dewasa yang jelas akan menuai perlawanan dan tidak mungkin dilakukan sendirian, menculik dan membunuh anak-anak acap kali lebih mudah karena sikap lugu dan ketidakberdayaan anak itu sendiri. Kasus yang dialami Jamaluddin, misalnya, hanya dengan iming-iming uang Rp 2.000, si pelaku dengan mudah membujuk korban ikut dirinya untuk kemudian disekap hingga dibunuh.

Dalam berbagai kasus penculikan dan pembunuhan anak, sebagian besar anak yang menjadi korban umumnya berusia di bawah 10 tahun. Seorang bocah yang belum mengenal kejamnya dunia dan mudah diperdaya tampaknya menjadi pilihan yang menarik dan disukai para pelaku.

Bisa dibayangkan, hanya dengan sedikit uang, permen atau gula-gula, dan bujuk rayu, dengan mudah anak-anak itu akan teperdaya dan menurut begitu saja diajak pelaku ke tempat sepi atau dibawa ke rumah untuk dijadikan objek tindak kekerasan seksual atau perlakuan kasar lainnya.

Dalam satu-dua tahun belakangan ini, kasus penculikan anak sering kali bukan meminta uang tebusan atau melakukan penculikan untuk tujuan dipekerjakan atau dijual organ tubuhnya. Dari berbagai kasus yang terjadi dan tercatat di Komnas PA, anak-anak yang menjadi korban penculikan sebagian besar umumnya diculik untuk tujuan menjadi objek kekerasan seksual, seperti disodomi hingga akhirnya dibunuh pelaku untuk menutupi tindakan jahatnya.

Jadi, tidak sama dengan hasil pantauan dari Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW) yang menemukan bahwa sebagian besar anak yang menjadi korban penculikan dipaksa bekerja sebagai anak jalanan, dipaksa bekerja di sektor industri seksual komersial, atau diambil organ tubuhnya untuk kepentingan menyelamatkan anak-anak orang kaya yang mengalami kelainan organ penting sejak lahir. Dewasa ini motif pelaku umumnya bukan karena faktor ekonomi, melainkan lebih didorong oleh motif personal, yakni untuk memenuhi hasrat seksual para pelaku yang biasanya menyimpang.

Anak-anak dari masyarakat kelas menengah ke bawah dan anak-anak yang tidak terawasi dengan baik oleh orang tuanya, mereka biasanya menjadi korban penculikan dan pembunuhan yang paling potensial. Para pelaku biasanya memanfaatkan kelengahan orang tua dan kurangnya kepedulian masyarakat sebagai momen untuk menjalankan aksi jahat mereka.

Sebagai salah satu bentuk tindak kejahatan yang luar biasa, para pelaku penculikan dan pembunuhan seyogianya memang dihukum yang setimpal dan seberat-beratnya agar menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun orang lain yang akan melakukannya. Hanya, untuk mencegah agar kasus penculikan dan pembunuhan tidak makin marak, tentu yang dibutuhkan bukan hanya ancaman hukuman yang berat, melainkan juga bagaimana kita mampu merumuskan strategi efektif untuk memperkecil ruang gerak para pelaku.

Dengan belajar dari kasus-kasus sebelumnya, tindakan penculikan dan pembunuhan anak umumnya selalu memanfaatkan kelengahan orang tua dan masyarakat dalam menjaga anak-anaknya. Maka, ke depan agenda terpenting sesungguhnya adalah bagaimana meningkatkan kesadaran dan kepedulian keluarga dan masyarakat akan keselamatan anak-anak mereka, baik di rumah, apalagi ketika anak berada di zona-zona publik yang tak terkontrol.

Di cerita sinetron atau di film-film Hollywood, anak-anak yang berasal dari keluarga super kaya atau anak-anak politikus yang terkenal, mereka biasanya digambarkan selalu menjadi target penculikan dari lawan politik atau penjahat yang berkeinginan memperoleh uang tebusan yang mahal. Namun, pada era masyarakat postmodern yang makin simpang siur seperti sekarang ini, anak-anak manapun niscaya bisa menjadi target penculikan dan pembunuhan jika mereka tidak terawasi dengan baik dan masyarakat tidak memiliki kepekaan untuk melakukan mekanisme deteksi dini terhadap para pelaku penculikan anak.

Menjadikan masyarakat sebagai watchdog yang senantiasa siaga untuk menjaga keselamatan anak-anak di sekitarnya adalah modal terpenting untuk memastikan agar kasus penculikan dan pembunuhan anak tidak makin meruyak. Dalam konteks ini, dukungan dari CBO (community based organization) dan dukungan berbagai kelompok sekunder di masyarakat--seperti kelompok Dasa Wisma, ibu-ibu PKK, kumpulan informal bapak-bapak, dan lain sebagainya--adalah pranata-pranata lokal yang jika dikelola dengan baik, niscaya bakal jauh lebih efektif menjaga keselamatan anak daripada hanya mengandalkan kepada kinerja aparat penegak hukum yang jumlahnya sangat terbatas. n

Bagong Suyanto

Dosen Masalah Sosial Anak di FISIP Universitas Airlangga, Peneliti Kasus Child Abuse di Indonesia 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement