Selasa 09 Feb 2016 15:00 WIB

Trio Ketimpangan Pembangunan

Red:

Ketimpangan masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang mahaberat. Gemuruh pembangunan selama bertahun-tahun tidak hanya memperbesar kue ekonomi yang tercermin pada besaran PDB yang terus meninggi, tapi pembangunan juga menghasilkan residu yang tak dikehendaki: ketimpangan antarwilayah, disparitas antarsektor ekonomi, dan kesenjangan pendapatan antarpenduduk.

Pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi satu dekade terakhir hanya dinikmati segelintir pihak. Pembangunan tidak menyejahterakan semua lapisan. Upaya Jokowi-JK membalik arah pembangunan lewat Nawacita belum mengikis trio ketimpangan.

Ketimpangan antarwilayah mudah dikenali dari kesenjangan wilayah; antara wilayah barat versus timur. Pada 1975, kawasan barat Indonesia (KBI) menguasai 84,6 persen PDB nasional dengan Jawa yang hanya sembilan persen dari luas wilayah menguasai 46,7 persen PDB nasional dan jadi tempat bermukim 63,2 persen penduduk Indonesia. Lebih tiga dekade kemudian, pada 2013 KBI (Jawa dan Sumatra) menguasai 82 persen PDB nasional, meninggalkan kawasan timur Indonesia (KTI) yang hanya menguasai 18 persen.

Supremasi Jawa atas non-Jawa terlihat jelas, pada 2013 Jawa menguasai 58 persen PDB nasional dengan tiga provinsinya (DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat) menguasai 46 persen PDB nasional. Inilah dua wajah asli wilayah Indonesia.

Ketimpangan antarsektor terjadi karena kue pertumbuhan tidak terbagi merata (untuk semua pelaku ekonomi). Kue pertumbuhan ekonomi selama ini lebih banyak ditopang sektor modern (nontradable), seperti sektor keuangan, jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, dan perdagangan/hotel/restoran. Pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 5,78 persen ditopang oleh sektor nontradeable itu seperti sektor komunikasi (tumbuh 10,19 persen). Sektor ini tumbuh di atas rata-rata nasional. Sebaliknya, sektor riil (tradable) semacam sektor pertanian (3,5 persen), industri (5,6 persen), dan pertambangan (1,34 persen) tumbuh rendah (BPS, 2014).

Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable versus nontradable ini memiliki implikasi serius karena terkait pembagian kue dan surplus ekonomi. Sektor nontradable bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan. Pelakunya hanya segelintir.

Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja. Karena karakteristiknya itu, penyerapan tenaga kerja sektor nontradable jauh lebih kecil dari sektor tradable. Ini tak hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah dibandingkan masa Orde Baru, misalnya. Namun juga menyentuh dimensi kesejahteraan; tumbuh tapi tidak (semuanya) sejahtera.

Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional pada 2014 hanya 14 persen. Padahal, sektor ini menampung 41 persen dari total tenaga kerja. Akibatnya, pertanian kian involutif yang ditandai masifnya tingkat kemiskinan di perdesaan.

Kesenjangan pendapatan antarpenduduk kian mencemaskan. Distribusi pendapatan menunjukkan porsi pendapatan 40 persen masyarakat dengan pendapatan terendah menurun, dari 20,22 persen (2005) jadi 16,86 persen (2011). Pada saat sama pendapatan 20 persen masyarakat berpendapatan tertinggi naik dari 42,09 persen menjadi 48,41 persen.

Dengan indikator rasio gini, kecenderungannya juga sama. Dalam satu dasawarsa terakhir, rasio gini meningkat, dari 0,32 (2004) menjadi 0,413 (2014). Menurut data Credit Suisse pada 2014, satu persen kelompok terkaya menguasai aset uang dan properti 50,3 persen dari total uang dan properti nasional. Artinya, pembangunan hanya dinikmati sekelompok kelas ekonomi; kelas menengah ke atas.

Memang ada argumen yang selalu jadi apologi; kesenjangan pendapatan biasa terjadi pada tahap awal pembangunan. Namun, bagi Indonesia argumen ini sulit diterima. Gemuruh pembangunan sudah dimulai sejak 1960-an, bersamaan dengan Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan. Pada tahun itu ekonomi Indonesia lebih baik dari Malaysia. Bahkan, dengan Korea Selatan hampir sama.

Dengan Jepang pun tidak ketinggalan jauh. Pada 1960 Indonesia dan Korea Selatan memiliki pendapatan per kapita 100 dolar AS. Tapi, kini Korea Selatan jauh meninggalkan Indonesia dengan pendapatan per kapita 31 ribu dolar AS, enam kali pencapaian Indonesia. Tentu ada yang salah pada desain dan arah pembangunan (ekonomi) Indonesia.

Tak ada salahnya menengok Cina. Cina yang memulai pembangunan ekonomi pada 1980 berhasil menekan angka kemiskinan secara drastis; dari 64 persen (1981) tinggal 7 persen (2007). Tidak hanya berhasil mengurangi jumlah orang miskin, dalam kurun waktu itu Cina juga berhasil membawa 65 persen penduduknya menjadi kelompok kelas menengah dan menengah atas.

Sebaliknya, meskipun anggaran antikemiskinan naik berlipat-lipat, Indonesia hanya bisa menekan angka kemiskinan tak lebih 4-5 persen. Kelas menengah yang dicetak hanya 10,6 persen.

Salah satu strategi Pemerintah Cina yang patut dicatat adalah upaya kerasnya dalam menciptakan lapangan kerja secara masif dan berkelanjutan. Cina mengawali pembangunan dengan membangun desa, khususnya sektor pertanian. Dengan konsentrasi orang miskin di perdesaan, pembangunan pertanian menjadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan SDM berpendidikan dan berketerampilan tinggi.

Saat ini, 63 persen penduduk miskin Indonesia berada di perdesaan. Mayoritas mereka bekerja di sektor pertanian. Pengalaman Cina seharusnya meyakinkan kita bahwa jalan yang selama ini ditempuh yang meninggalkan sektor pertanian dan membangun industri foot loose, amat tidak tepat. Sudah saatnya hal ini dikoreksi ulang.

Duet Jokowi-JK, seperti tercantum dari Nawacita yang mengusung ide "membangun dari pinggiran dan perdesaan", mencoba mengoreksi "kesalahan" jalan pembangunan itu. Untuk mewujudkannya, ditempuh melalui kerja-kerja teknokratis, seperti isi roh UU Desa No 6/2014.

Harus disadari benar, selain jadi lokus kemiskinan, saat ini kualitas SDM perdesaan juga amat rendah. Penguasaan modal (lahan dan pendanaan) terbatas. Kapasitas desa yang lemah semakin tunadaya (powerless) akibat kebijakan pembangunan nasional menempatkan desa/perdesaan hanya sebagai pemasok tenaga kerja murah, penyedia bahan mentah, dan pasar bagi komoditas olahan (yang dikerjakan di wilayah lain atau di kota, oleh pihak lain).

Untuk mengikis trio ketimpangan, pembangunan perdesaan lewat dua cara menjadi keniscayaan. Pertama, redistribusi aset/modal. Pada 2016 jumlah dana desa mencapai Rp 46,8 triliun, naik lebih dua kali dari 2015 (Rp 20,7 triliun).

Aliran modal besar ke desa ini akan menciptakan dampak berganda luar biasa bila pada saat yang sama diiringi redistribusi aset berupa lahan. Janji duet Jokowi-JK yang akan membagikan  sembilan juta hektare lahan kepada petani dan meningkatkan penguasaan lahan dari 0,2 hektare jadi dua hektare per keluarga perlu ditunaikan. Penguasaan aset lahan akan memperbesar kapasitas petani.

Kedua, desa membangun harus diorientasikan dalam skala kawasan, bukan bertumpu pada pendekatan administratif. Desa harus didesain terintegrasi dengan industri pengolahan. Sumber daya ekonomi sebisa mungkin ditahan desa dan hanya keluar setelah melalui proses penciptaan nilai tambah.

Suntikan inovasi dan adopsi teknologi menjadi keniscayaan agar nilai tambah dan dampak berganda sebesar-besarnya dinikmati masyarakat perdesaan. Jika desain ini bisa dilakukan dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan posisi desa tidak lagi inferior.

Desa menjanjikan nilai tambah dan kehidupan lebih baik. Ini akan jadi daya tarik lulusan perguruan tinggi untuk kembali ke desa. Perlahan tapi pasti, kemiskinan akan terkikis.

Khudori

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement