Selasa 09 Feb 2016 15:00 WIB

Cukup Sudah Miras Oplosan

Red:

Tragedi pada  awal Februari 2016. Dari Sleman, Yogyakarta, ada sekitar 20 pemuda yang tewas setelah pesta minuman keras racikan. Polisi menyebut korban tewas miras racikan ini 26 orang. Informasi dari rumah sakit setempat memperlihatkan, banyak pula yang masih dirawat dengan kondisi parah.

Dengan skala korban tewas yang makin besar saban tahun, kita ingin pemerintah pusat tidak menutup mata dalam kasus di Yogyakarta. Banyaknya korban miras oplosan ini memperlihatkan keseriusan pemerintah daerah/kabupaten/kota dan aparat hukum menindak peredaran miras oplosan dan peraciknya.

Miras adalah masalah serius, baik itu yang racikan maupun nonracikan. Sayangnya, sebagian kelompok masyarakat belum menganggapnya serius betul. Sejauh ini, aturan hukum untuk industri rumahan miras racikan dan peracik miras tidak merata. Ada daerah yang tegas mengatur miras oplosan dan nonoplosan. Tapi, lebih banyak daerah yang tidak mengaturnya.

Kasus Sleman dan Yogyakarta ini cukup unik karena daerah tersebut memiliki peraturan daerah pelarangan miras. Aturan ini juga sudah memasukkan kategorisasi miras oplosan. Ada sanksi bagi para penjual dan ditegaskan DI Yogyakarta harus bebas dari miras oplosan.

Aturan pusat barulah pada RUU Minuman Beralkohol yang sedang dibahas di DPR. Kita berharap, tragedi Februari ini memicu kerja anggota DPR menuntaskan RUU Minol dan memasukkan pasal tentang minuman racikan atau minuman alkohol tradisional.

Ini mengingatkan kita pada awal 2015. Ketika menteri perdagangan waktu itu Rachmat Gobel mengeluarkan aturan minimarket dan toko ritel modern dilarang menjual miras apa pun golongannya. Aturan ini sempat mengundang protes dari penjual maupun produsen.

Yang tak terlihat adalah situasi sebelum dan sesudah aturan larangan penjualan miras itu ditegakkan. Sebelum ada aturan, kita mudah menemukan sekelompok remaja menghabiskan waktu di depan toko ritel sambil meminum bir atau vodka. Tapi, setelah aturan ditegakkan, jumlah mereka berkurang.

Apa yang sebenarnya terjadi? Dalam kasus miras nonoplosan, kebijakan pemerintah pusat berhasil mematikan akses miras kepada remaja di toko ritel. Dengan tidak adanya botol miras di lemari pendingin toko ritel maka 'perkenalan' remaja pada bentuk miras yang paling dasar itu bisa ditunda.

Kita bisa berandai-andai kalau kebijakan pembatasan distribusi miras di toko ritel modern itu tidak jadi diterapkan. Bisa dibayangkan efek berantai, seperti apa yang akan terjadi yang merembet ke miras oplosan. Apakah ada hubungan langsung antara miras oplosan dan nonoplosan?

Kita harus berani bilang ada! Minimal, pada tahap 'perkenalan' pada miras. Peminum yang tak puas dengan kadar kekuatan minuman nonoplosan biasa yang dijual di toko ritel modern akan mencari minuman yang lebih keras lagi. Inilah relung bisnis yang diisi para peracik miras oplosan.

Kita ingin luasnya rantai peredaran miras opolosan maupun nonoplosan harus terus diperkecil. Di sini, peran pemerintah daerah dan polda menjadi penting. Mematikan distribusi miras nonoplosan di toko ritel modern bukanlah tantangan sesungguhnya.

Justru memberantas peredaran miras nonoplosan yang tidak dijual di ritel modern itu kerja yang lebih berat. Karena miras oplosan dijual tanpa merek, tanpa toko yang jelas, dan dibuat dari bahan-bahan yang mematikan.

Tragedi Februari di Yogyakarta dan Sleman harusnya jadi momentum memberantas miras oplosan di seluruh Indonesia. Kita berharap, aparat hukum sadar betul ancaman miras oplosan dan merancang strategi yang lebih komprehensif lagi untuk memberantasnya. Kita juga berharap, pemda yang belum memiliki perda miras segera membuat aturan larangan produksi dan distribusi miras itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement