Jumat 05 Feb 2016 15:00 WIB

Potret Pendidikan NU

Red:

Salah satu ormas terbesar di Tanah Air, Nahdlatul Ulama (NU), baru saja merayakan ulang tahun ke-90. Usia matang untuk institusionalisasi sebuah organisasi yang lahir dan berbasis kultural Islam ala Indonesia yang kini populer dengan istilah Islam Nusantara.

Jauh sebelum didirikan pada 31 Januari 2016, tradisi NU sudah berkembang, terinternalisasi, dan tersosialisasi di sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di Pulau Jawa, melalui pendidikan khas Indonesia, pesantren.

Dengan demikian, sejarah NU tak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang pendidikan umat Islam yang sebagian besar tak tersentuh oleh pendidikan resmi kolonial saat itu. Berbeda dengan Muhammadiyah yang langsung mereplikasi pendidikan modern ala Belanda saat itu, NU tetap mempertahankan tradisi kepesantrenan dengan jejaring kiai saat itu.

Namun, sesuai dengan semangat tradisi ulama, yaitu senantiasa merawat tradisi yang baik dan melakukan pencarian inovasi yang lebih baik (al-muhaafazhah 'ala l-qadiimi sh-shaalih wa l-akhdz bi l-jadiidi l-ashlah), penyelenggaraan pendidikan NU juga mengalami proses adopsi dan adaptasi dengan terus menyinergikan misi organisasi, sistem pendidikan nasional yang ada, dan realitas lokal masyarakat yang dilayani.

Semangat inovasi ini tercetus sejak Muktamar kedua NU di Surabaya pada 1927. Saat itu, warga NU bersepakat menggalang dana untuk mendirikan madrasah dan juga sekolah (Zamzani, 2012).

Ditilik dari sisi pengelolaan, berbeda dengan satuan pendidikan Muhammadiyah yang langsung memiliki dan mengelola penyelenggaraan secara berjenjang, seperti birokrasi pemerintah, satuan pendidikan NU sebagian besar dimiliki dan dikelola individu (USAID, 2007). Untuk mengoordinasikan lembaga pendidikan itu, NU memiliki sayap lembaga, yaitu Rabithah Ma'ahid Islamiyah untuk jejaring pesantren dan Lembaga Pendidikan Ma'arif yang mengoordinasikan ribuan satuan pendidikan NU yang tersebar hampir di semua provinsi di Tanah Air.

Menurut Zamzani (2012), Muktamar ke-30 pada 1999 di Lirboyo, Kediri, merupakan momentum penting pengembangan pendidikan NU. Dalam muktamar ini, NU menegaskan pentingnya memperkuat tata kelola pendidikan NU yang merupakan instrumen terpenting penyebar dan penyubur misi NU, yaitu membentuk Muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlakul karimah, cerdas dan terampil, serta melaksanakan paham Ahlussunah waljamaah, serta turut bertanggung jawab akan kelangsungan hidup bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Mamat S Burhanudin, 2015).

Pemantapan tata kelola itu, dua tahun kemudian dioperasionalisasikan dalam Rakernas LP Ma'arif NU yang membagi satuan pendidikan ke dalam tiga kategori sekolah/madrasah; (1) yang didirikan oleh LP Ma'arif, (2) yang didirikan oleh jamaah atau lembaga lain di lingkungan NU bekerja sama dengan LP Ma'arif, dan (3) yang didirikan dan dikelola secara mandiri oleh jamaah atau lembaga lain di lingkungan NU.

Menurut laman resminya, setidaknya sampai saat ini, ada sekitar 6.000 lembaga pendidikan yang dikoordinasikan oleh Ma'arif yang tersebar di seantero nusantara. Tentu, tak mudah menilik sebaran dan kualitas semua jenis dan jenjang pendidikan sehingga difokuskan untuk jenjang pendidikan SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs) karena untuk jenjang SD/MI sebagian besar telah disediakan pemerintah dan untuk jenjang SMA/MA/SMK tak mudah melakukan komparasi karena beragamnya jurusan dan jenis (track) pendidikan.

Untuk jenjang SMP/MTs, ada sekitar 1.400 lembaga pendidikan yang teridentifikasi sebagai bagian dari satuan pendidikan di bawah naungan LP Ma'arif yang sebagian besarnya berbentuk MTs sekira 67 persen persen dan sisanya SMP. SMP/MTs Ma'arif NU itu telah menjangkau lebih dari 80 persen provinsi di Indonesia.

Berdasarkan peta itu, sebagian besar satuan pendidikan Ma'arif berada dalam manajemen Kementerian Agama yang mengelola madrasah. Sekalipun sebagian besar SMP/MTs Ma'arif berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat (81,8 persen), juga cukup tersebar di lebih dari 70 persen kota dan menjangkau hampir 39 persen kabupaten ada di yang ada di Indonesia. (Diolah dari UN, 2013). Fakta ini memperlihatkan bahwa satuan pendidikan Ma'arif juga banyak melayani siswa di kota.

Ditilik dari latar belakang pekerjaan orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan Ma'arif, petani dan buruh cukup mendominasi (53 persen), disusul wiraswasta (21 persen), PNS dan karyawan swasta (18 persen), dan lain-lain (delapan persen). Siswa yang sekolah di SMP/MTs Ma'arif sebagian besar berlatar belakang SD/MI (58 persen), sekitar 21 persen lulusan SMP/MTs dan 17 persen lulusan SMA/MA/SMK serta hanya empat persen lulusan perguruan tinggi.

Potret itu menunjukkan bahwa sekalipun cukup banyak tersebar di kota di Pulau Jawa, tapi satuan pendidikan Ma'arif banyak melayani siswa dari keluarga menengah ke bawah yang tak tersentuh sekolah negeri. Di sinilah, kontribusi satuan Ma'arif berperan penting dalam membantu pemerintah untuk menjangkau yang tak terjangkau dalam menyukseskan pendidikan dasar untuk semua. Sebagai mitra dalam pembangunan pendidikan, satuan pendidikan LP Ma'arif layak mendapat perhatian dan dukungan guna memperkuat pembelajaran untuk mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan.

Mengancik kualitas pembelajaran, tak mudah menyepakati tolok ukur kualitas pendidikan. Namun, sebagai indikator proxy, nilai ujian nasional (UN) bisa dijadikan rujukan. Merujuk hasil UN, kinerja satuan pendidikan Ma'arif untuk mata pelajaran bahasa Indonesia terbilang menggembirakan, di mana sebagian besar atau sekira 53 persen mampu melampaui nilai rerata nasional.

Capaian yang cukup baik ini, di samping kinerja pembelajaran juga dapat dijelaskan dengan realitas sebaran satuan pendidikan yang didominasi di Pulau Jawa yang cukup terekspose dengan ragam kosa kata bahasa Indonesia dalam keseharian dan media massa, sekali pun latar belakang pekerjaan dan pendidikan orang tua terbatas dapat terkompensasi.

Berbeda dengan mata pelajaran bahasa Indonesia, rerata nilai UN mata pelajaran IPA dan matematika siswa di satuan pendidikan Ma'arif yang mampu melampaui rerata nasional masing-masing hanya 47 persen dan 46 persen. Mata pelajaran bahasa Inggris masih menjadi mata pelajaran yang relatif sulit, sehingga 58 persen siswa tak mampu melampaui rerata nasional.

Berdasarkan peta ini, perbaikan infrastruktur dan metode pembelajaran di satuan pendidikan Ma'arif perlu terus ditingkatkan. Upaya ini tidak mudah ketika dihadapkan pada realitas latar belakang orang tua siswa yang relatif terbatas, sehingga peran sekolah/madrasah menjadi penting untuk mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan.

Sebagaimana satuan pendidikan swasta pada umumnya yang terbukti cukup efisien (Newhouse & Beegle, 2005), satuan pendidikan Ma'arif sudah berupaya maksimal, tapi tak mudah mendongkrak kualitas pendidikan dengan infrastruktur dan guru yang terbatas. Di sinilah kemitraan pemerintah dan masyarakat penyelenggara pendidikan menjadi tak terhindarkan (Patrinos, Barrera-Osorio, Guáqueta, 2009).

Penyelenggara pendidikan membantu memperluas akses dan pemerintah pusat dan daerah membantu memperkuat kualitas pembelajaran, terutama untuk satuan pendidikan yang melayani masyarakat kurang beruntung. Pola kemitraan pemerintah dan masyarakat ini akan mampu memperluas akses dan kualitas dengan biaya lebih murah dibanding pemerintah membangun sekolah negeri baru untuk menjangkau masyarakat kurang beruntung.

Tatang Muttaqin

Penekun Kajian Pendidikan di the Inter-University Center for Social Science Theory and Methodology (ICS) The Netherlands

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement