Sabtu 16 Jan 2016 17:29 WIB

Penanganan Terorisme dan HAM

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Teror yang menyergap Jakarta pada 14 Januari 2016, pada Kamis pagi yang cerah, mencabik rasa aman dan ketenangan masyarakat. Setidaknya tujuh orang tewas, lima di antaranya diduga teroris, dan puluhan orang dilaporkan luka-luka akibat terkena ledakan bom dan tembakan.

Teror di jantung Kota Jakarta kali ini adalah yang terbesar setelah tragedi bom di Hotel JW Marriott dan di depan Kedubes Australia, yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengklaim sebagai otak di balik serangan tersebut.

Sebagaimana dalam berita dan foto yang beredar, salah satu pelaku melakukan aksi terornya dengan tenang, sebagaimana layaknya penjahat berdarah dingin. Pelaku menembak polisi dari arah dekat di tengah kerumunan massa, walaupun di sekelilingnya banyak polisi, setelah terjadi ledakan di pos polisi. Pelaku terus menjalankan aksinya dengan mengeluarkan tembakan dari depan sebuah kafe dengan tenang, sebelum kemudian diduga melakukan aksi bom bunuh diri.

Teror di jantung Kota Jakarta menyentak kita, dengan menyisakan pertanyaan, apa yang menjadi motif dan penyebabnya. Pendekatan hak asasi manusia (HAM) menekankan pada hal ini, yaitu mengiden tifikasi akar masalah yang memicu aksi terorisme, dari faktor sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Dengan demikian, kebijakan penanggu langan terorisme melalui deradikalisasi dapat berjalan efektif dan mengenai sasaran.

Kegagalan kebijakan penanggulangan terorisme, meskipun sudah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), adalah bukan pada kurangnya wewenang lembaga tersebut dan regulasinya. Akan tetapi, di antaranya adalah kurangnya identifikasi akar masalah terorisme dan belum dibangunnya mekanisme pencegahan aksi teror secara komprehensif. Aksi teror yang masih terjadi adalah bukti masih gagalnya negara dalam memproteksi dan memenuhi hak atas rasa aman dan hak hidup.

Dengan demikian, dibutuhkan kualifikasi aparat dan lembaga negara yang dapat menjalankan kewajibannya memproteksi setiap orang secara maksimal, serta koordinasi dan sinergitas antarlembaga negara, seperti Polri, TNI, BIN, dan BNPT, dengan partisipasi masyarakat.

Adanya pola dan sasaran yang berubah dari pelaku teror, dari menyerang simbol- simbol negara asing, bergeser ke simbol negara seperti polisi, harus dikaji dan dicari tahu, apa motif, penyebab, dan pemicunya.

Teror tersebut jelas menampar kredibilitas aparat penegak hukum dan wibawa negara secara keseluruhan. Di depan mata publik dan di jantung ibu kota negara, pelaku teror menembak polisi tanpa rasa takut, dengan pesan untuk meneror simbol negara dan menyebarkan rasa takut.

Teror adalah musuh bersama bagi umat manusia sehingga menjadi kepentingan dan tugas bersama untuk memeranginya. Pendekatan terintegrasi antara negara, masyarakat sipil, dan aktor-aktor nonnegara, sangat dibutuhkan karena teror tidak akan selesai melalui langkah penindakan hukum semata, misalnya, hanya melalui Detasemen Khusus 88.

Teror telah merampas hak asasi manusia para korban dan masyarakat secara umum, khususnya hak untuk hidup, hak atas rasa aman, dan kemerdekaan dari rasa takut. Teror juga menyebabkan instabilitas suatu wilayah dan bangsa, membahayakan masyarakat, menjadi ancaman bagi perdamaian dan pembangunan, apalagi yang diserang adalah ibu kota negara seperti Jakarta dan Paris, beberapa waktu yang lalu.

Negara berkewajiban untuk melindungi setiap orang, di antaranya mengambil tindakan semaksimal mungkin dengan menggunakan sumber daya yang tersedia untuk meng adili para teroris dengan mengedepankan due process of law. Penanganan terorisme dengan cara dan pendekatan yang benar dan tepat, berbasis pada penghormatan dan perlindungan HAM, harus menjadi bagian penting dalam kebijakan dan program memerangi kejahatan terorisme yang semakin vulgar menunjukkan jati dirinya.

Pendekatan berbasis HAM harus berada pada setiap tahap dan penanganan terorisme, termasuk ketika terduga teroris menghadapi proses hukum di pengadilan. Pendekatan HAM menekankan bahwa penanganan atas kejahatan terorisme harus akuntabel. Mekanisme untuk menjamin adanya kontrol dan pengawasan publik harus dibangun dan dijalankan atas wewenang yang diberikan kepada negara dalam kebijakannya memerangi terorisme.

Perlakuan sewenang-wenang aparat negara harus dihentikan dan pelakunya harus diproses secara hukum. Kejadian salah tangkap yang beberapa kali dilakukan oleh Densus 88 harus dievaluasi dan menjadi pelajaran penting dalam penindakan hukum agar tidak kontraproduktif dalam memerangi terorisme.

Teror di Ibu Kota memberikan pesan penting bahwa diduga sel-sel terorisme makin kuat serta makin berani dan vulgar dalam menjalankan aksinya. Hal ini menjadi warning serius bagi pemerintahan Jokowi untuk mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan dan program memerangi terorisme, termasuk dengan mengacu pada norma dan standar hak asasi manusia agar akar masalah munculnya teror dapat diatasi secara terintegrasi dan pelakunya dapat dijerat dengan hukuman yang maksimal.

MIMIN DWI HARTONO

Aktivis Hak Asasi Manusia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement