Kamis 14 Jan 2016 13:00 WIB

Historiografi Ulama Keraton

Red:

Paku Alam X baru saja dinobatkan. Beliau siap menakhodai Pura Paku Alaman yang dikenal sebagai "anak ragil" Dinasti Mataram Islam dan menjadi wakil gubernur DIY. Kendati lahir paling belakang (1813), Paku Alaman tetap turut mengemban tugas mulia dalam program Islamisasi masyarakat Jawa. Dalam prosesi jumenengan kemarin, ingatan historis kita melayang pada era gemilang Mataram Islam yang melibatkan segenap ulama dalam menjalankan roda pemerintahan.

Sebenarnya, ulama adalah aktor penting dalam panggung sejarah Jawa. Mereka tergabung dalam struktur birokrasi kerajaan yang bernama reh pangulon. Reh pangulon ialah lembaga yang berfungsi mengurusi administrasi keagamaan secara integratif di bawah pimpinan penghulu tafsir anom. Para pegawai yang membantu lembaga reh pangulon disebut sebagai abdi dalem pamethakan yang berarti golongan putih (suci).

Dari sekian abdi dalem, merekalah yang punya pengetahuan kebatinan dan agama paling tinggi. Golongan elite religius tersebut memberi sumbangan tidak kecil bagi birokrasi kerajaan. Saat itu, banyak ramalan yang ditulis dalam babad mengenai problematika istana.

Kerja demikian membutuhkan penasihat dari komunitas ulama dan kelompok kebatinan guna memecahkan ragam persoalan yang membelit raja. Selain punya pengaruh besar, kedekatan para ulama dengan raja secara tidak langsung membuat posisi mereka lebih terpandang di mata masyarakat ketimbang abdi dalem lainnya.

Keberhasilan mendidik anak dari para keluarga raja juga tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin kaum ulama. Seperti dalam sejarah Raja Paku Buwana (PB) X. Pendidikan tentang agama, budi pekerti, dan hubungan kemanusiaan ditanamkan ayahnya (PB IX) kepada PB X melalui kidung-kidung maupun geguritan, baik dalam bentuk tembang macapat maupun wangsalan.

Nasihat dan ajaran tentang kebaikan dan budi pekerti diuraikan dalam karangan PB IX yang berjudul Serat Woelang Dalem. Buku ini memberikan petuah dan ajaran kepada putra mahkota, antara lain, tentang keagamaan, pergaulan dengan sesama, kepribadian yang baik, tidak sombong, harus mencintai rakyat, bersikap adil, dan sebagainya, seperti contoh di bawah ini.

"Labet lawan becik, kang ginunem aneng ndonya, nak putune ngrungokake, lamun sira tan prayoga, turunmu kawirangan, munggeng donya den geguyu, sinebut turuning kompra." (Berusahalah dengan baik, yang dibicarakan di dunia, didengarkan oleh anak cucu, bila kamu tidak berlaku baik, anak cucumu akan malu, di dunia ditertawakan, dikatakan keturunan orang rusak).

"Agama iku perlune yekti, pikukuhe tetimbangan tyas, nistha madya utamane, mung iku rasanipun dalil kadis kang dak semoni, supaya animbanga, sagunging pra ratu, wadya kang sawalang karsa, pinrih sirep saking kuwasaning aji, wewaton kitab Quran." (Agama itu sungguh perlu, sebagai penguat kesentosaan batin, mengetahui nista madya dan utama, hanya itulah isi dalil hadis yang diberikan agar mempertimbangkan semua raja yang berkuasa, bagi rakyat yang ragu-ragu akan terbebas dari keraguannya berdasarkan kitab Quran).

Dari lirik-lirik yang berisi nasihat sangat jelas memperlihatkan bahwa ayahnya menanamkan pendidikan tentang norma-norma kehidupan. Hal ini turut membentuk tanggung jawab raja sejak kecil untuk peduli terhadap pengembangan agama Islam dan sarana ibadah. Dengan kenyataan ini, maklum bila raja memberi keistimewaan kepada mereka berupa lahan luas untuk tempat bermukim yang dikenal dengan nama Kauman. Kendati demikian, tugas yang dipikulnya tidaklah gampang menimbang masyarakat Jawa masih memegang teguh kepercayaan lokal (kejawen).

Kala itu, sikap keagamaan masyarakat relatif kurang mengingat rata-rata mereka masih melakoni upacara ritual pra-Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sudah menjadi fakta umum bahwa periode itu masyarakat ramai mendalami ilmu kesempuranaan (mistik atau kebatinan Jawa) untuk meraih hakikat hidup di dunia. Ini dipandang sebagai problem krusial bagi penguasa.

Tak ayal, dalam karyanya, Sunan mengimbau, sewaktu mendalami ilmu kasempurnaan kudu berlandaskan dalil (ajaran Alquran), kadis (hadis riwayat Rasul), ijmak (kesepakatan para ulama besar), dan qiyas (alasan yang berdasarkan perbandingan atau persamaan tentang hukum Islam). Kalau terdapat ulama di Masjid Agung yang mengajarkan ilmu kasempurnaan tanpa didasarkan keempat hukum agama, terutama hukum Alquran dan hadis, maka kebenarannya perlu disangsikan (Darusuprapto, 2015).

Dalam konteks perkembangan pengajaran agama di Masjid Agung, hal yang menonjol ialah masuknya karya sastra penuh muatan nilai-nilai Islam ke jantung peradaban Jawa. Juga, kesadaran membaca buku sastra mulai digalakkan di lingkungan Masjid Agung.

Para kawula mendalami Islam via buku sastra merupakan prestasi bagus dari penguasa yang didukung kelompok ulama. Tentu saja, proses ini bisa berjalan berkat peran ulama atau kiai dari Kauman yang menempati posisi sosial tinggi di lingkungan masjid maupun di tengah masyarakat. Masyarakat waktu itu pantas bila menghormati ulama sedemikian rupa.

Selain masuk golongan priayi karena kewibawaan dan karisma yang menempel pada ulama sangatlah besar. Kewibawaan diraih atas dasar kesalehan dan pengetahuan keislaman para ulama serta ditambah jago membaca dan membedah berbagai karangan Islami, seperti Serat Wulangreh.

Kemudian, konsolidasi raja dengan para alim ulama bukan hanya membentuk ikatan kuat dalam relasi abdi dalem-gusti dan mencegah timbulnya konflik kekuasaan antara raja dan ulama, melainkan juga menciptakan ruang berdialog di Masjid Agung. Secara fungsi, masjid dipakai sebagai lembaga musyarawah ulama untuk memperbincangkan urusan politik Islam dan kondisi keagamaan masyarakat.

Dilaksanakannya berbagai kegiatan musyawarah di masjid, otomatis memengaruhi alam pikir peserta musyawarah dan akhirnya hasil musyawarah pun menjadi selaras dengan cara berpikir Islam. Cara berpikir Islam berpangkal tolak dari tauhid (ibadat) melalui diri sendiri (takwa) menuju kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, bila musyawarah dikerjakan di luar masjid, keadaan, tempat, atau pengaruh suasana akan menyimpangkan cara bepikir itu kepada hal bertentangan, sekurang-kurangnya menyimpang dari Islam (Sigit Gazalba, 1975).

Karena kerap digelar kegiatan musyawarah di Masjid Agung, secara otomatis para anggota diskusi turut meramaikan suasana masjid. Yang dimaksud dengan meramaikan ialah mengunjungi masjid, beribadah, dan mengembangkan masjid untuk ruang pertemuan, tidak sekadar tempat shalat. Dengan cara dan bentuk meramaikan itu tampak sekali Masjid Agung Surakarta memiliki makna sosial dan ragam fungsi di masa lalu, bahkan hingga sekarang.

Akhirnya, realitas ini semua berpangkal dari peran ulama dalam birokrasi kerajaan tradisional Jawa. Demikianlah historiografi ulama keraton yang jarang diungkap ke publik. 

 

Heri Priyatmoko

Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement