Sabtu 09 Jan 2016 13:00 WIB

Media Bersama Pilkada

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Media Bersama Pilkada

SIDIK PRAMONO 

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Indonesia 

Dennis Kavanagh, analis politik terkemuka dari Inggris, berpendapat bahwa pemilihan umum bagi wartawan politik laksana Olimpiade bagi para peliput olahraga. Meliput pemillu adalah momen yang dinantikan dan bahkan bisa menjadi puncak pencapaian wartawan politik karena pemilu merupakan perhelatan politik yang penting, menarik, dan signifikan bagi keberlangsungan kebijakan publik.

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia sebagai praktik pemilu lokal pernah begitu lama \"terdegradasi\" sebagai peristiwa politik \"biasa\" karena waktu pelaksanaannya yang begitu terberai. Dengan sekitar 500 daerah seluruh Indonesia, secara matematis bisa terjadi pemilu empat hari sekali.

Ibarat pertandingan olahraga, pilkada bukan lagi bigmatch yang bisa menyedot perhatian massa. Bagaimanapun, publik memantau peristiwa dengan mengikuti prinsip dasar kedekatan (proximity) ataupun magnitude sebuah peristiwa.

Salah satu imbasnya, calon pemilih diduga lebih suka absen ke bilik suara. Partisipasi publik kurang menggembirakan, sekalipun mungkin tidak sampai seekstrem pernyataan mantan Ibu Negara Filipina, Imelda Marcos, \"Win or lose, we go shopping after the election.\"

Kini, penyelenggaraan pilkada serentak yang dimulai pada 9 Desember 2015 sedikit banyak telah mengembalikan muruah pilkada sebagai peristiwa politik penting dan layak dinantikan. Sekitar separuh daerah di Indonesia terlibat dalam perhelatan ini:

sebanyak 269 pilkada direncanakan digelar bersamaan di seluruh Indonesia, yang terdiri atas pemilihan gubernur di sembilan provinsi, pemilihan bupati di 224 kabupaten, dan pemilihan wali kota di 36 kota sekalipun kemudian lima daerah harus diundurkan pelaksanaan pemungutan suaranya.

Dalam perhelatan politik ini, mengikuti struktur pemikiran Harold Lasswell, media secara komprehensif bisa menjalankan fungsi secara optimal dalam hal melaporkan peristiwa yang terjadi (surveillance); menafsirkan makna peristiwa, memasukkannya dalam konteks, dan mem pertimbangkan konsekuen si nya (interpre tation), dan juga melaksanakan sosialisasi kepada individu dan masyarakat luas.

Ironisnya, pilkada yang bermasalah, yang ricuh atau rusuh, juga praktik politik uang yang masif lebih kerap menyita pemberitaan media seturut jargon lama bad news is good news.

Padahal, terus menerus menggulirkan peristiwa seperti itu secara tidak sadar bisa mencekokkan persepsi dan imajinasi negatif mengenai proses demokrasi yang bisa berkembang menjadi pembenaran bahwa demokrasi merupakan proses yang kotor dan manipulatif.
 
Peran media tidak bisa dinafikan dalam perjalanan politik tersebut. Tentu saja, peran media tidak terhenti sebatas pemungutan dan penghitungan suara atau penetapan kandidat terpilih. Proses pemilu dan berdemokrasi belum berakhir sekalipun kotak suara sudah dihitung dan dikosongkan.

Jika demikian, apa lagi sumbangan media (tradisional) dalam menggarap pemilu sebagai peristiwa yang \"menggetarkan\"?

Kompleksitas yang terjadi dalam pilkada semakin tinggi. Keterkaitan antarhal dan peristiwa juga meningkat. Merujuk prinsip systems thinking, terdapat relasi dari setiap kejadian dan komponen (Peter Senge, 1995).

Hal-hal yang pada masa lalu merupakan solusi bisa jadi justru mengkreasi problem pada masa kini. Karena itu, melihat secara keseluruhan akan menjadikan pengambilan tindakan paling efektif sesuai proses interaksi antara komponen suatu sistem dengan lingkungannya. Dinamika ini membutuhkan adaptasi dan pembelajaran secara terus menerus.

Dalam konteks pilkada Indonesia, segala rangkaian tahapan penyelenggaraannya tidak bisa hanya dilihat sebagai sebuah eventatau peristiwa yang berdiri sendiri. Untuk sekadar tahu sebuah peristiwa, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan media sosial memungkinkan publik mendapatkan informasi jauh lebih cepat, sekalipun belum tentu akurat.

Informasi mengenai peristiwa yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada Sabang sampai Merauke sebegitu mudah didapatkan. Sekadar menyajikan rekapitulasi data statistik pun belum tentu langkah bijaksana karena soal kecenderungan terjadinya overstate and oversimplify serta penyebab dan perspektif yang kerap justru terendapkan (Victor Cohn and Lewis Cope, 2012).

 
Singkatnya, pemberitaan mengenai (se ka dar) peristiwa dalam pilkada merupakan jebakan lanjutan bagi para pewarta sebagaimana praktik horse- race coverage yang semestinya ditinggalkan.

Pemikiran sistem menghadapkan media pada tantangan untuk turut serta memetakan pola dari sejumlah peristiwa. Jika melaporkan peristiwa hanya membuahkan reaksi;

memetakan pola akan mendorong adanya antisipasi, setidaknya untuk mencegah terulangnya kembali peristiwa serupa.

Memang \"there is nothing new under the sun\", tetapi perulangan peristiwa dengan perluasan cakupan memperlihatkan kelalaian antisipasi. Pemetaan pola peristiwa juga akan memunculkan unintended consequences yang luput dari perhatian. Tanpa deteksi dan antisipasi dini, konsekuensi yang tak diperkirakan itulah yang perlahan tapi pasti akan menggerus nilai baik pelaksanaan pilkada.

Memetakan apa saja yang memengaruhi dan relasi antarberbagai pola akan meng hasil kan sebuah desain, tata kelola yang lebih padu dan ciamik. Demikian halnya, menggali soal-soal asumsi dan nilai dasar terkait sebuah kebijakan pemilu akan mendorong transformasi yang lebih utuh. Media lewat pemberitaannya berperan penting untuk hal tersebut.

Lebih penting lagi, media idealnya mampu membangunkan publik. Pemberitaan adalah elemen penting untuk memberdaya kan warga menjadi komunitas yang lebih aktif, peduli, dan intens terlibat dalam proses kebijakan; bukan sekadar kerumunan individu yang tidak memiliki interaksi sosial, sense of shared place, dan ikatan kebersamaan.

Dalam hal ini, pemilih benar-benar mendudukkan kewarganegaraannya sebagai pusat: tidak hanya melihat segala sesuatunya dari perspektif individu, tapi juga mampu melihat semua persoalan dari perspektif yang lebih luas untuk kepentingan umum (concern for the whole), merasa ikut memiliki, dan adanya moral bonddengan komunitasnya.

Pilkada sudah naik peringkat menjadi peristiwa yang berkurang kadar \"biasa-biasa saja\"nya. Tugas mulia media adalah amanah berkelanjutan untuk berkontribusi optimal dalam perbaikan penyelenggaraan pilkada dan peningkatan kualitas demokrasi. Mengutip pakar jurnalisme Bill Kovach: demokrasi tidak akan eksis tanpa jurnalisme politik yang baik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement