Kamis 07 Jan 2016 13:00 WIB

Wawasan Kebangsaan Kita

Red:

Memasuki 2016, dunia masih dihantui gerakan radikal berpayung agama yang diwakili Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang pengaruhnya begitu terasa di Indonesia. Gerakan global (transnasional) ISIS yang menawarkan sistem pemerintahan khilafah (daulah Islamiyah) disinyalir mendapat tempat pada segelintir warga Indonesia yang awam tentang Islam, khususnya di kalangan pemuda dan pelajar.

Terkait fenomena ini, sejauh mana keberhasilan upaya pemerintah dalam membangun ketahanan ideologi bangsa dalam menangkal pengaruh gerakan dan gagasan impor yang tidak sejalan dengan Pancasila dan prinsip wawasan kebangsaan nasional. Sudahkah kita melakukan reaktualisasi atas konsep dan paradigma wawasan kebangsaan?

Penanaman nilai-nilai Pancasila dan wawasan kebangsaan selama ini masih banyak bertumpu pada kegiatan sosialisasi dengan perspektif monolitik-indoktrinatif yang tak lagi sejalan dengan tuntutan era demokrasi. Model dan perspektif ini sudah saatnya diubah dengan pendekatan demokratis-emansipatoris dalam berbagai program internalisasi nilai Pancasila dan wawasan kebangsaan.

Ajakan ini kiranya sejalan dengan gerakan revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi yang juga menawarkan gerakan perubahan dalam cara pandang, bersikap, dan berperilaku menuju Indonesia berintegritas, beretos kerja, dan gotong royong. Langkah awal dengan gerakan mengembalikan Pancasila ke tengah-tengah masyarakat.

Terkait reaktualisasi wawasan kebangsaan di era demokrasi, konsep wawasan kebangsaan Indonesia yang bertumpu pada pandangan subjektif (inward looking) harus disinergikan dengan tuntutan demokrasi global dan perubahan politik regional maupun global. Konsep wawasan kebangsaan Indonesia sebagai cara pandang warga negara terhadap diri, ideologi, cita-cita, dan kerangka dasar untuk mewujudkannya harus diorientasikan pada menegakkan nilai dan prinsip demokrasi (outward looking) sebagai sistem politik nasional yang abash dengan tetap berpegang menjaga kepentingan nasional.

Maka, praktik berdemokrasi di Indonesia harus beranjak dari tahap prosedural menjadi lebih substansial. Di antara indikatornya ditandai oleh kemampuan warga negara melakukan kompromi secara damai, rasional, dan egaliter. Hal ini sejalan dengan nilai demokrasi yang tersurat pada sila keempat Pancasila: demokrasi yang berbasis semangat gotong royong di atas prinsip kebersamaan untuk mencapai kemufakatan dan kepentingan bersama.

Para ahli demokrasi memberi label parameter demokrasi ini dengan istilah demokrasi deliberasi (Cunningham, 2002). Sebagai pandangan hidup bangsa yang digali dari rahim kebudayaan Indonesia, Pancasila memberikam landasan sosiologis-antropologis sebagai "pegangan bersama" dalam menyelesaikan persoalan kebangsaannya. Karakter yang melekat pada Pancasila ini semestinya mampu dijadikan rujukan paling sahih di tengah praktik berdemokrasi di Indonesia yang masih kental muatan politik transaksional.

Jawaban atas pertanyaan publik tentang demokrasi model apa yang cocok untuk Indonesia tentu saja bukan kita kembali ke model demokrasi masa lalu yang manipulatif, meskipun berlabel Pancasila di belakangya. Demokrasi Indonesia harus melahirkan keadilan politik dan ekonomi.

Demokrasi deliberasi memberikan tawaran demokrasi yang berjalan didasarkan pada prinsip saling percaya dan saling memahami di antara warga negara yang bebas dan setara melalui argumentasi rasional dan terbuka. Anehnya, demokrasi model ini acapkali dianggap tak pernah ada dalam perbincangan tentang sejarah demokrasi di Barat.

Prinsip demokrasi deliberasi ini dapat ditemukan pada nilai dan prinsip demokrasi yang hendak dikembangkan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Demokrasi yang mereka idamkan adalah demokrasi berbasiskan prinsip gotong royong sebagai tradisi khas bangsa yang tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, perwakilan, kesetaraan, dan keseimbangan antara kebebasan politik dan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan konsep demokrasi deliberasi ini, menyegarkan kembali nilai-nilai wawasan kebangsaan yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila mendesak pula dilakukan. Model pemasyarakatan butir-butir Pancasila dengan paradigma dan pendekatan keamanan pada masa lalu sudah seharusnya diganti dengan pola internalisasi nilai-nilai kebangsaan melalui cara demokratis yang lebih menekankan pengembangan prinsip dan nilai partisipatif (gotong royong).

Konstekstualisasi wawasan kebangsaan ini merupakan bagian integral dari upaya membumikan kembali Pancasila sebagai pegangan dan rujukan bersama bangsa. Sebagai rujukan bersama, Pancasila hendaknya dimaknai dan dijadikan tempat kembali dan titik berangkat semua komponen dalam membangun dan saat terjadi konflik yang mengancam keutuhan bangsa.

Bersamaan dengan upaya ini, penyegaran wawasan kebangsaan dapat direalisasikan dengan komitmen menjadikan Pancasila sebagai barometer bersama mengkritisi kehidupan berbangsa dan bernegara sepanjang masa. Semangat ini harus tetap menyala di bawah kesadaran bahwa proses menjadi bangsa adalah perjalanan panjang yang tak pernah selesai.

Reaktualisasi wawasan kebangsaan akan semakin optimal jika diiringi perubahan paradigma dan metodologi implementasinya. Pandangan lama bahwa warga negara sebagai objek pasif tak berdaya harus diubah dengan paradigma yang memosisikan warga negara sebagai subjek kreatif. Ini harus diapresiasi negara dan semua yang terlibat dalam usaha konstruktif penyegaran dan internalisasi wawasan kebangsaan.

Perubahan paradigmatik ini harus pula ditopang oleh perubahan metodologis penguatan nilai-nilai wawasan kebangsaan dan Pancasila pada semua jenjang pendidikan. Model sosialisasi dan pembelajaran yang terpusat pada guru selayaknya diubah menjadi pembelajaran yang menekankan siswa sebagai pusat pembelajaran.

Melalui paradigma ini, guru layaknya pemerintah terhadap warga negaranya, harus berperan sebagai fasilitator yang bermitra dengan warga negara (siswa) secara egaliter dalam proses pembelajaran partisipatoris, kritis untuk menggali kemampuan warga negara dalam menyelesaikan masalah kebangsaan.

Sealur dengan paradigma ini, model pembelajaran partisipatif-dialogis (collaborative learning) yang merangsang daya kritis masyarakat dan peserta didik mutlak dilakukan.

Melalui pembelajaran partisipatoris yang memberi ruang kebebasan bagi warga negara untuk berpikir dan bersikap kritis, kreatif, dan solutif pada ahirnya akan berdampak pada kualitas demokrasi dan wawasan kebangsaan warga bangsa. Upaya ini diharapkan mampu mempercepat proses Indonesia menjadi negara bangsa yang sebenarnya (a truly nation-state) yang religius, humanis, plural, demokratis, dan berkeadilan sebagaimana tertuang dalam sila-sila Pancasila.

Untuk mewujudkan cita-cita ini, lembaga pendidikan nasional harus berperan sebagai laboratorium bagi penyegaran nilai-nilai kebangsaan dan penyemaian demokrasi yang berkeadaban dan bermartabat untuk Indonesia yang madiri secara politik, ekonomi, serta berkepribadian kuat. n

A Ubaedillah

Direktur Indonesian Center for Civic Education (ICCE) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement