Rabu 30 Dec 2015 15:00 WIB

Jaga Toleransi

Red:

Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang beragam, mulai dari perbedaan suku, agama, ras, hingga antargolongan (SARA). Di satu sisi, kondisi ini kerap dianggap sebagai kekayaan yang harus terus dijaga dan dipelihara, bahkan telah terbukti memberi keuntungan untuk negara. Namun, di sisi lain, banyaknya perbedaan tersebut sesungguhnya menjadi tantangan tersendiri. Jika tidak dijaga dengan baik, perbedaan tersebut justru bisa menjadi pemicu konflik yang pada akhirnya dapat menimbulkan perpecahan.

Menengok ke belakang, kita sempat menghadapi beberapa konflik yang melibatkan unsur SARA. Dalam beberapa kasus, karena melibatkan unsur SARA, konflik tersebut menjadi berlarut-larut dan menimbulkan bekas luka yang dalam. Alasannya, karena SARA merupakan hal yang sangat sensitif di masyarakat. Beberapa kalangan malah memberi pandangan yang agak ekstrem dengan mengatakan bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi ancaman disintegrasi.

Toleransi dan saling menghormati sesungguhnya menjadi kunci untuk mencegah dan mengatasi konflik di Indonesia. Bagaimana perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang wajar serta alamiah dan bukan menjadi alasan untuk memunculkan konflik.

Seperti yang dipaparkan Islam melalui ayat keenam dari surah al-Kafirun, yaitu, "Untukmu agamamu dan untukku agamaku." Atau dari pandangan para founding fathers mengenai perbedaan melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya "berbeda-beda tapi tetap satu jua".

Namun, sangat disesalkan bahwa lagi-lagi kita dihadapkan pada fakta masih ada orang yang abai dengan sikap toleransi dan pentingnya saling menghormati di Tanah Air. Terakhir, muncul kasus penggunaan sampul Alquran sebagai bahan baku pembuatan terompet tahun baru yang beredar di sejumlah toko modern di Kendal, Blora, Klaten, Demak, Pekalongan, Batang, dan Wonogiri.

Kasus ini diketahui setelah seorang warga yang juga tokoh agama di kawasan Kebondalem, Kabupaten Kendal, melaporkan temuan adanya terompet yang terbuat dari sampul Alquran di salah satu minimarket di Kebondalem pada Ahad (27/12). Di terompet itu juga tercantum tulisan "Kementerian Agama RI tahun 2013" dan kaligrafi.

Di sini terlihat bahwa produsen terompet tersebut tidak mempertimbangkan perasaan keagamaan masyarakat. Bahwa Alquran merupakan kitab suci dan merupakan simbol agama yang penting bagi umat Islam sehingga penggunaan untuk hal-hal yang tidak semestinya seharusnya tak dilakukan. Apalagi, melalui Pasal 5 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 01 Tahun 1957 tentang Pengawasan Terhadap Penerbitan dan Pemasukan Alquran, negara juga telah mengatur bahwa sisa dari bahan-bahan Alquran yang tidak dipergunakan lagi perlu dimusnahkan. Tujuannya untuk menjaga agar sisa-sisa tersebut tidak disalahgunakan.

Di sisi lain, sikap masyarakat yang tidak terprovokasi oleh kejadian itu dan melapor ke kepolisian patut diapresiasi. Sesuai dengan mekanisme negara hukum yang berlaku di Indonesia, masyarakat memang sepatutnya mempercayakan masalah tersebut kepada aparat hukum. Menjawab kepercayaan masyarakat, pemerintah harus memastikan penarikan produk itu di seluruh toko di Tanah Air. Jangan sampai masih ada produk yang beredar dan ditemui di tengah-tengah masyarakat.

Pekerjaan pemerintah lainnya adalah memastikan kasus ini akan diproses sesuai mekanisme hukum yang berlaku. Aparat hukum harus bisa mendalami apakah ada unsur kesengajaan atau kelalaian dalam pembuatan terompet yang jamak menjadi pernik untuk merayakan malam pergantian tahun itu.

Selain itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa peristiwa yang sama tidak terulang lagi pada masa mendatang. Hal ini penting agar potensi konflik yang terkait dengan isu SARA bisa dicegah sehingga tak memunculkan masalah baru di kemudian hari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement