Jumat 18 Dec 2015 14:00 WIB

Aliansi Militer Negara Muslim

Red:

Arab Saudi telah membentuk dan memimpin aliansi militer untuk memerangi terorisme dan apa yang disebut sebagai kejahatan dan perusakan di muka bumi. Melalui kantor berita Saudi (SPA) diumumkan, 34 negara telah bergabung dan 10 negara termasuk Indonesia disebut telah menyampaikan dukungannya bagi aliansi ini dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan.

Pemerintah Indonesia telah membantah klaim Saudi karena bergabung dengan suatu aliansi militer bertentangan dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Kebijakan pemerintah sejalan dengan UU Nomor 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri Pasal 3. Pemerintah berencana menyampaikan nota protes diplomatik. Namun, itu tidak memadai karena sesuai pasal 4 politik luar negeri dilaksanakan melalui diplomasi yang, antara lain, kreatif, aktif, dan antisipatif.

Pendekatan antisipatif dan tidak reaktif diperlukan karena Indonesia adalah satu-satunya negara yang disebut oleh Saudi mendukung aliansi, padahal tidak bergabung. Mengapa Saudi tidak menyebut sembilan negara lainnya? Ini indikasi Saudi mengakui Indonesia terlalu penting dalam urusan kerja sama multilateral Muslim.

Negara ini berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Mayoritas di antaranya Sunni, tetapi tidak berkonflik terbuka dengan Syiah dan kelompok minoritas lainnya. Bersama Malaysia dan Singapura, Indonesia juga mengontrol keamanan Selat Malaka, rute terpendek dan paling efisien untuk mengalirkan 15,2 juta barel minyak per hari dari Saudi dan negara Timur Tengah lain serta Afrika Timur ke negara-negara konsumen di Asia dan Amerika.

Sebagai negara Muslim, Indonesia perlu mengingatkan Saudi, Mesir, Pakistan, Turki, dan sebagainya bahwa aliansi yang dibentuk tersebut tidak cocok untuk disebut aliansi militer. Saat ini, satu-satunya aliansi militer yang efektif hanya NATO sesudah Pakta Warsawa bubar.

NATO bukan hanya mempunyai sekretariat dan pusat operasi, tetapi juga memiliki pakta yang mengikat semua anggota, para jenderal yang memimpin sehari-hari, pangkalan militer bagi ribuan pasukan, dan banyak alutsista (alat utama sistem senjata), dan menggelar latihan rutin. Semua operasi gabungan dan kombinasi itu bisa terselenggara karena ada negara yang mempunyai kapabilitas militer melampaui kebutuhan pertahanan domestiknya, yaitu AS.

Terlebih, dikutip kantor berita Reuters, Menteri Pertahanan Saudi Muhammad bin Salman menyatakan akan ada koordinasi internasional dengan beberapa kekuatan besar (major powers) dan organisasi internasional terkait operasi di Suriah dan Irak. Padahal, di dunia akademik dan politik, istilah major powers biasanya merujuk kepada anggota Dewan Keamanan PBB, yakni AS, Rusia, Inggris, dan Prancis.

Negara-negara tersebut sanggup menggelar operasi militer berskala penuh di luar negerinya. Buktinya, yang mampu menggelar operasi serangan udara ke ISIS hanya empat major powers. Selain itu, keempatnya mempunyai pangkalan militer di luar negaranya. Misalnya, AS memiliki pangkalan militer di Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Turki, dan lain-lain.

Fakta ini menimbulkan keraguan akan kapabilitas militer aliansi negara-negara Muslim dalam membuat perencanaan dan menggelar operasi. Terlebih, kawasan Irak, Suriah, dan sekitarnya telah menjadi terlalu kompleks, baik karena keterlibatan empat negara besar maupun bercampurnya warga sipil dengan pejuang ISIS, Free Syrian Army, dan kelompok militan lainnya.

Operasi yang digelar empat negara besar juga terfokus pada serangan udara. Meski sebagian sasaran terlihat merupakan fasilitas kombatan atau penyimpanan minyak, tetapi banyak bom, rudal, dan roket yang mengenai warga dan bangunan sipil yang terlarang untuk diserang. Bahkan, milisi Houthi dapat bertahan, meski Saudi sudah menggelar pasukan darat dan kendaraan lapis baja. Selain karena medan pertempuran sangat luas dan berbukit-bukit, kemenangan sulit dicapai karena kuatnya relasi kabilah dan etnik.

Berbagai tantangan keamanan global sulit diatasi dengan operasi militer konvensional. Organisasi seperti ISIS, Houthi, dan berbagai organisasi lain, seperti kelompok Ukraina Timur, Transnistria di Moldova, tidak dapat disederhanakan sebagai aktor bukan negara (nonstate actor). Mereka tidak seperti Alqaidah, ETA, FARC, Red Brigades, dan berbagai kelompok bersenjata di masa lalu.

Mereka bertindak seperti negara dan menjalankan organisasi militer. Mereka pun dibantu oleh negara tertentu, baik pendanaan, senjata, informasi, pasukan khusus sebagai perencana/pelatih militer maupun dukungan politik. Inilah yang disebut dengan konflik hibrida atau perang hibrida (hybrid warfare).

Saudi, Indonesia, Turki, Pakistan, Mesir, dan negara-negara berpengaruh lainnya sebaiknya mengoptimalkan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk mendesak PBB bertindak di Irak, Suriah, Yaman, dan berbagai medan konflik hibrida. Dengan mandat PBB, Indonesia tentu siap mengirim pasukan penjaga perdamaian, yang terbukti lebih efektif di Bosnia, Lebanon, dan sebagainya. Kontingen Garuda dengan mandat PBB itulah yang lebih efektif dalam melindungi penduduk dari aksi terorisme dan kejahatan lain.

Selain itu, Indonesia dapat menjadi tuan rumah dan mediator yang terpercaya bagi kelompok Saudi, Turki, dan lain-lain, serta kelompok Iran, Irak, dan Suriah. Pengalaman penyelesaian konflik domestik di Aceh, Poso, Maluku, Kalbar, Kalteng, dan peredaan serangan bersenjata di Papua, serta pengalaman penyelesaian konflik regional di Mindanao dan Kamboja adalah modal strategis Indonesia untuk melaksanakan ketertiban dunia.

Fahmi Alfansi P Pane

Alumnus Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement