Selasa 01 Dec 2015 15:00 WIB

Menimbang Kenaikan Listrik

Red:

Hari ini, Senin (1/12), pemerintah lewat PLN secara resmi mencabut subsidi listrik bagi pelanggan listrik 1.300 Volt Ampere (VA) dan 2.200 VA. Ada puluhan juta pelanggan listrik yang terdampak pencabutan subsidi tarif ini. Selanjutnya, dalam bahasa PLN, mereka akan menikmati listrik sesuai "mekanisme penyesuaian tarif".

Tarif baru itu dihitung dengan memasukkan variabel inflasi bulanan, nilai tukar rupiah dengan dolar AS, dan harga minyak di pasar internasional. Di atas kertas, tarif baru ini akan membuat mereka harus membayar 11,6 persen lebih mahal dari tagihan bulan sebelumnya.

Saat yang sama, PLN menurunkan tarif listrik bagi seluruh golongan pelanggan yang nonsubsidi mulai 3.500 VA ke atas. Sebulan kemudian, pada 1 Januari 2016, PLN dijadwalkan juga melepas subsidi bagi 23 juta pelanggan 450 VA-900 VA. Namun, ada kabar kalau kebijakan ini diundur sampai Juni 2016. Pada intinya, pelanggan golongan bawah ini juga dipaksa membayar sesuai tarif yang berlaku semestinya.

Kebijakan tarif setrum ini kental sekali bau liberalisasi tarifnya. Padahal, kita tahu PLN adalah BUMN yang ditugasi khusus mengelola bisnis listrik. PLN juga satu-satunya pemain di bisnis ini.

Dampak kenaikan tarif ini akan masif. Pengeluaran rumah tangga dikalkulasi ulang. Pebisnis kecil harus berhitung lagi arus kas mereka. Setelah kenaikan harga BBM, kenaikan tarif listrik juga berdampak besar ke belanja masyarakat. Meskipun PLN juga menyiapkan skema tarif khusus untuk pebisnis UMKM, kegiatan sosial, dan lainnya. Hitungan lainnya malah memperlihatkan kenaikan tarif akan memperbanyak jumlah orang miskin.

Pertanyaannya, mengapa PLN mencabut subsidi listrik? Publik diajak memahami dua alasan utama pencabutan. Pertama, agar subsidi listrik tepat sasaran. Apakah subsidi listrik kita tidak tepat sasaran? Secara matematis PLN, jawabannya, ya! PLN memberi contoh, untuk pelanggan 450 VA-900 VA, apakah kelompok ini dianggap tepat disubsidi atau tidak.

Parameter PLN mengacu pada Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Dari kajian tim ini, ada 15,5 juta penduduk miskin dan nyaris miskin di seluruh Indonesia. Data ini disandingkan dengan total pelanggan golongan 450 VA-900 VA yang 45 juta pelanggan. Kesimpulan PLN, ada kelebihan jumlah pelanggan yang disubsidi hingga puluhan juta pelanggan.

Kebijakannya kemudian, memangkas jumlah pelanggan yang menurut PLN tidak layak disubsidi itu. Bagaimana cara menentukan? Satu-satunya cara adalah survei langsung di lapangan.

Survei lainnya adalah ditemukan tren pelanggan golongan 450 VA-900 VA ternyata memiliki kemampuan membayar pulsa telepon lebih besar daripada tagihan listriknya. PLN berpendapat tentu mereka seharusnya mampu membayar tarif listrik lebih.

Alasan kedua, pencabutan subsidi ini agar PLN memiliki anggaran untuk mengaliri listrik di wilayah lain di Indonesia. Publik harus tahu bahwa rasio elektrifikasi belum sepenuhnya 100 persen. Pada 2014 angkanya masih 87 persen. Itu artinya masih ada jutaan warga Indonesia yang menjalani hidup tanpa listrik saat ini.

Tentu, kebijakan tarif setrum ini patut kita kritisi. Bagaimana PLN mengelola bisnis listriknya, efisien atau tidak, struktur pembangkit yang masih mengandalkan BBM, dan lainnya. Alasan PLN untuk mencabut subsidi bagi golongan kecil dan menengah itu harus diketahui publik dan mendapat respons positif maupun negatif. Respons ini layak menjadi salah satu fondasi pengambilan kebijakan publik PLN.

Sebaliknya, pelanggan juga mulai diajak memahami bahwa listrik itu untuk semua. "Bersediakah Anda membayar lebih tagihan listrik per bulan agar saudara Anda di pedalaman Kalimantan atau Papua atau Lebak bisa menikmati terangnya nyala lampu?"

Dengan pertanyaan ini publik digiring untuk mengerti kelebihan uang yang mereka bayar itu bisa menjadi tiang listrik, kabel listrik, dan pembangkit listrik untuk sebagian warga Indonesia. Alangkah elok kalau kita mendengar strategi komunikasi PLN seperti itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement