Sabtu 28 Nov 2015 15:46 WIB

Catatan dari Konferensi Para Sufi

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Tanggal 23-25 November kemarin, Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) berkolaborasi dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengadakan perhelatan akbar berupa International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur.

Konferensi internasional bertajuk "Up - holding Islam as Rahmatan li-l'Alamin" ini mengundang para sufi kaliber internasional, di antaranya, Syaikh Jibril al-Hadad dari Brunei Darussalam, Syaikh Fadil al-Jailani dari Turki, dan Habib Zeid Abdurrahman Hu sein bin Yahya dari Yaman. Dengan demikian, konferensi ini sekaligus merupakan "Ajang-Perjumpaan para Sufi Internasional"

(Multaqa Shufi `Alami).

Kalau seorang sufi Fariduddin Attar dalam kitabnya Manthiq ath-Thair membuat alegori tentang percakapan berbagai kelom pok manusia yang akan melakukan "perjalanan menuju Tuhan" (suluk) dengan "burung yang berkonferensi" (the conference of the birds), maka perjumpaan para sufi kemarin juga bisa dianggap sebagai "konferensi para burung," tapi pada level perjalanan yang lain.

Mulla Shadra (1997) membagi empat level perjalanan suluk manusia. Pertama, "perjalanan dari makhluk menuju Tuhan" (as-safar min al-khalq ila al-haqq). Kedua, "per jalanan dari Tuhan menuju Tuhan bersama Tuhan" (as-safar fi al-haqq bi al-haqq). Ketiga, "perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan" (as-safar min al- haqq ila al-khalq bi al-haqq). Ke empat, "perjalanan dari makhluk ke makhluk bersama Tuhan" (as-safar fi al-khalq bi al-haqq).

Memakai kerangka "empat perjalanan" (al-asfar al-arba'ah)-nya Mulla Shadra di atas, konferensi internasional para sufi itu bisa dinilai sebagai "perjalanan keempat", yaitu perjalanan dari makhluk ke makhluk ber sama Tuhan dengan mentransmisikan "perolehan" tiga perjalanan sebe lumnya ke ranah publik.

Secara sederhana, transmisi perolehan tiga perjalanan ini tergambar secara jelas prototipenya dalam shalat yang dimulai dengan "menjumput wewangian suci ilahi"

ketika melakukan takbiratul ihram, dan kemudian diakhiri dengan "menebarkan semerbak salam-perdamaian ketika menoleh ke kanan dan ke kiri di akhir tasyahud.

Ada dua ungkapan latin yang terkenal berkaitan dengan jalan menuju perdamaian. Pertama, "Jika Anda menginginkan perdamaian, maka bersiaplah dengan perang" (si vis pacem para bellum). Kedua, "Jika Anda meng inginkan perdamaian, maka kobarkanlah perang" (si vis pacem fac bellum).

Jalan pertama ditempuh ketika dalam "perang dingin", maka persiapan matang dari kedua pihak yang bertikai dinilai bisa "menghentikan peperangan, bahkan sebelum dimulai" karena justru sama-sama sudah sangat siap dengan strategi perang masing- masing. Jalan kedua ketika salah satu pihak yang bertikai sudah memulai pe perangan. Maka untuk menghentikannya, juga dengan peperangan sehingga nanti "tercipta perdamaian" setelah salah satu pihak kalah.

Di antara dua adagium di atas, terdapat mazhab ketiga dalam upaya menggapai perdamaian, yaitu "Jika Anda menginginkan perdamaian, maka siapkanlah perdamaian" (si vis pacem para pacem). Mazhab ketiga inilah yang dipilih oleh para narasumber pada konferensi ICIS kemarin.

KH Ahmad Hasyim Muzadi sebagai Sekjen ICIS dalam welcoming speech-nya mengatakan, terdapat dua eks trem dalam upaya menggapai perdamaian, yaitu ekstrem kanan dan kiri, yang keduanya merupakan kelompok radikal. JATMAN, melalui ICIS ini, berupaya mem bangun jalan tengah yang tidak tergoda ke pada salah satu dari pendulum ekstremitas itu dalam upaya menciptakan perdamaian.

Upaya membangun jalan tengah untuk menciptakan perdamaian juga disampaikan oleh pembicara pertama, Dato Ustaz Haji Badaruddin dari Brunei Darussalam, yang menekankan pentingnya moderasi sebagai fondasi kesejahteraan dunia (wasathiyah as the foundation of universal welfare). Pembicara lainnya, Tun Dato Sri Haji Abdullah dari Malaysia juga menegaskan pentingnya nilai- nilai moderasi sebagai jalan mengaplikasikan Islam sebagai rahmatan lil-`alamin.

Nilai moderasi ini diperlukan untuk menangkal apa yang oleh Dr Ahmad Abdo Ahmad dari Lebanon disebut sebagai berlebih-lebihan (al-ghuluw) dalam beragama. Kelompok yang bersikap ghuluw dalam beragama ini ditengarai oleh Habib Zeid Abdurrahman Hussein bin Yahya dari Yaman dengan munculnya khawarij kontemporer (dhuhur khawarij al-`ashri).

Kemudian, Syaikh Jibril al-Haddad dari Brunei Darussalam memberikan setidaknya empat ciri dari kaum "khawarij" baik pada masa dahulu maupun masa sekarang (qa diman wa haditsan). Pertama, mengubah dasar- dasar agama dan menyimpangkan teks-teks agama (taghyir al-ushul wa tahrif an-nu - shush). Kedua, keluar dari jamaah-komunitas Muslim (al-khuruj `an al-ja ma'ah). Ketiga, cepat mengkafirkan (takfir) kelompok umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Keempat, menghalalkan kekerasan (istihlal al-qital) untuk mencapai tujuan.

Kelompok yang bersikap ghuluw seperti di atas, menurut Syaikh Taufiq Ramadhan al-Buthi, sangat berbahaya karena justru sikap keras (fadhdhan ghalidha) seperti itu akan menjauhkan orang dari Islam. Sikap yang tepat untuk mendakwahkan (preaching) Islam, menurut Syaikh Fadil al-Jailani dari Turki adalah dengan jalan lembut dan damai karena justru itulah yang membuat orang tertarik pada Islam. Pada Oktober lalu, penulis bertemu salah satu keluarga di Austria, yaitu keluarga Yusuf Hentschel yang memeluk Islam dari jalan damai para sufi ini.

Residu dari tragedi pengeboman di Paris masih menyisakan banyak hal. Di antaranya adalah memakai ungkapan Alquran (QS an- Nahl [16]: 92), "Terurainya tenunan kain setelah kuat dipintal". Berbagai pihak umat Islam yang "entek amek, kurang golek" (tidak bosan-bosannya) dalam meneguhkan Islam sebagai "agama damai" harus menanggung kembali beban sebagai "agama teror".

Di sini diperlukan energi untuk "kembali bangun" dan "membangun kembali" posisi Islam sebagai agama damai. Pada titik inilah konferensi para sufi sedunia di ICIS itu menemukan signifikansi dan relevansi nya, dengan "menenun kembali pakaian perdamaian" setelah terurai oleh tragedi Paris.

Di sisi lain, konferensi para sufi ini juga bisa dimaknai untuk menggemakan kembali pesan "Tasawuf Mendamaikan Dunia" (2006) yang dicanangkan seorang sufi dari Sri Lanka MR Bawa Muhayyaddin.

ARIS WIDODO

Kandidat Doktor Tasawuf di UIN Walisongo Semarang, Staf Pengajar Pemikiran Islam di IAIN Surakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement