Sabtu 28 Nov 2015 15:34 WIB

Turki-Rusia dan Suriah

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Selasa (24/11) pagi, dunia dikejutkan dengan ditembak jatuhnya pesawat Su- 24 milik AU Rusia oleh dua pesawat F-16 milik AU Turki di daerah perba tasan Suriah dan Turki, tepatnya di Yayladagi, Hatay. Menurut penjelasan Mabes Angkatan Bersenjata Turki, pesawat AU Rusia melewati perbatasan Suriah dan sudah diperingatkan 10 kali untuk keluar dari wilayah Turki sebelum ditembak.

Mabes Angkatan Bersenjata Turki berpendapat, pelanggaran udara oleh Rusia akan ditindak berdasarkan rule of engagement yang sesuai standar internasional. NATO, selaku organisasi kerja sama keamanan di wilayah Amerika dan Eropa --Turki anggota NATO-- juga melihat aksi Turki sebagai tindakan yang sesuai rule of engagement.

Namun, Rusia berpendapat penembakan pesawatnya tidak berdasar karena pesawat Su-24 sama sekali tidak menerima peringatan radio seperti yang diklaim AU Turki. Pesawat Su-24 saat itu sudah di luar perbatasan Turki dan menganggap aksi Turki sebagai `tikaman dari belakang', bahkan menyebut Turki `sekutu kelompok teror' di Suriah.

Setelah peristiwa ini, banyak opini di media tentang kemungkinan konflik besar antara Rusia dan Turki yang akan berujung pada Perang Dunia III. Untuk memahami kemungkinan ini, kita perlu melihat pola umum relasi Rusia-Turki dan konteksnya dalam kemelut Suriah.

Sepanjang sejarah, hubungan Rusia- Turki diwarnai dinamika kerja sama dan konflik yang relatif memengaruhi politik regional serta internasional. Dari abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Turki dan Rusia menjalani hubungan dalam kerangka enmity (permusuhan) yang ditandai Perang Krimea dan keterlibatan Rusia mendukung pemberontakan di wilayah Kesultanan Usmani.

Permusuhan pada masa lalu ini meninggalkan warisan berupa imaji `Rusia' sebagai `musuh' bagi sebagian masyarakat Turki. Pada periode Perang Dingin, Turki berperan cukup strategis, yakni sebagai negara penyeimbang pengaruh Uni Soviet di wilayah Eropa Timur dan Timur Tengah.

Namun, seusai Perang Dingin, signifikansi peran Turki dalam NATO sebagai negara penyeimbang menjadi berkurang karena runtuhnya Uni Soviet sehingga Turki mencari arahan kebijakan politik luar negeri dan keamanan yang baru. Dalam reformulasi kebijakan politik luar negeri dan keamanan yang baru, Turki memastikan dirinya sebagai `negara pusat' (merkezulke) yang berada di tengah kawasan-kawasan strategis di dunia (Eropa Timur, Balkan, dan Timur Tengah). Sebagai `negara pusat', Turki perlu mengembangkan hubungan yang baik dan stabil dengan negara di kawasan sekitar, termasuk Rusia.

Dalam 10 tahun terakhir, kerja sama Rusia dan Turki berkembang pesat dalam berbagai sektor, terutama energi, perda gangan, dan pariwisata. Pada konflik lima tahun terakhir, Turki berupaya menahan diri untuk tak agresif terhadap Rusia. Seperti pendekatan Turki yang moderat dan hati-hati dalam masalah Krimea. Soal Suriah, dikarena kan perbedaan kepentingan strategis Rusia dan Turki, hubungan keduanya mengalami penurunan dan menemui titik balik Selasa lalu.

Apa saja perdebatan dan perbedaan kepentingan antara Rusia dan Turki yang menyebabkan hubungan kedua negara menurun? Setidaknya ada dua perdebatan utama.

Pertama, soal eksistensi dan legiti masi Bashar al-Assad sebagai aktor yang per lu diajak dalam proses diskusi dan negosiasi masa depan Suriah. Rusia menganggap Assad perlu diajak dalam proses diskusi dan negosiasi karena dia presiden yang dipilih secara `legal' oleh masyarakat Suriah.

Menurut pakar hubungan Rusia-Turki, Prof Huseyin Bagci, dengan mendukung kehadiran Assad dalam resolusi konflik Suriah, Rusia hendak menunjukkan dirinya sudah menanamkan pengaruh signifikan di Suriah dan akan tetap di sana untuk mempertahankan pengaruh di Timur Tengah. Sejauh ini, dalam mendukung Assad untuk masuk proses diskusi, Rusia telah berkomunikasi dengan beberapa aktor regional di Timur Tengah, seperti pe mimpin spiritual Iran Ayatullah Ali Khamenei.

Menghadapi opini yang dibangun Rusia, Turki (bersama AS dan Arab Saudi) tentu saja menolak opini itu dengan alasan Assad telah kehilangan dukungan dan legitimasi dari rakyat sejak Arab Spring pada 2011. Menurut Pemerintah Turki, melibatkan Assad tidak akan menyelesaikan masalah karena Assad ada lah sumber masalah di Suriah saat ini.

Kedua, soal definisi `musuh' yang perlu dihadapi. Rusia mendefinisikan `musuh' dalam konflik Suriah ini adalah seluruh kelompok yang menentang legitimasi Assad. Dengan pandangan ini, Rusia melakukan pengeboman dan agresi ke milisi oposisi, termasuk ke milisi Turkmen (aliansi Free Syrian Army/FSA) yang ber markas di wilayah Bayirbucak dan Turkmen Dagi yang dekat Turki.

Serangan Rusia ke milisi FSA, termasuk ke milisi Turkmen membuat masyarakat Turki marah dan menekan Pemerintah Turki untuk menekan Rusia dan membantu milisi Turk men. Tak heran ketika Rusia mengatakan Turki sebagai sekutu kelompok teror karena bagi Rusia, milisi FSA merupakan ancaman teror bagi rezim Assad.

Berbeda dengan Rusia, Turki memandang ada tiga musuh utama dalam konflik Suriah, yakni rezim Assad, ISIS, dan PKK- YPG (milisi Kurdi). Bagi Turki (dan sekutunya di NATO dan Timur Tengah), membangun rezim Suriah yang baru dan demokratis tanpa keterlibatan Assad dan hilangnya ancaman dari kelompok Islam radikal serta milisi Kurdi harus di utamakan.

Perdebatan tentang keterlibatan Assad dan definisi musuh yang berbeda inilah yang membuat negosiasi (termasuk perbincangan di Suriah) dan kemungkinan koalisi antara NATO-Rusia dalam menyelesaikan masalah Suriah tidak akan terwujud, terlebih setelah ditembak jatuhnya pesawat Rusia oleh Turki.

Pada akhirnya, bisakah kita menyimpulkan konflik Rusia-Suriah ini akan membesar dan berakhir pada Perang Dunia III? Masih terlalu awal menyimpulkan hal itu karena kini Pemerintah Turki sedang berupaya berdiskusi dengan Rusia selepas konflik, meskipun Rusia menolak upaya tersebut.

Sejumlah negara juga sedang mengupayakan pertemuan di PBB untuk mendiskusikan masalah kedua negara agar tidak terjadi eskalasi lebih lanjut. Hal paling dekat adalah konflik yang meningkat di wilayah perbatasan Suriah-Turki dikarenakan Turki sudah mulai mengadakan intensifikasi pertahanan di perbatasan dekat Hatay.

Selain itu, hubungan Rusia-Turki akan membeku dalam beberapa periode dikarenakan tekanan dari masyarakat dan politisi Rusia. Walhasil, eskalasi konflik Rusia-Turki akan sangat bergantung pada bagaimana kedua pihak bisa menahan diri dan berupaya saling berdiskusi terlepas segala perbedaan sehingga kedua pihak dapat membangun solusi konstruktif bagi konflik Suriah.

HADZA MIN FADHLI ROBBY

Mahasiswa S2 Ilmu Hubungan Internasional, Institut Ilmu Sosial, Eskisehir Osmangazi Universitesi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement