Jumat 27 Nov 2015 14:00 WIB

Asuransi Syariah Bagi Petani

Red:

Program Nawacita dan visi-misi Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019 disebutkan mewujudkan Indonesia menjadi negara yang berkedaulatan pangan. Hal ini penting karena pangan menjadi penyedia utama sumber pangan masyarakat, sumber pendapatan nasional, membuka kesempatan kerja, dan sumber investasi.

Dalam mewujudkannya, dikeluarkan beberapa kebijakan atau kegiatan yang akan ditempuh. Di antaranya, perbaikan irigasi rusak dan jaringan irigasi di tiga juta hektare sawah, penyediaan satu juta hektare sawah baru di luar Jawa, pendirian bank petani dan UMKM, serta gudang dengan fasilitas pengolahan pascapanen di tiap sentra produksi.

Namun, program tersebut, baik yang sudah terlaksana maupun dalam persiapan, tidak cukup untuk mewujudkan kedaulatan pangan dalam jangka pendek. Alasannya, usaha pada sektor pertanian dipandang sebagai usaha berisiko tinggi terhadap dinamika alam dan rentan pada serangan hama dan penyakit. Jika ini yang terjadi, bisa berakibat pada penurunan produksi, bahkan bisa gagal panen serta risiko fluktuasi harga yang berujung turunnya pendapatan petani.

Oleh karena itu, petani menderita kerugian yang cukup besar. Untuk usaha berikutnya, petani tidak mempunyai modal lagi. Apalagi, rata-rata petani di Indonesia kebanyakan adalah petani yang usahanya secara swadaya atau disebut petani rumah tangga.

Berdasarkan hasil Sensus Pertanian Tahun 2013, rumah tangga pertanian pengguna lahan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu rumah tangga petani gurem (rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,50 hektare) dan rumah tangga bukan petani gurem (rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan 0,50 hektare atau lebih).

Hasil sensus tani 2013 ini menunjukkan, jumlah usaha pertanian di Indonesia mencapai 26,14 juta rumah tangga, perusahaan pertanian berbadan hukum sebanyak 4.165 perusahaan, dan Jawa Timur tercatat sebagai provinsi dengan jumlah rumah tangga usaha pertanian terbanyak dengan lahan yang sudah semakin terbatas dari tahun ke tahun.

Dari segi lahan petani rumah tangga berdasarkan hasil sensus tani 2013, mayoritas petani memiliki luas lahan di bawah dua hektare dengan perincian yang memiliki lahan pertanian dua hektare ke atas sebanyak 3,2 juta petani rumah tangga dan di bawah dua hektare sebanyak 22,9 petani rumah tangga. Bisa dikatakan bahwa mayoritas petani rumah tangga memiliki lahan di bawah dua hektare.

Dengan adanya kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian terkait asuransi pertanian, setidaknya petani mendapat jaminan kepastian penggantian biaya produksi apabila terjadi gagal panen dan bencana alam menimpa. Hal ini karena kegagalan panen membawa implikasi panjang dan serius bagi petani, bahkan berdampak pada kemiskinan.

Karena itu, kita sambut baik dengan adanya Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan lebih perinci dijelaskan melalui peraturan menteri pertanian terkait fasilitas asuransi pertanian. Hal yang menjadi perhatian sekarang adalah muatan dalam mengaplikasikan regulasi tersebut dengan didukung dan dioperasionalkan dalam dua aspek muatan, baik aspek konvensional maupun syariah.

Karena itu, ada beberapa masukan langkah strategis dalam rangka mengimplementasikan asuransi syariah untuk pertanian. Pertama, dari aspek regulasi sudah diakomodasi terkait asuransi pertanian, berdasarkan Undang-Undang No 19 Tahun 2013 terutama dalam Pasal 7 Ayat 2 yang menjelaskan salah satu bentuk strategi perlindungan petani dilakukan melalui asuransi pertanian, bahkan dalam Pasal 37 yang berbunyi, "Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melindungi usaha tani yang dilakukan oleh petani sebagaimana dalam Pasal 12 Ayat 2 dalam bentuk asuransi pertanian". Bahkan, Kementerian Pertanian juga sudah menerbitkan Permentan Nomor 40 Tahun 2015 tentang Fasilitasi Asuransi Pertanian.

Di dalam permentan tersebut, diatur jenis dan fasilitasi asuransi pertanian, pembinaan, serta pelaporan. Dalam pengaturan jenis dan fasilitasi asuransi pertanian akan melindungi petani dari kerugian gagal panen akibat bencana alam, wabah penyakit hewan menular, dan dampak perubahan iklim. Dalam poin regulasi ini, diharapkan ada satu paragraf yang memuat istilah syariah, seperti asuransi pertanian dapat dioperasionalkan dalam bentuk skim syariah.

Kedua, lahan pertanian yang menjadi perlindungan petani diberikan kepada: a. petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan usaha tani dan menggarap paling luas dua hektare; b. petani yang memiliki lahan dan melakukan usaha budi daya tanaman pangan pada lahan paling luas dua hektare; c. dan/atau petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha kecil disebabkan mayoritas petani di Indonesia adalah petani rumah tangga yang memiliki lahan pertanian di bawah dua hektare.

Ketiga, produk asuransi pertanian saat ini lebih fokus pada asuransi usaha tani padi (AUTP), maka pada masa mendatang dalam pengembangan komoditas yang akan diasuransikan tidak hanya komoditas padi, tetapi melingkupi komoditas nonpadi lainnya yang memiliki potensi panen besar dan kuat terhadap iklim, seperti jagung, kedelai, bawang, singkong, tebu, dan cabai.

Keempat, tarif atau premi dalam asuransi pertanian ditetapkan pada program awal 2015 sebesar Rp 180 ribu untuk lahan per hektare. Besaran premi ini dibayar menjadi dua, pembayar premi yang dibayar dengan dana APBN dan atau APBD melalui alokasi subsidi senilai Rp 144 ribu atau 80 persen jika ditotal dengan 1,041 juta hektare sebesar Rp 150 miliar. Dan, premi yang dibayar dengan swadaya petani senilai Rp 36 ribu atau 20 persen sehingga total dana premi per hektare Rp 180 ribu dengan harga pertanggungan yang didapat oleh petani Rp 6 juta per hektare lahan pertanian.

Melalui asuransi syariah, dana premi yang sebesar Rp 180 ribu per hektare lahan pertanian, kemudian bagi dana tabarru yang akan digunakan untuk klaim jikalau gagal panen, dan sebagian dana premi dana mudharabah atau diinvestasikan sehingga hasil investasi sebagian dapat dialokasikan untuk membayar porsi premi yang bersumber dari dana APBN dan atau APBD. Tujuannya agar beban pemerintah dapat berkurang dan skala ekonomi petani meningkat.

Kelima, dari segi kelembagaan pengelola dana premi asuransi atau perusahaan asuransi pelaksana asuransi pertanian, mengacu pada peraturan menteri pertanian, yaitu Permentan No 40 Tahun 2015 dalam Pasal 18 dijelaskan, perusahaan asuransi pelaksana asuransi pertanian wajib memiliki izin produk asuransi pertanian yang disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dari paragraf ini membuka peluang besar bahwa perusahaan asuransi pelaksana asuransi pertanian tidak hanya perusahaan asuransi BUMN dan konvensional, bahkan membuka peluang perusahaan asuransi syariah ikut andil dalam pengelolaan asuransi pertanian.

Keenam, jika semua poin sebelumnya dapat dimasukkan dalam usulan regulasi, langkah selanjutnya adalah menyosialisasikan ke seluruh petani, khususnya petani rumah tangga untuk dapat menjadi peserta asuransi pertanian dalam skim syariah, dengan menggandeng pemangku kepentingan, di antaranya asosiasi ekonomi dan keuangan syariah, gabungan kelompok tani, dan lembaga keuangan mikro agribisnis yang sudah terbentuk dengan diakomodasi dan difasilitasi oleh Kementerian Pertanian.

Semoga dengan konsep dan aplikasi asuransi syariah untuk sektor pertanian membuat petani Indonesia meningkatkan derajat kesejahteraan dengan tujuan untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

Hendro Wibowo

Sekretaris III DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Pokja Pembiayaan Syariah Kementerian Pertanian

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement