Jumat 27 Nov 2015 14:00 WIB

Paradoks Daerah

Red:

Praktis kurang dari sebulan lagi tahun 2015 berakhir. Kendati tinggal menghitung hari, serapan belanja pemerintah daerah jauh dari optimal, apatah lagi maksimal. Rata-rata belanja daerah di beberapa provinsi dan kabupaten/kota masih di bawah 60 persen hingga awal November.

Cermati saja berita di situs daring dengan menggunakan kata kunci "serapan ABPD", maka akan seabrek berita yang menginformasikan minimnya serapan belanja di sejumlah daerah. Kala dibuat rentang, berdasarkan informasi dari situs daring, penyerapan anggaran di beberapa daerah tersebut berada di kisaran 56 persen hingga 85 persen.

Hal ini cukup ironi lantaran pemerintah pusat berkali-kali menegaskan perlambatan ekonomi sudah sangat mengganggu. Di sisi lain, pemerintah daerah tak cukup gesit dalam menggerojok uang demi menggerakkan perekonomian daerah. Padahal, sudah sangat jelas, rakyat miskin banyak tersebar di daerah. Demikian pula dengan pengangguran.

Karena itu, menjadi lumrah bila kemudian roda perekonomian di daerah tak juga bergerak. Tak ada belanja dari pemerintah daerah dalam bentuk proyek dan pembangunan di sektor riil.

Kita juga bisa menyaksikan bagaimana gerilya pemerintah pusat dalam menggaet investor asing agar mereka menggelontorkan uangnya di Indonesia. Sudah bersusah-susah mencari uang dari investor asing agar uang mereka bisa berputar di dalam negeri, malah uang yang sudah tersedia di hadapan dalam bentuk anggaran daerah tidak dibelanjakan.

Katanya susah mencari duit, dana yang ada justru tak dipakai. Tentu, ini menjadi hal yang paradoks; pernyataan yang seolah-olah bertentangan, tapi sama-sama merupakan fakta.

Melihat gelagat ini, Presiden Joko Widodo di hadapan peserta Munas V Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Makassar menegaskan, akan mendukung penuh pemerintah daerah dalam upaya membelanjakan anggarannya. Bahkan, Presiden mengaku bersedia menjadi bumper. "Kalau tidak ambil serupiah pun, apa yang ditakutkan? Saya pastikan akan bantu kalau itu merupakan kebijakan bisa tunjukkan itu betul. Saya akan back up penuh," ujar Presiden menegaskan.

Presiden Jokowi pantas merasa geram dalam hal ini. Sebab, sekarang saja masih ada dana sebanyak Rp 259 triliun yang ngendon di bank-bank daerah. Angka yang tak jauh bergeser dari posisi per Agustus 2015 yang mencapai Rp 270 triliun. Sudah berlalu empat bulan, tapi hanya terbelanjakan kurang lebih Rp 11 triliun. Tentu, itu capaian yang sedikit.

Logika sederhana hukum ekonomi, dengan makin banyaknya uang yang beredar, menunjukkan kegiatan ekonomi makin semarak. Dengan makin ramainya aktivitas perekonomian, makin banyak pula warga yang terhindar dari menganggur. Korelasi positif yang diharapkan kemudian adalah jumlah warga miskin berkurang.

Namun, dengan terparkirnya dana APBD di bank-bank daerah, uang itu tak digunakan dalam aktivitas ekonomi riil. Pemerintah daerah hanya diuntungkan dengan mengalirnya bunga dari uang yang disimpan di bank, tapi tetap tak ada yang berjalan, tak ada efek berantai dari kegiatan ekonomi.

Sejauh ini, memang bisa dimaklumi alasan sejumlah daerah mengapa serapan anggarannya minim. Dalil kebanyakan mereka adalah kehati-hatian dan kekhawatiran dana tersebut salah sasaran sehingga bisa berimplikasi hukum. Memang, beberapa kasus hukum menjerat sejumlah kepala daerah karena kesalahan penggunaan. Namun, Presiden menyatakan tak perlu takut kalau memang tak memakan sepeser pun dari uang rakyat itu untuk kepentingan sendiri dan kelompok.

Ke depan, ada baiknya pemerintah mencari solusi berupa punishment and reward terkait kinerja serapan anggaran pemerintah daerah. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah perubahan cara transfer uang ke daerah. Bagi daerah yang menyimpan uang di bank, nantinya hanya ditransfer oleh pemerintah pusat dalam bentuk surat utang. Uang yang ditransfer ke daerah disesuaikan dengan uang yang akan dibelanjakan saja.

Boleh jadi ini solusi sementara dalam kondisi perekonomian yang lesu agar pemerintah daerah terpacu membelanjakan anggaranya dalam bentuk program pembangunan yang kreatif. Sebab, hal ini akan menjadi daya gedor untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement