Selasa 17 Nov 2015 13:00 WIB

Kalem di Laut Cina Selatan

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Kalem di Laut Cina Selatan


Ketegangan di Laut Cina Selatan seharusnya tak perlu mampir ke Indonesia. Namun, pada pekan lalu publik bisa membaca di media dua pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang cukup keras soal batas wilayah ini.

Keduanya adalah Menko Polhukam Luhut Pandjaitan dan Juru Bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir. Jeda sehari, kepada pers keduanya mempersoalkan pergerakan Cina di perairan itu. Ini tentu saja menarik untuk dicermati.

"Kami mencoba mendekati Cina. Kami ingin solusi di masa mendatang melalui dialog atau kami bisa membawa masalah ini ke Pengadilan Arbitrase Internasional," ujar Luhut, Rabu (11/11).

Luhut melanjutkan, "Kami tidak ingin ada unjuk kekuatan di wilayah tersebut. Kami ingin solusi damai melalui dialog. Sembilan garis putus-putus bukan hanya masalah kami, tapi memiliki dampak langsung terhadap Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Filipina."

Pada Kamis (12/11), Arrmanatha mengatakan, "Posisi Indonesia jelas di tahap ini bahwa kami tidak mengenali garis nine-dash karena tidak sesuai hukum internasional. Kami meminta klarifikasi mengenai apa maksud mereka dan apa yang mereka maksud dengan garis itu."

Pernyataan keduanya diikuti pergerakan armada kapal TNI menuju Natuna. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memerintahkan tujuh kapal berpatroli ke sana. Indonesia memang punya Natuna di dalam sengketa Laut Cina Selatan, sengketa batas wilayah antara yang diakui Cina dan yang diakui Vietnam, Filipina, dan Malaysia.

Cina terus mereklamasi wilayah laut di Laut Cina Selatan, juga mendirikan bangunan militer, seperti landasan pesawat dan mercusuar. Filipina mengundang AS masuk ke dalam sengkarut sengketa. AS yang memiliki pangkalan militer di Jepang dan Filipina menurunkan patroli militer di perairan Laut Cina Selatan. Ini yang membuat Cina dongkol kepada AS.

ASEAN sebenarnya sudah bertemu berkali-kali membahas masalah ini. Pertemuan terakhir para menteri pertahanan terjadi awal November lalu di Malaysia. Pertemuan selanjutnya pada 21-22 November di KTT ASEAN. Dipastikan, masalah Laut Cina Selatan akan menjadi agenda utama.

Melihat konstelasi peserta sengketa, bisa dibilang Natuna relatif adem ayem. Cina tidak ngotot mempermasalahkan batas wilayah maupun batas maritim Natuna versinya maupun versi RI. Kalaupun ada masalah, seperti kata Juru Bicara Kemenlu Cina Hong Lei, Cina tidak mempermasalahkan kedaulatan RI atas Natuna. Hanya, menurut Hong, tetap ada sengketa maritim.

Kalau begitu, bagaimana kita bisa menafsirkan reaksi Luhut dan Arrmanatha serta TNI pekan lalu? Bisa jadi reaksi itu dipicu situasi di lapangan. Kapal patrolis AS terus berputar-putar di Laut Cina Selatan. Ini yang membuat Cina sebal dan menuding AS memprovokasi situasi.

Politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan menerapkan kebijakan zero enemy. Di Natuna, kita melihat situasinya belum terjadi satu singgungan yang riil dengan Cina.

Kapal patroli Cina belum berputar-putar di kepulauan yang punya sumber daya gas itu. Karena itu, kita berharap pemerintah tidak reaktif serta tetap kalem di sengketa ini. Berbeda dengan yang dialami Vietnam maupun Filipina.

Secara geopolitik, Laut Cina Selatan merupakan lahan perebutan kekuasaan baru antara AS dan Cina. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, RI menjalin hubungan baik dengan keduanya.

Dalam pertemuan dengan Presiden AS Barack Obama, Presiden Jokowi mengatakan ingin masuk Kemitraan Trans-Pasifik, yang sarat kepentingan AS. Dengan Cina pun RI sedang kental hubungan dagangnya. Pemerintah membuka pintu investasi infrastruktur ke investor Cina. Pemerintah juga membuka pintu BUMN untuk mendapat utangan ratusan triliun rupiah dari Cina.

Dengan peta konflik dan hubungan ekonomi seperti ini, pemerintah, kita harap, tetap awas dan selalu mementingkan kepentingan bangsanya. Bukan kepentingan bangsa lain. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement