Senin 09 Nov 2015 13:00 WIB

Ada Apa dengan Cina?

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Ada Apa dengan Cina?


Di tengah melemahnya perekonomian Indonesia, pemerintah melakukan pinjaman kepada Cina melalui tiga BUMN. Bank Mandiri, BRI, dan BNI menjadi jaminan atas "gelontoran dana" sebesar tiga miliar dolar AS dari Cina.

Hingga Agustus 2015, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah mencapai Rp 2.850 triliun. Berkembang analisis, pinjaman melalui tiga bank BUMN itu sebagai langkah privatisasi secara soft yang dilakukan oleh pemerintah. Ketika pemerintah tidak bisa mengembalikan pinjaman dari China Development Bank, maka akan terjadi "tukar guling" antara utang dan saham tiga bank BUMN tersebut.

Pemerintah mengklaim telah mendapatkan dana murah dari Cina. Mereka hanya membayar bunga sebesar 2,8 persen. Entah karena ketidaktahuan pemerintah atau salah dalam perhitungan, Montenegro mendapatkan pinjaman dari Cina dengan bunga sebesar dua persen. Angka ini lebih rendah 0,8 persen dari total bunga yang dibebankan kepada Indonesia.

Selisih bunga sebesar 0,85 persen atau setara Rp 108 miliar jika dialokasikan untuk kegiatan produktif dapat menggairahkan ekonomi daerah. Dana yang diberikan Cina digunakan oleh Montenegro untuk membangun jalan tol sepanjang 170 kilometer. Namun, tidak ada "makan siang gratis" bagi Montenegro. Sebab, Pemerintah Cina hanya mengizinkan 30 persen pekerja lokal yang dilibatkan dalam proyek jalan tol tersebut.

Kejadian yang sama terjadi di Ekuador, sebuah negara yang berada di zona Concacaf. Mereka mendapatkan pinjaman dari Cina sebesar tujuh miliar dolar AS untuk pembangunan pipa penyulingan minyak. Pinjaman dana segar sebanyak ini "mustahil" mereka dapatkan dari kreditor lainnya karena melihat kondisi Ekuador yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan dana sebesar itu. Maka, tawaran dari Cina langsung mereka ambil walaupun ada beberapa persyaratan yang harus mereka penuhi.

Pemerintah Cina meminta 90 persen hasil minyak Ekuador untuk diekspor ke Cina dengan harga yang sudah mereka tentukan. Tidak hanya itu, para pekerja yang terlibat dalam proyek tersebut didominasi oleh warga Negeri Tirai Bambu.

Pertanyaan yang muncul di benak kita, konsekuensi apa yang diterima Indonesia atas pinjaman yang diberikan oleh Cina. Apakah mereka murni memberikan pinjaman tanpa harus memberikan syarat kepada Indonesia. Terbukti dalam sebuah proyek yang melibatkan Cina dalam pembangunan PLTU di Buleleng, Bali, tidak terlihat sama sekali pekerja asal Indonesia.

Data Bank Indonesia mencatat dari beberapa negara ASEAN yang mendapatkan investasi dari Cina, 31 persen investasi Cina berada di Indonesia. Angka ini mengalami kenaikan sejak 2010 sebesar 2,4 miliar dolar AS menjadi 9,7 miliar dolar AS pada Juli 2015. Arus investasi dari Cina dikhawatirkan menjadi salah satu alasan pekerja Cina untuk eksodus ke Indonesia. Hal itu dibantah oleh Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri atas adanya rumor eksodus pekerja Cina ke Indonesia.

Lagi-lagi, kita harus mengerutkan kening ketika pemerintah meloloskan Cina sebagai pemenang tender dalam proyek kereta cepat Jakarta–Bandung. Hal yang senada juga diungkapkan Jepang yang selama ini menjadi pelopor kereta cepat. Tidak tanggung-tanggung, nilai proyek kali ini mencapai lima miliar dolar AS atau setara Rp 78 triliun.

Pemerintahan Jokowi-JK memang sedang melakukan pembangunan infrastruktur sebagai penunjang pembangunan Indonesia. Tapi, seberapa pentingkah proyek yang sedang dijalankan ini? Jangan sampai pemerintah "setengah hati" dalam pembangunan kereta cepat.

Di sisi lain, pemerintah tidak memprioritaskan pembangunan infrastruktur di luar Jawa, pembangunan di Indonesia masih bersifat Jawa sentris, bukan Indonesia sentris menurut data yang dirilis oleh Biro Pusat Statistik. Share PDRB sebesar 57,5 persen berpusat di Jawa, bahkan Maluku hanya mendapatkan 0,8 persen.

Ketika proyek sebesar Rp 78 triliun didistribusikan kepada daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, hingga Papua untuk membangun moda transportasi kereta api, dipastikan akan membantu pertumbuhan ekonomi di pulau-pulau itu dan mengurangi kesenjangan di setiap daerah. Belum lagi, ketika masyarakat enggan untuk menggunakan kereta cepat Jakarta-Bandung karena cost yang cukup tinggi, dan juga banyak alternatif yang sudah ada.

Masalah lainnya akan timbul ketika kualitas kereta cepat buatan Cina yang tidak standar. Kita mengetahui ketika proyek Transjakarta dari Cina mengalami permasalahan karena banyak bus yang rusak. Pemerintah diminta untuk lebih selektif dalam menentukan sebuah proyek dan menimbang manfaat yang akan didapatkan.

Masalah pendanaan, pemerintah bisa menggunakan pembiayaan dalam negeri. Sebab, ketika kita mendapatkan pinjaman dari luar negeri akan ada konsensus yang harus kita sepakati. Hal itu akan merugikan Indonesia dalam hal ekonomi dan itu sudah menjadi rahasia umum.

Salah satu sektor yang belum dimaksimalkan pemerintah adalah sukuk government. Tingkat penyerapan obligasi syariah yang diterbitkan pemerintah oleh masyarakat cukup tinggi. Hal ini menandakan bahwa masyarakat percaya dengan kinerja pemerintah dalam pembangunan di Indonesia. Karena, sukuk government yang ada saat ini diterbitkan berdasarkan based on project dan adanya aset yang dijaminkan (underlying asset). Artinya, utang yang diterbitkan oleh pemerintah akan digunakan untuk pembangunan, dan nantinya akan dirasakan juga oleh masyarakat, antara pemerintah dan masyarakat saling diuntungkan.

Bandingkan dengan Malaysia yang sukuk government-nya dibeli kembali oleh BUMN mereka sendiri. Maka penerbitan sukuk government bisa menjadi salah satu solusi pemerintah dalam mencari pendanaan. Menurut Direktur Pembiayaan Syariah Kementerian Keuangan Suminto, dana yang terserap dengan penjualan sukuk di Indonesia mencapai Rp 49 triliun.

Apalagi, pemerintah saat ini masih menggunakan pendanaan sukuk government dalam pembuatan kantor urusan agama di Indonesia timur. Tidak mustahil sukuk government dijadikan sebagai pendanaan pembangunan infrastruktur lainnya. 

Kamal Ibrahim

Peneliti Junior Siber-C, Aktivis Kelompok Kepakaran Ekonomi Syariah SEBI–Dompet Dhuafa 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement