Rabu 30 Sep 2015 13:00 WIB

Memangkas Waktu Perizinan

Red:

Seakan menjawab keluhan dari para investor, pemerintah akhirnya merilis paket kebijakan ekonomi  jilid II dengan fokus soal perizinan investasi. Rantai panjang yang harus dihadapi calon investor untuk menanamkan investasi di Indonesia bukan menjadi rahasia umum lagi. Bahkan, Presiden Joko Widodo  (Jokowi) sendiri mengakui kalau rata-rata mengurus perizinan untuk memulai berusaha di Indonesia mencapai 52,5 hari.

Panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk mengurus perizinan investasi seperti membenarkan lelucon di tengah-tengah masyarakat saat harus berhadapan dengan birokrasi: Kalau bisa diperlama, kenapa harus dipersingkat. Anekdot yang beredar di masyarakat luas tersebut bukan sekadar basi-basi, melainkan memang menjadi kenyataan. Hal itu dapat terlihat dari fakta beberapa negara tetangga dalam mengurus  perizinan, seperti Singapura yang hanya 2,5 hari, Malaysia 5,5 hari, dan Thailand 27,5 hari.  Peringkat Indonesia di kawasan ASEAN dalam memulai usaha jauh tercecer di peringkat ke-6.

Kita menyadari izin yang berbelit itu pasti membuat kesal investor. Jangankan investor yang ingin menanamkan modalnya, masyarakat biasa pun seperti alergi menghadapi birokrasi yang berbelit dan akhirnya menimbulkan biaya tinggi. Karena memang bukan rahasia lagi, semakin lama dan panjang jalur perizinan membuat biaya yang dikeluarkan pun semakin besar. Waktu yang lama dan biaya yang tinggi juga akibat banyaknya instansi yang terlibat.

Tentu saja, kita berharap dengan paket ekonomi jilid II yang bertemakan investasi membuat negara kita ramah terhadap para pemilikmodal. Para investor tak lagi kecewa setiap kali harus berurusan dengan birokrasi. Selain itu, kebijakan ini juga bukan sekadar janji presiden yang implementasinya di lapangan jauh panggang dari api.

Jangan sampai investor justru kembali kecewa karena apa yang mereka harapkan dalam paket kebijakan ekonomi jilid II ini realisasinya sangat berbeda di lapangan. Karena itu, tidak hanya waktu perizinannya yang dipercepat, jumlah meja instasinya juga harus lebih sedikit, seperti di Singapura. Dalam mewujudkannya, bukan pekerjaan mudah karena beberapa perizinan saat ini berada di daerah, terutama sejak era otonomi daerah mulai bergema pascajatuhnya Orde Baru. Pemerintah daerah harus seiya sekata dengan pemerintah pusat dalam hal ini.

Pertanyaannya apakah investor akan segera tertarik menanamkan investasinya dengan paket kebijakan ekonomi jilid II ini? Tampaknya tidak akan semudah itu. Bukan hanya karena saat ini kondisi ekonomi secara global dalam kondisi krisis, melainkan juga karena ada satu hal yang selalu dirindukan investor saat ingin berinvestasi di Indonesia. Selama ini pemerintah kita terlalu pelit memberikan insentif kepada calon investor. Insentif dalam bentuk fiskal dan pajak yang diberikan oleh pemerintah Indonesia jauh kalah menarik dari yang ditawarkan oleh negara tetangga, seperti Thailand maupun Malaysia dan Vietnam dalam sepuluh tahun terakhir.

Kondisi ini membuat pasar dalam negeri kita yang cukup besar dibandingkan negara-negara tetangga pun menjadi seakan tidak berarti apa-apa. Para investor multinasional lebih memilih menanamkan modalnya di negara itu, lalu mengekspornya ke negara kita. Tentu, ini tidak boleh terjadi lagi pada masa yang akan datang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement