Selasa 22 Sep 2015 15:00 WIB

Pengorbanan dan Kebangsaan

Red:

Pada umumnya orang mengenal pengorbanan dari berbagai perspektif. Ada kalanya pengorbanan fisik, ada pula pengorbanan biaya atau uang, ada pengorbanan untuk mengentaskan bangsa dan negaranya dari penindasan. Dalam hal pengorbanan kebangsaan, sejarah dunia merekam jejak para tokoh bangsa yang memerdekakan bangsanya dalam guratan tinta emas sejarah nasional masing-masing negara.

Sejarah Amerika Serikat (AS) mengenal nama besar George Washington, pemimpin revolusi kemerdekaan dan presiden pertama AS, serta Abraham Lincoln presiden ke-16 yang sampai mengorbankan nyawanya mengawal AS keluar dari sengitnya perang saudara dan menghapuskan perbudakan di AS.

Sedangkan, sejarah pergerakan nasional Vietnam tidak dapat terlepas dari nama besar Ho Chin Minh. Di Afrika Selatan tidak bisa terpisahkan dari nama Nelson Mandela, di Jerman tidak dapat terlepas dari nama besar Otto Von Bismarck, dan Republik Indonesia tentunya tidak dapat terpisahkan dari nama Bung Karno dan Bung Hatta.

Beberapa nama tersebut adalah tokoh yang dikenang oleh bangsanya dan bahkan dunia karena pengorbanan mereka yang luar biasa hingga mengantarkan bangsanya pada pintu gerbang kemerdekaan maupun melalui peristiwa monumental dalam sejarah masing-masing bangsa dan negara.

Kita mempelajari bahwa sifat dari orang yang bersedia berkorban biasanya tidak banyak menuntut untuk dirinya sendiri, tapi justru memberi kepada kaumnya. Sifat sabar dalam memperjuangkan ide besar, rela berkorban, jujur, dan menepati janji, artinya konsisten dan konsekuen antara ucapan dengan tindakan, bersedia menerima apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Jiwa pemaaf walaupun pernah disakiti adalah sifat dan bentuk pengorbanan utama yang patut kita jadikan panutan.

Jiwa pengorbanan juga tidak hanya dibutuhkan dalam lapangan perjuangan politik semata. Berbagai temuan besar ilmiah di bidang kesehatan maupun ilmu pengetahuan juga merupakan bentuk perjuangan dan pengorbanan untuk mengatasi permasalahan sosial yang memengaruhi kehidupan rakyat banyak. Dalam hal ini, dapat disebutkan nama Einstein penemu teori relativitas, Louis Pasteur penemu vaksin rabies, serta Newton yang menemukan teori percepatan gravitasi dalam teori fisika klasik yang bermanfaat bagi kemajuan peradaban manusia. Bahkan jika kita mencermati, para nabi pun diutus untuk memperbaiki keadaan dan peradaban umatnya.

Memasuki konteks kehidupan berbangsa dan bernegara pascakemerdekaan, jiwa pengorbanan dalam semangat kebangsaan bukannya menjadi kedaluwarsa, tetapi tetap relevan dan mutlak diperlukan. Bagi bangsa Indonesia yang kemerdekaannya bukan hadiah penjajah, melainkan direbut melalui darah dan air mata, maka jiwa pengorbanan bukanlah sesuatu yang asing lagi.

Bung Karno dalam Amanat Proklamasi tertanggal 17 Agustus 1956 berjudul "Berilah Isi kepada Hidupmu!" dengan tegas menyatakan, "Tidak ada seorang pun yang menghitung-hitung, 'Berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya'?"

Pernyataan Bung Karno tersebut merefleksikan tantangan bangsa ini setelah 70 tahun merdeka yang semakin kompleks dengan beragam permasalahan yang berakar pada ketidakadilan sosial, seperti maraknya radikalisme yang bertentangan dengan ideologi Pancasila, rentannya ketahanan pangan dan energi Indonesia, rendahnya konektivitas nasional, dan belum optimalnya mesin birokrasi kita.

Dinamika lingkungan strategis pada tataran regional dan global turut menghadirkan kompleksitas bagi bangsa ini dalam menghadapi tantangan yang tentunya akan membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan dalam perjuangan menghadapi beragam masalah ini harus dipahami bukan soal untung-rugi, melainkan untuk mempertahankan republik tercinta ini.

Beragam permasalahan bangsa ini perlu dikaji secara teoretis dan teknis untuk mendapatkan pemecahannya. Namun, perlu diingat bahwa hakikat perjuangan bangsa Indonesia adalah perjuangan roh sehingga tanpa jiwa pengorbanan yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan, maka solusi teoretis-teknis hanya akan menjadi macan kertas belaka atau bahkan menjadi alat pembenaran bagi penguasaan dan eksploitasi sekelompok kecil orang terhadap rakyat.

Oleh karena itulah, pendidikan kebangsaan yang membangun mental kejuangan dalam rangka nation and character building sangatlah relevan. Revolusi mental seyogianya dikawal agar reformasi pendidikan tidak terjebak pada aspek fisik belaka karena tanpa pembangunan jiwa, maka pembangunan fisik hanya akan menjadi rapuh.

Hal ini sejalan dengan salah satu bait lagu kebangsaan kita Indonesia Raya yang berbunyi, "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya". Dengan demikian, nantinya keputusan rakyat Indonesia sebagai individu maupun sebagai satu kesatuan untuk masa depan tidak akan membahayakan kedaulatan bangsa dan negara.

Umat Islam di Indonesia dan dunia sebentar lagi akan merayakan Hari Raya Idul Adha 1436 H. Sebagaimana tecermin dalam kisah Ibrahim dan Ismail dalam Alquran surah as–Shaffaat ayat 100–108, mengenai suri teladan yang mengajarkan pengorbanan untuk suatu sebab yang lebih tinggi (higher cause) di atas kepentingan pribadi, maka perjuangan sebuah bangsa menuju kemerdekaan ditempuh melalui pengorbanan jiwa dan raga baik oleh para pemimpin maupun rakyat yang dipimpinnya.

Bagi bangsa Indonesia, Idul Adha harus dijadikan momentum untuk mengobarkan kembali jiwa pengorbanan dalam semangat kebangsaan melalui nation and character building untuk mencapai kemerdekaan sejati bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian, dapat terbentuk generasi bangsa yang mampu memaknai pengorbanan untuk bangsa dan negara yang bersatu dengan pengorbanan di jalan Tuhan.

Budi Susilo Soepandji

Guru Besar Universitas Indonesia, Bekerja di Lemhannas RI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement