Sabtu 22 Aug 2015 16:30 WIB

Pulanglah Buya

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Membaca resonansi Republika18 agustus 2015 yang ditulis oleh Buya Ahmad Syafii Maarif, saya menjadi tergerak untuk ikut sedikit berbagi pikiran tentang Sumatra Barat. Bagi saya, Buya Syafii Maarif tak saja sekadar ulama, tetapi juga guru bangsa, yang tentu juga guru saya.

Beliau salah satu dari sedikit orang yang saya kagumi di negeri ini. Saya lumayan kenal beliau karena beliau adalah tetangga kami di pesantren yang saya pimpin di pinggiran Kota Padang. Beliau seorang yang taat, alim, dan juga tawadhu. Beliau pernah beberapa kali mampir ke pondok saya, shalat berjamaah bersama kami, para guru dan santri.

Kadang, beliau hadir shalat Jumat, duduk dengan diam di salah satu saf bersama anak- anak. Banyak guru dan karyawan yang tidak kenal beliau, apalagi santri. Karena beliau datang dengan berjalan kaki dan tak ada atribut atau pendamping khusus. Suatu hari, habis shalat Jumat, turun hujan agak deras. Saya tawarkan beliau untuk saya antar dengan Kijang Super saya. Dengan senang hati beliau mau naik mobil tua saya.

Di balik penghormatan dan kekaguman saya kepada Buya, tentunya saya juga tak menutup diri untuk memberikan catatan atas "Resonansi" beliau Selasa lalu. Apalagi, saya menangkap kesimpulan Buya tentang kepemimpinan di Sumbar yang kesannya telah mengalami gagal total, kurang didukung oleh data yang valid dan realitas yang ada.

Buya menuliskan, "Petahana Irwan, kelahiran Yogyakarta 20 Desember 1963, selama lima tahun menjadi gubernur menyisakan fakta ini: dari sisi tingkat kesejahteraan masyarakat, Sumbar terjun bebas pada angka tiga dari bawah setelah Papua dan NTB...." (dalam tulisan Buya, NTB. Dalam laporan BPS adalah NTT). Ini kalimat yang bom bastis. Menunjukkan masyarakat Sumbar sudah berada pada level terendah rakyat Indonesia dan jauh dari kesejahteraan sebelumnya.

Saya berkeyakinan kuat kesimpulan Buya itu berangkat dari hasil survei BPS (2015) tentang indeks kebahagiaan masyarakat Sumbar. BPS menyatakan, indeks kebahagiaan masyarakat Sumbardi urutan tiga terbawah setelah Papua dan NTT. Namun, pihak BPS memberikan penjelasan soal indeks ini. Kabid statistik sosial BPS Sumbar Satriono menyatakan, kebahagiaan adalah hal yang dirasakan dan dipersepsikan secara berbeda oleh setiap orang. Karena itu, pengukuran kebahagiaan merupakan hal yang subjektif.

Jadi, survei itu menyatakan masyarakat merasa kurang bahagia, bukan tidak sejahtera. Dan, ini subjektif sesuai cara pandang setiap orang ten tang makna bahagia. Bisa jadi dua orang berpenghasilan sama, tapi salah satunya merasakan tak bahagia. Karena, masing-masing punya standar kebahagiaan berbeda. Sebab, kebahagiaan lebih berhubungan dengan rasa, tapi wujudnya tak terlihat.

Kalau kita ingin melihat kesejahteraan rakyat Sumbar secara ukuran data valid, tentu sangat banyak variabel yang harus digunakan, di samping realitas secara kasat mata. Di antara yang bisa digunakan sebagai ukuran kesejahteraan umum adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh angka produk domestik regional bruto (PDRB), pemerataan ekonomi yang tergambar dari penurunan penduduk miskin, dan tingkat pengangguran serta ukuran lainnya.

Dari data resmi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), kondisi kesejahteraan sosial menunjukkan bahwa IPM Sumbar pa da 2013 sebesar 75,01, meningkat dibanding 2012 yang 74,70, tapi tetap menempati peringkat sembilan secara nasional. Sementara, PDRB Sumbar mengalami peningkatan cukup signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. PDRB 2011 sebesar Rp 98,96 triliun, menjadi Rp 110,10 triliun. Pertumbuhan PDRB pada 2014 adalah 6,5 persen di atas pertumbuhan nasional yang hanya 5,21 persen. Sumbar berada pada peringkat ke-13 nasional.

Adapun tingkat kemiskinan masyarakat Sumbar, dalam data resmi Pemprov Sumbar, telah mengalami penurunan drastis sejak 2010. Padahal, Sumbar baru saja dihantam gempa dua kali, pada 2007 dan 2009. Terutama gempa 2009 yang sangat mengganggu perekonomian Sumbar.

Angka kemiskinan pada 2010 adalah 9,50 persen. Kemudian pada 2011, turun ke 8,99 persen, dan 2012 turun ke 8,00 persen, serta tahun 2013 menjadi 7,56 persen, lalu terakhir pada 2014 berada di 7,41 persen. Jauh lebih baik dari rata-rata nasional yang 11,25 persen pada 2014. Begitu juga angka pengangguran Sumbar, turun dari 7,97 persen pada 2009 menjadi 6,50 persen pada 2014, dan turun ke 5,99 persen pada 2015 ini. Atau, sedikit di atas rata-rata nasional yang 5,7 persen.

Di samping itu, prestasi yang dicapai Irwan selama lima tahun memimpin Sumbar adalah fakta yang tak terbantahkan, belum pernah tercapai oleh gubernur-gubernur sebelumnya. LKPJ beliau mendapatkan opini WTP dari BPK RI dalam tiga tahun terakhir. Padahal, beliau menerima tampuk pemerintahan dari gubernur sebelumnya dengan status disclaimer.

Kemudian, setahun setelah itu naik ke WDP. Dan, ditutup dengan dua kali WTP murni untuk 2013 dan 2014. Sumbar meraih peringkat satu pelaksanaan rehab-rekon pascabencana (2011), juara satu tanggap darurat (2011), juara satu nasional pasar desa/nagari (2012), penyalur dana BOS tercepat (2012), peringkat II nasional penanaman 1 miliar pohon (2012), pembina bank daerah terbaik (2012), provinsi terbaik manajemen KB se- Indonesia (2013), provinsi terbaik pengelolaan pesisir dan pulau kecil (2013), peringkat lima dunia penyelenggaraan Tour Sepeda (2013), juara satu nasional Pemuda Pelopor (2013), penghargaan Kementerian PU atas pembangunan jalan nasional dan jalan provinsi di Sumbar (2014), dan lebih dari 100 penghargaan lainnya di berbagai bidang, semuanya kar ya Irwan bersama wagub dan pemerintah provinsi yang dipimpinnya.

Kemudian, Buya menyatakan, "Sebagai seorang tokoh PKS, Irwan dianggap lebih banyak mengurus kepentingan partainya daripada rakyat Sumbar." Pernyataan Buya ini juga terasa kurang valid.

Sejak menjadi gubernur, Irwan langsung melepaskan jabatan strukturalnya di PKS. Berbeda dengan banyak kepala daerah yang justru menjadi pimpinan atau pengurus partai secara aktif. Beliau tidak menjabat lagi di DPP PKS, apalagi di DPW.

Kemudian, hari-harinya habis untuk rakyat Sumbar. Satu hari kadang beliau hanya tidur tiga sampai empat jam saja. Tidak pernah mengambil cuti, dan hari Sabtu Ahad tetap bekerja. Dalam setahun, puluhan nagari dan ratusan desa yang beliau kunjungi. Daerah-daerah terisolasi dan tertinggal, beliau datangi walaupun harus naik sepeda motor atau naik perahu.

Sangat banyak desa yang belum pernah satu pun gubernur sepanjang sejarah Sumbar datang ke sana, tapi Irwan sampai ke sana. Hadir secara fisik dan juga membawa program pembangunan. Justru banyak pengurus DPD dan DPC PKS yang kecewa dengan Irwan karena sejak menjadi gubernur, beliau tidak mudah untuk diajak ke acara-acara partai.

Irwan rela mendahulukan perbaikan rumah masyarakat dan gedung pemerintahan yang hancur karena gempa 2009 daripada memperbaiki kantornya sendiri. Bahkan, sampai akhir jabatannya, beliau berkantor di rumah dinasnya. Menjelang jabatannya berakhir, semua dinas provinsi menempati gedung baru atau sudah direnovasi.

Terakhir, saya sangat menghormati dan juga mencintai Buya. Beliau begitu peduli dan cinta dengan Sumbar. Barangkali karena itulah beliau menuliskan keresahannya tentang Sumbar dan berharap Sumbar kedepan lebih baik lagi.

Kami menunggu Buya pulang kekampung halaman, memberikan pencerahan kepada kami yang masih terus belajar. Dan, kiranya Buya sudi mampir di Pondok Ar Risalah karena Buya beberapa tahun yang lalu telah menjual rumahnya yang di samping pondok kami.

IRSYAD SYAFAR

Anggota DPRD Sumbar Periode 2014-2019

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement