Senin 27 Jul 2015 16:00 WIB

Belajar dari Kekeringan

Red:

Hujan yang tak kunjung datang selama dua bulan terakhir membuat beberapa daerah di bumi nusantara mengalami kekeringan. Tanah retak, tanaman mati, dan air, khususnya air bersih, sulit didapatkan.

Pemerintah menyatakan, hampir seluruh wilayah negeri mengalami kekeringan. Dilaporkan, sebanyak 379 desa di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), 80 desa di Pamekasan, dan 38 desa di Wonogiri mengalami kekeringan.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyatakan, NTB menjadi daerah yang paling darurat kekeringan dan menjadi daerah yang paling panas tersengat matahari. Bahkan, Bogor yang dikenal sebagai Kota Hujan mengalami kekeringan di separuh wilayahnya.

Dari 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor, 16 di antaranya sudah mengalami kekeringan. Setidaknya, ada 59 desa yang warganya kesulitan untuk mendapatkan air bersih karena sumur warga dan sungai sudah mengering.

Di Sumatra Selatan, terdapat puluhan desa yang warganya kekurangan air bersih karena semua sumur gali dan anak sungai mengalami kekeringan. Dari puluhan desa yang warganya kekurangan air bersih itu antara lain terjadi di 11 desa di Kecamatan Tuah Negeri. Warga di empat kecamatan di Sukabumi, Jawa Barat, yakni Warungkiara, Ciracap, Gegerbitung, dan Bantargadung juga merasakan hal yang sama.

Di Kabupaten Bandung bagian selatan, Jawa Barat, ratusan hektare tanaman padi yang baru berusia di bawah sebulan kekeringan dan mati akibat musim kemarau. Warga pun hanya bisa pasrah saat air irigasi dan selokan di kompleks pesawahannya sudah mengering sejak tiga pekan lalu sehingga tanaman padi yang baru berusia sebulan sudah mati kekeringan.

Sebagai negara tropis, musim kemarau memang sudah menjadi "pelanggan tetap" yang datang setiap tahun ke Indonesia. Setiap tahun pula berita mengenai kekeringan menghiasi wajah media massa nasional. 

Artinya, kekeringan sudah menjadi hal yang rutin terjadi di negara ini. Namun, seperti halnya banjir yang selalu terjadi pada saat musim hujan, kita seakan tak pernah siap untuk menghadapinya. Setiap tahun, masyarakat menghadapi masalah yang sama: banjir pada saat air berlebih dan kekeringan pada saat hujan tak kunjung turun.

Pemerintah dan masyarakat memang telah melakukan persiapan untuk menghadapi musim kemarau dan hujan. Namun, persiapan yang biasanya dilakukan untuk menghadapi kejadian alam tersebut belum menjadi solusi akhir yang bersifat preventif dan dapat bermanfaat untuk setiap orang.

Menghadapi musim hujan, solusi yang dilakukan masih bersifat "memadamkan kebakaran". Dengan kata lain, solusi untuk menghadapi banjir baru disiapkan saat air sudah merendam jalan atau rumah dan tempat tinggal. Belum ada cara yang tepat dan cepat untuk mencegah agar banjir itu justru tidak menjadi masalah besar bagi masyarakat.

Pada musim kemarau pun kita seperti lupa. Kita seakan terlalu abai untuk bisa mengingat pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya kalau tanah akan retak, sungai akan mengering, dan tanaman akan mati saat hujan enggan turun selama beberapa pekan atau bahkan bulan.

Memang, kemarau dan hujan merupakan kejadian alam yang tak bisa diubah. Meskipun saat ini kita merasakan, perilaku manusia yang kerap lupa bahwa bumi ini harus dijaga telah mengubah alam dalam banyak hal. Bumi pun menjadi tempat yang lebih sulit untuk ditinggali. Misalnya, air bersih sulit didapat dan panas pada musim kemarau kerap berlangsung lebih lama.

Namun, manusia juga diberikan akal dan kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan fenomena alam yang ada tanpa harus merusak bumi. Hanya saja, apakah kita benar-benar peduli? Coba tengok bagaimana kondisi sungai di sekitar kita yang tampaknya telah banyak yang beralih berfungsi menjadi tempat sampah.

Masyarakat kerap menyalahkan pemerintah saat merasakan banjir atau mendesak bantuan pemerintah ketika kemarau berlangsung lama. Namun nyatanya, masih kurang kesadaran dari kita sendiri untuk tidak membuang sampah pada tempatnya atau menutup keran saat menggunakan sabun ketika mencuci tangan. Padahal, hal-hal kecil seperti itu merupakan tindakan nyata yang kita dan bumi ini butuhkan.

Banyak yang berpikir, butuh tindakan yang besar untuk bisa melakukan perubahan. Paradigma ini yang kemudian akhirnya membuat mereka tak melakukan tindakan nyata apa pun karena merasa apa yang dilakukan tidak dapat memberi manfaat yang besar.  

Padahal, tak hanya tindakan besar yang dibutuhkan saat ini. Justru yang dibutuhkan saat ini adalah langkah kecil yang dilakukan secara konsisten dan terus-menerus, asalkan langkah itu memang nyata dan mampu memberikan perubahan, sekecil apa pun.

Sekecil apa pun langkah yang dibuat, asalkan terus dijalankan dan dilakukan bersama-sama, maka pasti akan memberikan perubahan yang besar. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement