Jumat 26 Jun 2015 11:00 WIB

Terorisme di Charleston?

Red:

"CharlestonShooting terrorist wore an Apartheid flag on his jacket. If a Muslim man wore an ISIS flag, he wouldn’t get past mall security." (Samuel Sinyangwe Twitter, 2015)

Amerika Serikat sedang mengalami ujian keadilan lagi. Sembilan jemaat gereja berkulit hitam tewas di tangan seorang remaja kulit putih, Dylan Roof, di Charleston, South Carolina, Rabu, 17 Juni 2015.

Peristiwa penembakan massal oleh penyerang tunggal, yang cukup sering terjadi, segera menuai amarah karena ada nuansa kebencian rasial serta sikap arogan supremasi kulit putih di situ. Kejahatan berlatar belakang kebencian (hate crime) amat dekat dengan perilaku terorisme.

Namun, institusi penegak hukum di AS cenderung enggan melabeli kekerasan di Charleston ini sebagai ‘terorisme’. Misalnya Direktur FBI, James Comey, yang melabelinya sebagai ‘hate crime’ dan bukan terorisme karena tidak melihat ada motif politik di dalamnya (The Hill, 21/06/2015). Mengapa penembakan Charleston bukan terorisme?

Pertanyaan yang sama muncul untuk kopilot Airbus 320 GermanWings yang diduga keras menabrakkan pesawatnya bersama 150 penumpang ke pegunungan Alpen di Prancis Selatan pada 24 Maret 2015. Apakah ia juga teroris? Ternyata, otoritas mengatakannya tidak. Jaksa Marseille Brice Robin mengatakan, aksi fatal itu bukanlah aksi terorisme (Ibtimes, 26/03/2015). Dugaan yang berkembang, kopilot Lubitz memiliki masalah kejiwaan serius.

Mengapa bila pelaku kejahatan yang mirip terorisme berkulit putih tidak lantas disebut sebagai terorisme? Mengapa bila tersangka pelakunya berwajah kearab-araban atau teridentifikasi sebagai Muslim, dengan mudahnya label teroris lahir?

Sebutlah pascaledakan bom di Boston Maraton, AS, pada 15 April 2013 yang menewaskan tiga orang. Atau pascaserangan dan penyanderaan di kafe cokelat di Sydney, Australia yang menewaskan dua orang pada 15-16 Desember 2014, atau yang teranyar penyerangan brutal ke kantor koran mingguan Charlie Hebdo di Paris pada 7 Januari 2015 yang menewaskan 11 orang.

Bukan kebetulan, pelakunya adalah keturunan Chechnya (Tsarnaev bersaudara), Aljazair-Mali (Kouachi bersaudara dan Coulibaly), dan Iran (Man Haron Monis). Alias mereka yang terafiliasi dengan negara Muslim atau kelompok Muslim tertentu.

Dalam opini "Multiwajah Terorisme" (Republika, 3/2015), penulis menyebutkan, terorisme memang konsep yang relatif sulit didefinisikan. Sezgin (2007) menyebutkan, terorisme adalah konsep yang paling diperdebatkan dalam ilmu sosial dan mendefinisikan terorisme adalah salah satu pekerjaan yang paling memicu kontroversi.

Terorisme adalah juga terminologi yang sering dipertentangkan dan sarat subjektivitas. Kendati negara dan para sarjana bersepakat bahwa dalam peristiwa terorisme terkandung empat elemen (Isthiaq Ahmad, 2012), (1) terorisme adalah kejahatan; (2) terorisme dilakukan sengaja; (3) target utama terorisme masyarakat sipil; (4) motif utamanya untuk menciptakan ketakutan.

Definisi tentang terorisme lekat dengan konstruksi sosial seperti yang beredar di sekitar kejadian. Subjektivitas lembaga penegak hukum, media massa, hingga masyarakat amat memengaruhi label yang akan diberikan kepada si tersangka pelaku.

Salah satu definisi terorisme diacu oleh United Nations Declaration to Supplement the 1994 Declaration on Measures to Eliminate International Terrorism yang menyebutkan terorisme sebagai kejahatan untuk memprovokasi keadaan teror kepada masyarakat umum, sekelompok orang, ataupun orang-orang tertentu untuk tujuan politik yang dalam keadaan apa pun tak bisa dibenarkan, termasuk tak mendapatkan justifikasi politis, filosofis, ideologis, ras, etnis, dan agama.

Definisi terorisme dari Webster New World College Dictionary menyebutkan, terorisme adalah penggunaan kekuatan atau paksaan yang bersifat mengancam, mengacaukan, mengintimidasi, menaklukkan sebagai senjata politik atau perubahan kebijakan. Bila melihat definisi ini, penembakan oleh Dylan Roof di Charleston dapat saja disebut terorisme.

Korbannya semua berkulit hitam. Ada kebencian dan teror di situ. Motif politik juga terlihat dengan manifesto rasialis Dylan yang menyebutkan ia terpanggil memulai perang sipil di AS dan bahwasanya orang kulit hitam adalah bodoh dan kejam serta orang Yahudi ingin diubahnya sehingga menjadi berwarna biru (Daily Mail, 20/6/2015).

Kasus hate crime ala Charleston ini juga sesuai dengan definisi Webster Dictionary tentang terorisme karena UU Anti Teroris pertama di AS adalah UU untuk memberantas Ku Klux Klan alias kelompok ultranasionalis kulit putih yang sangat antikulit hitam, persis seperti yang diinginkan Dylan Roof (Gladstone, 18/6/2015).

Pendapat lebih arif lahir dari mantan First Lady AS, Hilllary Clinton (The Guardian, 24/6/2015) yang menyebutkan, peristiwa Charleston adalah terorisme rasialis. Dan, AS disebutnya masih memiliki masalah mendasar terkait ketidakadilan rasial.

Karena terlalu kenyalnya definisi terorisme, dua ‘pelaku kekerasan’ yang hampir sepadan dengan terorisme sering kali tak disebut terorisme, yaitu kekerasan yang dilakukan negara (state violence), seperti di Myanmar terhadap etnis Rohingya dan kekerasan oleh pelaku tunggal atau beberapa pelaku yang mendukung kelompok, gerakan atau ideologi tertentu, tapi bekerja sendiri dan tak terafiliasi ke kelompok manapun (lazim disebut lone wolf terrorism atau teroris serigala tunggal).

Dylan Roof lebih pantas disebut sebagai lone wolf terrorist daripada semata-mata penjahat yang terprovokasi kebencian rasial. Kasus Dylan hampir sama dengan ‘teroris kulit putih’ lainnya, seperti Timothy McVeigh ataupun Anders Breivik meski dengan motif dan modus berbeda.

Pada 19 April 1995, Timothy McVeigh mengebom gedung federal di Oklahoma City, AS. Kejahatan yang menewaskan 168 orang oleh pelaku tunggal berkulit putih ini adalah terorisme terdahsyat di AS sebelum 9/11. Di Norwegia, Anders Behring Breivik, seorang ultranasionalis kulit putih, membantai 77 orang hingga tewas di Oslo pada 22 Juli 2011. Motif utamanya kebencian pada imigran (utamanya imigran Muslim) dan partai pemerintah yang mengakomodasi kelompok imigran.

Terorisme sampai kini tetap sukar didefinisikan dan bersifat sangat subjektif. Terorisme tak dapat dipaksakan hanya berwajah tunggal, misalnya, identik dengan wajah kearab-araban atau penganut agama tertentu. Potensi melakukan kekerasan terdapat di semua negara, bangsa, etnis, dan penganut agama. Maka, kekerasan di Charleston adalah juga kejahatan terorisme.

Heru Susetyo

Staf Pengajar HAM dan Viktimologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement