Jumat 27 Mar 2015 14:18 WIB

Masa Depan Yaman

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Arab Saudi bersama sembilan negara lainnya mengambil keputusan yang cukup mengejutkan. Pada Rabu (25/3) malam waktu Washington, Amerika Serikat, atau Kamis (26/3) WIB, Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat Adel al-Jubeir mengumumkan keputusan negaranya untuk menggempur kelompok pemberontak Houthi yang kini menguasai ibu kota Yaman dan daerah sekitarnya.

Kendati pengumuman penyerangan itu dilakukan di Washington, Saudi menegaskan bahwa Amerika Serikat sama sekali tidak berperan dalam penyerangan ini. Langkah Arab Saudi ini memang bukan main-main.

Dilaporkan, Saudi bersama sembilan negara koalisi lainnya—yakni Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Qatar, Yordania, Mesir, Sudan, Pakistan, dan Maroko—mengerahkan 100 jet tempur dan 150 ribu personel. Mereka dikerahkan untuk menyerang basis-basis pertahanan kelompok Houthi, yang diklaim Saudi, dengan alasan untuk menjaga pemerintahan yang sah dan menghentikan upaya Houthi menguasai sepenuhnya Yaman.

Sebulan terakhir, kelompok Houthi telah menduduki Sanaa, ibu kota Yaman. Kelompok bersenjata ini bahkan sempat menawan Presiden Abd Rabbu Mansour Hadi ketika itu di istananya. Beberapa hari berada di tahanan istana, Presiden Hadi berhasil kabur dari Sanaa, lalu memilih tempat persembunyian di Kota Aden, yang merupakan kampung halaman Presiden Hadi.

Di kota inilah Presiden Hadi membangun kembali kekuatannya. Sebelumnya, kelompok Houthi menawarkan dewan pemerintahan bersama kepada Presiden Hadi, tapi ditolak. Kelompok militer Houthi bahkan telah membubarkan parlemen pemerintahan Presiden Hadi.

Kelompok Houthi tak berhenti di Sanaa. Mereka merangsek ke Kota Aden untuk menguasai Pangkalan Udara al-Anad yang sebelumnya sempat menjadi pusat komando serangan drone AS. Rabu (25/3) lalu menjadi puncak laju serangan kelompok Houthi dengan merebut Pangkalan Udara al-Anad yang membuat Presiden Hadi menyelamatkan diri ke tempat persembunyian.

Di titik inilah, Arab Saudi yang merupakan sekutu Presiden Hadi sebagai sama-sama beraliran Suni mengambil peran. Kelompok Houthi merupakan penganut aliran Syiah Zaydiyyah, yang memiliki sedikit persamaan dengan aliran Syiah di Iran, Irak, atau Lebanon meski punya kesamaan dalam hal doktrin tentang imamah. Adapun mayoritas penduduk Yaman merupakan penganut aliran Suni. Iran sendiri membantah keterlibatannya mendukung Houthi dalam konflik politik di Yaman.

Jika ditelusur lebih jauh ke belakang, konflik di Yaman tak lepas dari perebutan kekuasaan oleh para elite. Sebelum Presiden Hadi berkuasa, Ali Abdullah Saleh merupakan presiden yang lebih dahulu berkuasa selama puluhan tahun. Euforia Arab Spring di Timur Tengah juga menggoyang pemerintahan Presiden Saleh, yang akhirnya dimakzulkan, dan Hadi kemudian menjadi presiden.

Namun, Saleh tidak tinggal diam dalam konflik politik ini. Kelompok Houthi yang banyak menguasai wilayah selatan Yaman dan merupakan minoritas, dipanas-panasi oleh Saleh. Di sinilah peran mantan presiden Saleh dan loyalisnya memanfaatkan momentum ketidakstabilan politik.

Terlepas dari persoalan internal politik di antara para elite Yaman, serangan koalisi Saudi terhadap kelompok Houthi yang kemudian juga memunculkan sentimen sektarian, jelas membuat kekhawatiran komunitas internasional. Terbayang di depan mata konflik Suriah yang sudah berjalan tiga tahun terakhir, tapi hingga kini pun tak ada tanda-tanda meredup. Jangan sampai Yaman menjadi ladang konflik tak berujung, seperti halnya Suriah.

Komunitas internasional, utamanya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perlu mengambil inisiatif agar konflik di Yaman tak menjadi Suriah kedua. Pihak-pihak yang bertikai di antara para elite Yaman harus didudukkan dengan kepala dingin di meja perundingan. Negosiasi dan musyawarah merupakan jalan terbaik untuk menengahi konflik Yaman.

Tak mungkin tidak ada jalan tengah dalam memediasi konflik ini, kecuali memang ada pihak ketiga yang menginginkan—bahkan menskenariokan—permusuhan di antara sesama saudara di Yaman terus berkobar. Siapa lagi pihak ketiga itu kalau bukan mereka yang memang menjerumuskan umat Islam dalam keterpecahan. Jika kondisi terpecah belah ini dipelihara, tentu musuh-musuh Islam itu yang bersorak. Apalagi jika dalam konflik ini mereka menangguk untung karena bisnis persenjataannya laris manis, tapi darah sesama umat Islam menggenangi bumi Yaman.

Kita berharap di negeri tempat banyak habaib di Tanah Air itu berasal bisa menuntaskan konflik berdarah yang terjadi. Jangan mau sesama saudara diadu domba hanya karena iming-iming kekuasaan. Masa depan Yaman kini menjadi taruhannya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement