Senin 02 Mar 2015 16:00 WIB

Australia, Brasil, dan Nawacita

Red:

Pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang mengaitkan rencana eksekusi hukuman mati terhadap dua terpidana kasus Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dengan bantuan Australia saat bencana tsunami di Aceh pada 2004 menuai kecaman yang luar biasa. Gerakan di sosial media marak dengan hashtag KoinUntukAustralia.

Aksi mengumpulkan koin itu sebagai bentuk protes atas sikap arogan Abbott. Pernyataan itu juga kabarnya ditentang banyak pihak di Australia sendiri dan dianggap tidak mewakili perasaan dan sikap rakyat Australia.

Sikap senada dengan Australia itu juga dilakukan oleh Pemerintah Brasil terkait eksekusi mati terhadap warga negaranya, Rodrigo Gularie, yang menjadi terpidana narkoba di Indonesia. Penundaan penyerahan credentials yang dilakukan Menlu Brasil secara tiba-tiba pada saat Dubes RI sudah berada di Istana Presiden Brasil telah melukai kehormatan Indonesia.

Dua kejadian di atas patut menjadi pelajaran bagi Indonesia. Ada dua poin yang layak dipertimbangkan. Pertama, Indonesia harus tetap melaksanakan eksekusi mati itu. Tidak boleh ada negara lain yang melakukan intervensi terhadap kedaulatan hukum di republik ini.

Kejahatan narkoba merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang telah menimbulkan korban sangat besar. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan pengguna narkoba mencapai 4,9 juta jiwa, sebagian besar adalah generasi muda. Indonesia menghadapi ancaman generasi jika masalah narkoba ini tidak menjadi perhatian serius.

Di dunia, angka pengguna narkoba juga terus meningkat. Data UNODC, terdapat 315 juta orang pengguna narkoba di dunia. Oleh karena itu, publik tentu mendukung agar eksekusi mati itu segera dilakukan.

Kedua, kita mendukung aksi protes terhadap pernyataan Abbott tersebut. Sikap protes melalui sosial media juga cukup efektif karena bisa langsung dilihat oleh publik dan media Australia. Aksi masyarakat ini membuktikan bahwa sebagai bangsa kita masih memiliki harga diri.

Jika ada negara lain yang menghina atau melecehkan Indonesia, sudah seharusnya kita melakukan perlawanan dan protes keras. Idealnya, Indonesia harus melakukan evaluasi terhadap program-program yang "didanai" oleh Australia. Indonesia juga perlu melakukan evaluasi terhadap berbagai kerja sama dengan Australia dan Brasil. Bahkan, jika memungkinkan mestinya Indonesia dapat menghentikan sementara semua kerja sama dengan kedua negara itu.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo gencar dengan gagasan Nawacitanya. Kita tentu masih ingat, poin pertama dalam Nawacita itu adalah agar negara hadir untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara Indonesia (WNI). Belajar dari dua kasus itu, kita mendorong agar pemerintah melaksanakan Nawacita itu secara konsisten.

Pemerintah mestinya memberikan perlindungan secara optimal kepada semua WNI di manapun dia berada. Kasus tenaga kerja Indonesia (TKI), misalnya. Apakah negara dan pemerintah sudah hadir dalam memberikan perlindungan secara penuh bagi mereka. Kasus terakhir adalah penghinaan terhadap TKI melalui sebuah iklan di media yang terjadi di Malaysia. Kita tidak melihat ada sikap keras atas kasus itu. Yang terjadi malah Jokowi ke Malaysia dan berencana melakukan kerja sama mobil nasional dengan Proton.

Dunia saat ini berkembang begitu cepat. Untuk itu, persoalan yang menyangkut warga negara sebagai akibat globalisasi harus menjadi perhatian serius. Karena ini menyangkut martabat, harga diri, dan kehormatan bangsa. Indonesia harus belajar dari dua kasus di atas.

Untuk menjadi bangsa yang dihormati, maka bangsa itu harus menghormati bangsanya sendiri. Caranya dengan mengerahkan semua daya dan upaya yang sah untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya. Sikap Australia dan Brasil di atas bisa jadi merupakan tradisi negara dalam membela warga negaranya.

Dalam konteks yang lebih luas, Indonesia saat ini juga mendapat perhatian secara global. Selain sebagai anggota G-20, Indonesia juga diakui sebagai negara middle power yang berpotensi menjadi negara maju suatu saat.

Sebagai negara demokrasi dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga mestinya mengambil peran lebih besar. Bahkan bersama Brasil, India, dan Turki, Indonesia juga konon diakui sebagai Global Swing States yang dapat menentukan arah kebijakan global di masa mendatang.

Dengan berbagai potensi itu, penulis berharap ke depan Indonesia harus bersikap layaknya sebagai negara yang besar. Pernyataan Indonesia harus mencerminkan sikap sebagai negara yang kuat dan mandiri.

Salah satu bukti sebagai negara besar, tentu adalah negara hadir memberikan perlindungan bagi warganya. Apalagi konstitusi kita jelas memberikan amanat agar negara dan pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kini juga ada Nawacita. Semoga!

M Hariman Bahtiar

Pengurus Departemen Kaderisasi ICMI Pusat

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement