Sabtu 14 Feb 2015 16:22 WIB

Banjir Adalah Kita

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Dalam studi Behavioral Geography yang membahas tentang proses kognitif dalam reaksi manusia terhadap kondisi lingkungannya, kondisi yang terjadi saat banjir di Jakarta menggambarkan tingginya tingkat individual warga Jakarta. Sebagian besar reaksi yang muncul adalah kecenderungan untuk menyalahkan, menyalahkan pemerintah, menyalahkan daerah hulu sungai yang dianggap sebagai pengirim banjir, dan menyalahkan banyak pihak lainnya.

Namun, tindakan untuk menyalahkan pada individu masing-masing yang juga memiliki sejumlah kebiasaan yang turut berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang terjadi di lingkungan sendiri pun tak banyak dilakukan oleh warga Jakarta. Human behavior memengaruhi terciptanya berbagai kondisi di lingkungannya, termasuk banjir. Ada hubungan kuat antara multidimensi ma salah lingkungan dengan akumulasi dari proses setiap tindakan manusia.

Karakter masyarakat urban di Jakarta yang cukup reaktif, satire, dan viral membuat permasalahan ini menjadi semakin buruk. Tindakan menya lahkan dan menyalahkan pihak lain dan lainnya, tanpa mengevaluasi kebiasaan diri sendiri yang sesungguhnya jadi bagian dari masalah pun, terus dilakukan dan disebarluaskan melalui jaringan media sosial. Maka tak ayal, banjir Jakarta akan terus dan semakin memburuk, secara fisik maupun mental.

Berbagai tindakan kita, seperti berangkat kerja, selama di perjalanan, berbelanja, dan kegiatan-kegiatan lainnya, semua terintegrasi. Mari kita coba petakan setiap tindakan tersebut, dan periksa adakah setiap detailnya yang berakibat buruk bagi lingkungan kita.

Dalam konteks sekarang, banjir adalah salah satu akibat buruknya.

Contoh tindakan yang paling sederhana adalah kebiasaan membuang sampah dari warga Jakarta yang tak kunjung membaik. Dengan mudah, kita bisa temui jalanan yang kotor hingga saluran air tersumbat pemicu banjir di Jakarta.

Volume sampah di Jakarta pada 2013 berkisar 6.000-6.500 ton per hari, angka ini diprediksi akan meningkat hingga 8.000 ton per harinya hingga 2018.

Lalu, contoh tindakan yang besar adalah keputusan para migran untuk datang ke Jakarta. Hal ini memuncul kan multiplier effectyang kompleks.

Para migran ini terus mengajak kerabat lainnya untuk juga ikut merantau ke Jakarta, akhirnya menyebabkan Jakarta makin sesak dan daya dukung lingkungan semakin merosot.

Sebagian besar kita banyak yang merasa puas terhadap kebiasaan yang dimiliki. Padahal, sejumlah persoalan masih sosial lingkungan masih berkeliaran di sekitar kita. Proses kognitif di sini berarti memerlukan peningkatan.

Hal ini memang sangat mikro, tapi inilah yang kemudian menjadi basis dari proses pembentukan lingkungan spasial kita. Ini tentang detail dari setiap pengambilan keputusan kita dalam bertindak sehari-hari, mulai dari hal yang kecil hingga perencanaan yang besar. Pastikan setiap keputusan yang kita ambil tak hanya berdasar pertimbangan ekonomis, tapi juga yang penting dikaji adalah tentang "values", bias-bias budaya, dan juga "habit".

Mungkin sebagian pihak akan mengatakan kalau hal-hal semacam tersebut adalah variabel yang tidak terukur.

Tapi itu keliru, setiap kebiasaan buruk kita dapat dihitung secara matematis hingga mengakibatkan sebuah bencana, bukan bencana alam lagi lebih tepatnya kita menyebutnya, tapi bencana manusia, yang lebih menjadi penyebabnya.

Seperti kita yang mengolok-olok banjir, sebenarnya sedang mengolok- olok diri sendiri.

IBNU BUDIMAN

Research Assistant for National University of Singapore (NUS)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement