Kamis 22 Jan 2015 14:09 WIB

Mencermati Perseteruan Polri-KPK

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Perseteruan antara lembaga Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki babak baru. Hal ini ditandai dengan munculnya gugatan praperadilan yang diajukan oleh Polri terkait calon kapolri Komjen Pol Budi Gunawan yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dan tak sampai di situ, calon kapolri yang sudah disetujui DPR ini juga melaporkan dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, ke Kejaksaan Agung.

Praperadilan nantinya akan menguji sah atau tidaknya penetapan status tersangka yang dilabelkan KPK kepada Komjen Budi Gunawan dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa. Sedangkan, laporan Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung, menurut pengacaranya, lantaran Abraham Samad dan Bambang Widjojanto menyalahgunakan wewenang. Kedua pimpinan KPK dianggap melakukan pembiaran kasus.

“Serangan balik” yang dilakukan oleh lembaga Polri dan Budi Gunawan dalam dua hari terakhir ini dinilai banyak kalangan merupakan episode “cicak vs buaya” jilid baru. Istilah cicak vs buaya yang kondang ditasbihkan kepada perseteruan KPK-Polri beberapa tahun lalu, kali ini diperkirakan akan seseru seperti waktu itu.

Tentu saja, sebagai dua lembaga terhormat di negeri ini, kita tidak ingin apa yang terjadi beberapa tahun lalu terulang. Bagaimanapun, keributan yang terjadi antara Polri dan KPK hanya akan menjadi tontonan rakyat dan membuat laju perjalanan bangsa ini terganggu.

Begitu banyak energi yang harus dikeluarkan hanya untuk menonton tidak akurnya dua lembaga tersebut. Padahal, pada saat bersamaan, masih banyak yang harus dilakukan oleh bangsa ini untuk menyejahterakan rakyat, melakukan pembangunan infrastruktur, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Karena itulah, apabila kedua lembaga negara ini dan pimpinannya menjalankan roda lembaganya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka kekhawatiran munculnya “perang” baru antara Polri dan KPK tidak akan terwujud. Kita tidak ingin perselisihan kedua lembaga ini menimbulkan ekses seperti penarikan besar-besaran penyidik asal Polri di KPK seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Kita juga tidak ingin KPK menetapkan tersangka kepada pejabat di Polri karena ada kepentingan-kepentingan politik di luar persoalan hukum.

Bila dicermati, apa yang dilakukan oleh Budi Gunawan dan lembaga Polri menggugat praperadilan dan melaporkan pimpinan KPK ke Kejaksaan Agung masih dalam koridor hukum. Dalam hukum, semua orang termasuk Budi Gunawan berhak untuk menggugat praperadilan ketika ditetapkan sebagai tersangka. Begitu juga semua orang juga berhak melaporkan sebuah lembaga atau pimpinan lembaga negara ke Kejaksaan Agung jika merasa mendapat perlakukan yang tidak adil. Seperti yang dikatakan Wapres Jusuf Kalla, setiap warga negara berhak memiliki kekuatan hukum. Upaya hukum itu hak masing-masing warga negara.

Sepanjang perseteruan di ranah hukum, sebenarnya kekhawatirkan bahwa akan munculnya perseteruan cicak vs buaya tidak perlu ada. Yang penting adalah bahwa Kejaksaan Agung harus bertindak profesional dan adil dalam menangani adanya laporan yang disampaikan oleh Budi Gunawan.

KPK harus selalu berpegang pada asas hukum dan mengikis semaksimal mungkin adanya kepentingan tertentu dalam menetapkan tersangka. Sementara, lembaga Polri juga tidak boleh melakukan tindakan-tindakan di luar ranah hukum dengan menarik para penyidiknya di KPK atau tindakan-tindakan lain yang justru akan membuat suhu politik di  negeri ini semakin memanas. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement