Kamis 22 Jan 2015 14:07 WIB

Menimbang Hukuman Mati

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Eksekusi mati terhadap enam terpidana mati kasus narkotika yang berlangsung di Nusakambangan dan Boyolali pada 18 Januari 2015 dini hari kembali menyentak publik Indonesia.  Menyeruak kontroversi perihal perlu tidaknya negara tetap mempertahankan hukuman mati.

Lalu, kalaupun tetap mempertahankan hukuman mati, apakah harus mempertahankan cara lama dengan ditembak oleh regu tembak dari kepolisian atau ada cara lain yang lebih “manusiawi”?

 

Sejatinya hukuman mati sudah sering dijatuhkan dan eksekusi mati pun sudah kesekian kalinya dilaksanakan di Indonesia. Sudah pula ada warga asing yang dieksekusi mati di Indonesia.  Namun, eksekusi mati kali ini menjadi perhatian luas, barangkali, karena terjadi pada masa pemerintahan baru dan dua terpidana matinya warga negara asing non-Afrika (Belanda dan Brasil). Belanda telah menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya dan Brasil menghapuskan hukuman mati kecuali untuk kejahatan yang luar biasa berat.

Sebagai contoh, pada 17 Mei 2013, tiga terpidana mati (Suryadi, Jurit, dan Ibrahim) dalam kasus pembunuhan berencana dieksekusi mati di Nusakambangan. Adami Wilson, terpidana mati WN Malawi, dieksekusi mati di Kepulauan Seribu pada Maret 2013. Pada 8 November 2008, terpidana mati kasus Bom Bali 2002 (Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas)  dieksekusi mati di Pulau Nusakambangan.

Pada 19 Juli 2008, tiga terpidana mati kasus pembunuhan berencana (Sumiarsih dan Sugeng) dieksekusi di Jawa Timur dan satu lagi (Tubagus Maulana Yusuf alias Dukun Usep) dieksekusi di Lebak, Banten. Pada September 2006 berlangsung eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva, dan Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus kerusuhan Poso pada September 2006. Kemudian pada  5 Agustus 2004, berlangsung eksekusi mati di Medan terhadap Ayodhya Prasad Chaubey, warga negara India, terpidana mati kasus narkoba. Lalu pada 20 Maret 2005, Nyonya Astini, terpidana mati kasus pembunuhan berencana dengan mutilasi, dieksekusi mati di Surabaya.

Eksekusi mati terhadap keenam terpidana mati kasus narkoba pada pertengahan Januari 2015 ini kembali memunculkan pertanyaan mengenai kelayakan maupun manajemen (baca: hukum acara) eksekusi mati di Indonesia. Apakah eksekusi mati memang harus dilakukan dan memiliki legitimasi sistem hukum Indonesia ataupun hukum internasional? Pertanyaan kedua, apakah memang terpidana mati harus menjemput ajal dengan ditembak oleh regu tembak, tak adakah cara lain?

 

Kalangan yang tidak setuju pidana mati beralasan hukuman mati adalah sangat kejam, di luar perikemanusiaan, dan melanggar hak asasi manusia (HAM), utamanya hak hidup. Juga, sebagai salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif terhadap masyarakat serta tak juga menimbulkan efek jera untuk calon-calon pelaku kejahatan. Lalu, apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam penjatuhan vonis, hukuman itu tak dapat dikoreksi karena sang terpidana telanjur dieksekusi. Hal ini mungkin terjadi mengingat pengadilan di Indonesia belum terbukti benar-benar bersih, independen, dan profesional.

Terkait dasar hukum, legalitas penolakan hukuman mati datang dari beberapa instrumen HAM internasional, antara lain, (1) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, (2) Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty, (3) Protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1982 (European Convention on Human Rights), dan (4) Protocol No 13 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 2002 (European Conventon on Human Rights).

Dari empat instrumen di atas, hanya instrumen pertama yang bersifat internasional, sedangkan ketiga instrumen berikutnya bersifat regional. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (SOP) yang memiliki kekuatan secara hukum (entry into force) sejak 11 Juli 1991 hingga kini telah diratifikasi 81 negara dan ditandatangani tiga negara lainnya. Protokol ini mewajibkan negara yang meratifikasinya (state parties) menghapuskan eksekusi dan hukuman mati dalam legislasi maupun praktiknya. Kondisi saat ini, sekitar 140 negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati atau kalaupun tidak menghapuskan, tapi sudah tidak mempraktikkannya lagi. Sisanya, 58 negara, termasuk Indonesia, masih memberlakukan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya.

Second Optional Protocol mendalilkan perlunya hukuman mati dihapus, dengan merujuk pada Pasal 3 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi: "Setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan (life, liberty, and security of person), juga pada Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR) yang berbunyi: "Setiap orang mempunyai hak yang tak terpisahkan dan dilindungi oleh hukum, yaitu hak untuk hidup.

Di Indonesia, legalitas hukuman mati paling tidak berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk pasal pembunuhan berencana, UU tentang Narkotika Tahun 2009, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1999 dan 2001, UU Pengadilan HAM No 26 Tahun 2000, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Tahun 2003.

Di level masyarakat Indonesia, hukuman mati tidak menjadi isu sangat serius karena masih banyak praktik adat dan kebiasaan di beberapa masyarakat di Indonesia yang ‘menoleransi pengadilan jalanan' sebagai bagian nilai budaya yang hidup. Juga, masih lekatnya pengaruh hukum agama, sebutlah hukum pidana Islam yang mengatur hukuman mati untuk jenis kejahatan tertentu (Hadd/Qishas).

Pengaturan ini membuat sebagian masyarakat Muslim Indonesia menganggap hukuman mati wajar adanya. Bagi sebagian korban dan keluarga korban tindak pidana, hukuman mati untuk pelaku justru dianggap memberikan keadilan bagi mereka dan tidak melanggar HAM.

Permasalahan muncul ketika pascareformasi 1998, Indonesia banyak melahirkan UU bernuasa HAM, antara lain, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dilanjutkan dengan ratifikasi dua Kovenan Internasional, masing-masing International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) pada 2005.   

Mandat dari instrumen HAM tersebut (ICCPR), antara lain, negara harus menghargai hak hidup dan mewajibkan negara memiliki policy dan legislasi yang melindungi hak hidup dan martabat kemanusiaan. Maka, kendati tidak eksplisit menyerukan hukuman mati, hadirnya instrumen itu semakin menegaskan kesenjangan dengan produk perundang-undangan Indonesia yang mengatur hukuman mati.

Permasalahan selanjutnya, manajemen dan hukum acara eksekusi mati di Indonesia. Rata-rata para terpidana mati harus menunggu cukup lama sejak putusan pengadilan negeri sampai dengan grasi ditolak dan eksekusi mati dilakukan. Kalangan awam akan bertanya, mengapa harus memenjara orang hingga 20 tahun kalau akhirnya dieksekusi mati juga?

Terpidana mati di Surabaya, Sumiarsih dan Sugeng, harus menunggu sekitar 20 tahun sejak putusan pidana mati dari pengadilan negeri, hingga akhirnya dieksekusi mati. Lalu, terpidana mati kasus narkoba Namaona Denis (WN Malawi) harus menunggu 14 tahun sejak 2001, Marco Moreira (WN Brasil) menunggu 11 tahun sejak 2004, Daniel Enemuo (WN Nigeria) menunggu 11 tahun sejak 2004, dan Rani Andriani, WNI asal Cianjur, divonis mati oleh PN pada 2000 dan baru dieksekusi mati 15 tahun kemudian. Selain mereka, sudah cukup banyak terpidana mati yang menunggu bertahun-tahun lamanya (death row) sebelum akhirnya dieksekusi mati. Data sampai Maret 2013 menyebutkan, ada 111 terpidana mati di Indonesia, dua pertiganya karena kasus narkoba.

Cara mengeksekusi mati juga perlu dikaji kembali. Apakah masih tepat menggunakan tembakan (senjata api) oleh sekelompok regu tembak kepolisian yang bekerja berdasarkan UU No 2/ PNPS/ 1964 jo Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, ataukah ada cara lain yang lebih efektif dan meringankan penderitaan sang terpidana semisal suntikan mati, kursi listrik, kamar gas beracun, digantung, ataupun dipenggal kepalanya, misalnya? Negara-negara di dunia yang masih menerapkan pidana mati bervariasi dalam pilihan metode eksekusi ini. Maka, amat wajar apabila Indonesia meninjau kembali metode eksekusi mati, apalagi produk hukumnya sudah berusia lebih dari 50 tahun (UU No 2/ PNPS/ 1964).

Apabila permasalahan di atas tidak dituntaskan, ke depannya Indonesia akan terus mengalami kontroversi dan ‘perang urat saraf' yang akhirnya melebar tak lagi di ranah hukum, juga masuk ke wilayah sosial dan politik ini, baik datang dari dalam maupun luar negeri. Apalagi, di antara calon tereksekusi mati berikutnya adalah dua terpidana mati kasus Bali Nine, warga negara Australia, negara yang telah menghapuskan hukuman mati sejak 1985. 

Heru Susetyo

Staf Pengajar HAM dan Viktimologi FHUI, Alumnus PhD Human Rights & Peace Studies Mahidol University Thailand

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement