Kamis 22 Jan 2015 14:05 WIB

Pemegang Saham Parpol

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Lazimnya di perusahaan, pemegang saham (shareholder atau stockholder) adalah seseorang atau badan hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan. Pemegang saham adalah pemilik dari perusahaan tersebut.

 

Dalam konsep pemegang saham, perusahaan hanya memiliki tanggung jawab kepada para pemegang saham dan pemiliknya dan seharusnya bekerja demi keuntungan mereka. Pemegang saham juga diberikan hak khusus yang bergantung pada jenis saham, salah satunya adalah hak untuk memberikan suara (biasanya satu suara per saham yang dimiliki) dalam pemilihan dewan direksi.

 

Akan tetapi, dalam konteks partai politik (parpol), pemegang saham adalah tidak lazim. Celakanya, tidak sedikit parpol di Indonesia yang dikelola bak perusahaan oleh pemegang saham ini. Pemegang saham parpol biasanya dimiliki oleh satu atau segelintir orang, merasa sebagai pemilik parpol. Acap kali pemegang saham memaksakan parpol untuk diurus sesuai keinginannya, termasuk dalam pemilihan pengurus parpol. Hal inilah yang tampak berlaku dalam tubuh beberapa parpol kita. Sebut saja, misalnya, PDIP, Gerindra, Hanura, Demokrat, dan PAN.

 

Kuku pemegang saham di kelima parpol tersebut sangat kuat mencengkeram pengelolaan partai. Untuk hal-hal strategis, utamanya penempatan direksi (baca: pengurus partai) sangat ditentukan oleh pemegang saham. Bahkan, tidak jarang di antara pemegang saham itu menempatkan dirinya sendiri sebagai CEO (baca: ketua partai). Jadi, tidak heran kalau penentuan kader sebagai pengurus parpol di kelima partai itu harus melalui persetujuan Megawati, Prabowo Subianto, Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, ataupun Amien Rais. Sebab, merekalah pemegang sahamnya.

Khusus untuk nama pemegang saham yang disebut terakhir, kini sedang ramai dibincangkan publik. Seperti diketahui, PAN akan menyelenggarakan kongres pada pengujung Februari nanti di Bali. Salah satu agenda penting dalam kongres itu adalah pemilihan ketua umum yang baru. Sejauh ini, ada dua kandidat calon ketua umum yang digadang-gadang bakal bertarung memperebutkan kursi tertinggi di PAN, yaitu petahana Hatta Rajasa dan Ketua MPR Zulkifli Hasan.

 

Sebagian besar pengurus teras PAN di pusat maupun di daerah mendukung Hatta untuk kembali memimpin. Sementara, pengurus teras yang lain, dan didukung oleh pemegang saham Amien Rais, agaknya lebih condong memilih Zulkifli. Ketidakberpihakan Amien kepada Hatta terlihat dari beberapa kali pernyataannya yang meminta kepada para kader agar memahami bahwa jabatan ketua umum PAN hanya dijabat satu periode. Pada kesempatan yang lain, secara implisit Amien pun mendorong kader lain untuk memilih Zulkifli. Dukungan itu tidak mengherankan sebab Zulkifli adalah besan Amien Rais.

 

Peran Amien Rais memang selalu dominan dalam setiap kesempatan. Penentuan arah koalisi PAN sejak era presiden SBY sampai bergabungnya PAN ke dalam Koalisi Merah Putih, sangat ditentukan oleh manuver Amien. Terlebih lagi dalam penentuan ketua umum PAN, Amien Rais selalu mengendalikan. Terpilihnya Soetrisno Bachir dan Hatta sebagai ketua umum PAN, contohnya, sangat ditentukan oleh sosok Amien. Pada lima tahun yang lalu, publik juga masih ingat bagaimana seorang Dradjad H Wibowo terpaksa harus mengalah kepada Hatta karena Amien Rais lebih menginginkan Hatta yang menjadi ketua umum.

 

Hal ini agak berbeda dengan Partai Golkar. Di partai itu, hampir seluruh kader, terutama yang senior, menjadi pemegang saham partai sehingga pada saat penentuan ketua umum, semua kader dapat berperan penting. Saking banyaknya pemegang saham, dalam setiap musyawarah nasional (munas) berujung kisruh. Kader yang terpental membuat partai baru. Berita terakhir, Munas Partai Golkar melahirkan dua format kepengurusan, versi Munas Bali dengan ketua umumnya Aburizal Bakrie dan Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono.

Sejauh ini, partai yang pemegang sahamnya tunggal tampak relatif lebih adem ayem dalam setiap kontestasi reguler di internal partai. Tidak sama dengan parpol yang pemegang sahamnya banyak. Partai seperti itu terlihat lebih dinamis dan cenderung bergolak. Namun, fenomena pemegang saham tunggal dalam parpol sejatinya hanya akan merusak sistem kaderisasi dalam tubuh parpol, mengganggu ritme kaderisasi, dan tentu saja tidak sehat.

 

Pemegang saham masih diposisikan sebagai sosok istimewa di struktur parpol. Malah, pada batas tertentu, pemegang saham parpol "diberi" peluang melakukan intimidasi dan ancaman psikologis terhadap kader yang lain sehingga calon itu tidak berani muncul. Pemegang saham pun dapat memanipulasi demokrasi dengan mencalonkan kader tertentu yang menjadi pilihannya untuk bersaing pada pemilihan ketua umum.

 

Memang, tidak bisa dimungkiri saat ini sistem oligarki dalam parpol masih sangat kuat. Orang terkuat menjadi pemegang saham dari sebuah partai. Fenomena itu senyatanya semakin mengukuhkan tesis Herbert Feith (1962) yang menyatakan, elite parpol kita masih menjadi penentu kemajuan dan kemunduran demokrasi konstitusional Indonesia, serta menjembatani konflik di internal dan kepentingan ideologis antarmereka.

 

Kecanduan parpol terhadap pemegang saham masih menjadi fenomena. Parpol belum bisa menerapkan demokrasi di lingkungan internal. Ada stagnasi dalam rekrutmen dan kaderisasi partai yang berdasarkan prinsip meritokrasi. Jika ada kaderisasi di partai, umumnya dikuasai oleh jaringan oligarki. Parahnya, oligarki semakin diperkuat oleh kecenderungan parpol untuk memproduksi orang-orang yang hanya taat kepada pemegang saham parpol.

 

Padahal, dalam sistem parpol modern, seharusnya yang memiliki peran penting adalah konstituen dan seluruh kader tanpa terkecuali sehingga nepotisme politik dengan pemegang saham tidak boleh ada. Partai juga harus menyerahkan mekanisme kontestasi di internal parpol kepada seluruh kader. Sebisa mungkin, seleksi kader dapat juga melibatkan partisipasi publik sehingga siapa pun yang ikut proses itu tidak masalah asalkan mengikuti mekanisme yang ada. Bukan cuma ditentukan oleh pemegang saham.

Untuk itu, parpol harus jelas dan terbuka dalam rekrutmen kader partai. Parpol harus mendengar aspirasi konstituen dan mayoritas kadernya mengenai calon dari partai yang akan diajukan menjadi ketua umum dan pengurus parpol. Proses seleksi kader di internal partai harus selektif dengan kriteria memiliki integritas, kemampuan, dan keterpilihan. Jangan terjebak pada figur dan pengaruh pemegang saham semata.

Moh Ilham A Hamudy

Peneliti BPP Kementerian Dalam Negeri

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement