Jumat 02 Jan 2015 13:00 WIB

Mengenal Awan Cumulonimbus

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

Berita duka datang dari pesawat Air Asia bernomor penerbangan QZ8501 dengan rute Surabaya ke Singapura. Pesawat ini kehilangan kontak di sekitar Laut Jawa, di antara Belitung dan Kalimantan. Pesawat berpenumpang 155 dengan tujuh awak ini melakukan kontak terakhir dengan ATC Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 06.12 WIB.

Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di lokasi hilangnya pesawat Air Asia ditemukan awan cumulonimbus (Cb) yang sangat tebal mencapai 5-10 kilometer. Ini dikuatkan oleh hasil analisis cuaca Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Data analisis itu menjelaskan dinamika cuaca yang sangat aktif, adanya awan cumulonimbus disertai tiupan angin yang sangat kencang di sekitar lokasi.

Keberadaan awan Cb sering dianggap sebagai momok, khususnya bagi kalangan penerbangan. Awan Cb kerap kali diasosiasikan dengan cuaca buruk yang membahayakan manusia. Seperti apakah cuaca buruk yang terjadi bersamaan dengan pembentukan awan ini?  Untuk mengetahuinya ada baiknya bila kita mengenal awan satu ini lebih dalam.

Awan cumulonimbus merupakan jenis awan konvektif, yaitu awan yang mampu tumbuh menjulang sangat tinggi hingga mencapai puncak lebih dari 23 km. Awan ini terbentuk dari ketidakstabilan atmosfer akibat pemanasan yang tidak merata sehingga udara dingin dan panas bersinggungan yang menyebabkan udara panas didesak naik oleh udara dingin dan akan menghasilkan turbulensi (persebaran panas yang tidak teratur). Awan ini dapat terbentuk sendiri maupun berkelompok atau di sepanjang front dingin di garis squall.

Awan Cb memiliki ciri khas yang berbeda dari awan lain, yaitu memiliki puncak yang menyerupai jamur atau berbentuk seperti landasan pesawat (anvil dome). Awan ini berwarna gelap, padat, dan pertumbuhannya terjadi secara vertikal hingga mencapai ketinggian 23 ribu meter (39 ribu feet).

Sifat fisis awan Cb adalah pada bagian bawah terdiri dari tetes air. Sedangkan, di atas ketinggian 10 km terdiri dari kristal/butir salju yang dapat menimbulkan hujan es/rambun pada kondisi tertentu. Awan Cb memiliki julukan sebagai baterai raksasa karena memiliki muatan ion positif dan negatif yang dalam suatu kondisi tertentu dapat dilepas dalam bentuk petir, guntur, maupun kilat.

Ternyata Cb bisa terbentuk bila didukung beberapa kondisi atmosfer, yaitu udara yang terasa panas, kelembaban udara yang tinggi sehingga kecepatan angin meningkat hingga 10 knot serta kondisi atmosfer tidak stabil: tidak ada inversi suhu (suhu udara bertambah tinggi seiring kenaikan ketinggian). Di langit tampak ada pertumbuhan awan cumulus/ (awan putih bergerombol yang berlapis-lapis). Awan cumulonimbus bisa muncul di mana saja karena pemanasan matahari atau gerak vertikal, di tanah lapang atau tempat terbuka dengan panas matahari berlebih sehingga dalam kondisi ini tekanan rendah terjadi dan akan terjadi perpindahan sejumlah massa udara ke tempat yang bertekanan rendah itu.

Awan Cb adalah salah satu momok dalam penerbangan. Penyebabnya tak lain karena terjadinya cuaca buruk menyertai pembentukan awan Cb. Ini terjadi karena bersamaan dengan terjadinya awan Cb menyebabkan turbulensi. Turbulensi disebabkan perbedaan suhu puncak dengan dasar awan. Akibat turbulensi udara menjadi tak stabil.

Awan Cb mampu menghasilkan hujan dari intensitas sedang hingga lebat yang menyebabkan menurunnya jarak pandang mendatar (visibility). Awan Cb juga mampu menyebabkan kilat, badai guntur, halilintar yang membahayakan. Bagi pilot, cahaya kilat mampu menyebabkan kebutaan temporal, kompas tidak bekerja baik, hingga kerusakan badan pesawat.

Selain bahaya yang ditimbulkan dari muatan awan Cb, arus udara di sekeliling Cb juga berbahaya. Awan raksasa ini mampu menimbulkan microbrust, yaitu arus turun dari awan yang juga bergerak ke luar sebagai efek benturan dengan permukaan. Kecepatan horizontal microbrust mencapai 50 knot.

Udara di sekitar Cb menjadi labil sehingga dapat terjadi arus udara naik (updraft) yang kuat, perubahan kecepatan angin secara tiba-tiba (windshear) yang bisa mencapai 25 knot, dan juga hail (hujan es). Bila suatu pesawat take off dan terjadi windshear, barang di pesawat dapat terlempar dan melukai penumpang maupun awak pesawat. Sedangkan, bila pesawat melakukan take off ataupun landing terkena updraft ataupun downdraft (arus turun) yang kuat dari awan Cb, keseimbangan pesawat akan terganggu dan dapat membahayakan penerbangan.

Fenomena atmosfer lain yang membahayakan akibat awan Cb adalah hail (hujan es). Hail bisa merusak benda yang terkena jatuhan es yang cukup besar dari awan Cb. Dalam penerbangan, hail dapat menyebabkan kerusakan pada badan luar pesawat. Hail yang paling merusak berasal dari awan Cb yang mencapai ketinggian 45 ribu feet atau setara 15 km. Awan Cb bahkan mampu menghasilkan angin yang sangat kencang yang mampu merusak bangunan seperti tornado atau waterspout (tornado di laut).

Karena membahayakan bagi keselamatan masyarakat, khususnya transportasi udara, laut ataupun darat, maka keberadaan awan Cb harus dilaporkan oleh seorang pengamat meteorologi. Untuk dapat melaporkan awan Cb, seorang pengamat meteorologi harus mampu mengenali dan membedakan awan Cb dengan awan lainnya.

Ada beberapa cara yang digunakan seorang pengamat meteorologi untuk mengenali awan Cb, yaitu menggunakan indra atau instrumen. Dengan menggunakan indra, seorang pengamat meteorologi dan geofisika dituntut mampu membedakan awan Cb di antara awan rendah lain. Caranya dengan memperhatikan timbulnya fenomena seperti kilat, petir, maupun guntur.

Namun, sayangnya keberadaan awan Cb sering kali tidak teramati karena awan Cb agak susah dibedakan dengan awan lain, apalagi bila langit dalam kondisi mendung. Untuk mempermudah mendeteksi keberadaan awan Cb, BMKG memiliki instrumen radar cuaca, satelit, juga lightning detector. Pada radar cuaca awan Cb dapat ditandai dengan warna merah tebal, pada satelit awan Cb dikenali dengan warna putih tebal.

Lightning detector mampu mengenali awan Cb dengan cara mendeteksi guntur yang terjadi. Dengan alat tersebut diharapkan dapat meningkatkan keterjaminan data oleh pengamat meteorologi dan geofisika. Namun, belum semua stasiun pengamatan memiliki alat tersebut. Di beberapa stasiun pengamatan khususnya stasiun pengamatan yang juga bertanggung jawab memberi data penerbangan yang masih belum memiliki alat pendeteksi awan Cb, pengamat harus menggunakan indra untuk mendeteksi awan Cb.

Ke depannya sangat diharapkan instrumen tersebut dapat segera dipasang di daerah yang belum memiliki. Kualitas data yang diberikan menjadi lebih baik untuk menunjang keselamatan banyak orang. n

Lavia Farareta Aiqiu

Pengamat Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Kasiguncu Poso

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement