Selasa 30 Dec 2014 13:00 WIB

Mencermati Kebijakan BBM 2015

Red:

Pemerintah yang baru berumur tiga bulan ini sudah cetak rekor. Dalam dua bulan, kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) warisan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mereka rombak secara fundamental. Setelah menaikkan harga BBM bersubsidi jenis Premium dan solar pada pertengahan November, pemerintah ingin tahun depan harga bensin tidak lagi disubsidi dan impor BBM jenis RON 88 diganti RON 92.

Ada dua opsi untuk melepas harga bensin ini. Pertama, harganya dilepas total mengikuti harga pasar laiknya Pertamax dan Pertamax Plus. Kedua, pemerintah akan memberi subsidi tetap berdasarkan jangka waktu di kedua komoditas itu. Sinyal melepas harga bensin ke harga pasar makin kuat dan publik akan melihatnya dalam waktu satu-dua hari ini.

Pada Senin (29/12), Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, akan ada kebijakan baru BBM pada awal tahun. Namun, Sofyan enggan memerinci pernyataan ini lebih lanjut.

Bila benar, berarti rakyat Indonesia akan menikmati harga BBM yang lebih rendah dari saat ini pada tahun baru. Sekarang harga Premium Rp 8.500 per liter dan solar Rp 7.500 per liter. Lebih rendah karena dalam dua bulan terakhir tren harga minyak dunia cenderung turun dan stabil di bawah 70 dolar AS per barel.

Data Bloomberg memperlihatkan minyak mentah jenis west texas intermediate (WTI) untuk kontrak 15 Februari 2015 ada di level 55 dolar AS per barel. Kontrak periode yang sama untuk minyak mentah jenis brent di posisi 59,96 dolar AS per barel. Dua harga ini jauh di bawah asumsi harga minyak dalam APBN Perubahan 2015, yaitu 105 dolar AS per barel.

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla bisa dibilang beruntung. Mereka mengubah kebijakan BBM ini pada saat harga minyak dunia sedang turun ke level terendahnya. Manuver kebijakan bisa diarahkan ke berbagai skenario dengan lebih lentur karena harga di masyarakat sekarang sudah lebih tinggi dari harga pasar.

Secara psikologis, konsumen tentu akan lebih senang kalau berubah jadi lebih murah. Lain hal bila harga minyak mentah internasional masih tinggi, manuver kebijakan BBM bersubsidi tidak akan selincah sekarang. Malah, konsumen harus siap ada kenaikan harga Premium dan solar lagi.

Namun, masalahnya tidak sesederhana itu di lapangan. Di satu sisi, konsumen menyambut baik bila ada penurunan harga Premium dan solar. Di sisi lain, pebisnis stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) lokal sedang harap-harap cemas. Mereka khawatir keistimewaan selama ini, yaitu selisih harga Premium dengan Pertamax dan Pertamax plus yang cukup jauh, akan pupus. Menyamakan harga Premium ke harga pasar berarti persaingan terbuka antara SPBU lokal dan SPBU asing.

Apalagi, kebijakan pelepasan harga Premium ini menyusul permintaan Ketua Komite Reformasi Migas Faisal Basri yang ingin Pertamina menghentikan impor RON 88 dan menggantinya dengan RON 92. Itu artinya Pertamina hanya akan memasukkan Pertamax ke dalam tangki BBM di SPBU.

Dengan harga sekarang, selisih Rp 1.500 per liter antara Premium dan Pertamax, SPBU asing sudah meraup rezeki. Konsumen SPBU lokal berduyun-duyun pindah ke SPBU asing. Tidak sekadar melihat harga BBM, tapi juga faktor keramahan, kerapian, dan kebersihan karyawan SPBU asing yang tidak mereka rasakan di SPBU lokal.

Itu mengapa akhir pekan lalu, Hiswana Migas sudah mewanti-wanti dampak liberalisasi harga Premium dan solar ini. Menurut mereka, ada 5.300 SPBU lokal yang terancam kehilangan pelanggan karena pelepasan harga Premium cenderung menguntungkan SPBU asing. Liberalisasi menjadi sosok yang mereka khawatirkan.

Tentu, kita menyambut baik bila benar ada kebijakan yang menguntungkan rakyat, terutama rakyat kecil. Menurunkan harga BBM bersubsidi adalah salah satunya. Namun, pemerintah juga harus mendengar suara pengusaha SPBU lokal dan mengkaji apakah kekhawatiran mereka beralasan atau sekadar enggan bertransformasi lebih baik melawan SPBU asing.

Pemerintah harus benar-benar menghitung dampak pelepasan harga BBM bersubsidi ke harga pasar. Harga minyak mentah penuh ketidakpastian meski faktor fundamental permintaan dan pasokan bisa dicermati. Namun, faktor psikologis yang lain bisa sangat berpengaruh. Bagaimana bila harga minyak mentah kembali di atas 80 dolar AS per barel?

Kalau itu yang terjadi, harga Premium bisa jadi melewati Rp 10 ribu per liter. Kenaikan harga barang dan jasa akan meroket dan ini sangat rentan dampaknya ke kelompok masyarakat menengah ke bawah. Siapkah pemerintah? 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement