Sabtu 20 Dec 2014 00:52 WIB

Bencana dan Bahaya Politik

Red:

Longsor di Banjarnegara yang menewaskan puluhan orang merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang saat ini kebetulan masih merayakan bulan madu politiknya bersama rakyat. Masifnya bencana belakangan ini, berpotensi memecah fokus kebijakan Presiden pada problem sosial tak terduga terkait pembiayaan rehabilitasi sosial pascabencana yang memakan biaya tak sedikit. Ini bisa saja ‘mengganggu’ struktur anggaran pemerintah untuk mengeksekusi dan membiayai berbagai program unggulan Jokowi seperti yang pernah dijanjikannya pada pemilu kemarin.

Jika ini terjadi, tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah akan mengalami penurunan. Apalagi, menurut the Media Center, Amerika Serikat, enam persen rakyat Indonesia pada dasarnya lebih memilih untuk percaya media daripada pemerintah. Hal serupa pernah juga terjadi di Rusia. Ketika kekeringan menghancurkan 40 persen panen gandumnya, Rusia mengambil keputusan melarang ekspor gandum mereka, padahal sebelumnya Rusia telah menandatangani kontrak gandum dengan Mesir. Akibatnya, harga gandum meroket 50-70 persen sepanjang 2010 sehingga popularitas pemerintah pun mengalami anjlok.

Meski demikian, orientasi utama Presiden tentu saja bukan mencari popularitas, melainkan menciptakan katup pengaman kebijakan yang memiliki nilai investasi dan promosi sosial-ekonomi bagi kontinuitas pemenuhan harkat, martabat seluruh rakyat. Pemimpin yang taat pada sumpah dan konstitusi untuk memaslahatkan banyak orang akan selalu menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah (incumbency obligation) di atas kepentingan posisi dan jabatan, bahkan konstituen sekalipun (Kumorotomo, 2013).

Inisiatif presiden mengumumkan sendiri kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) kemarin mungkin bisa menjadi tradisi baru bahwa pemimpin harus mengambil risiko tidak populer demi keselamatan kepentingan generasi yang akan datang. Inilah cermin pemahaman akan etika kepunahan (Robin Attfield, The Ethics of The Global Environment, 1999) bahwa semua kekayaan alam di perut bumi pasti punah jika dieksploitasi terus-menerus tanpa disertai perencanaan kebijakan alternatif dan regeneratif. Namun, jika sikap kebijakan tersebut tak disertai dengan kebijakan konversi energi yang hemat dan ramah lingkungan, termasuk melakukan pemberantasan mafia migas, kebijakan menaikkan harga BBM tak akan ada gunanya alias menjadi pisau panas bagi pemerintahan Jokowi.

Selain itu, hal yang tak kalah pentingnya, ketidakmampuan dalam mengantisipasi bencana juga bisa berdampak pada kestabilan politik. Di Indonesia, kisruh politik 1998 bukankah juga diawali dengan krisis lingkungan. Tahun 1997-1998, kebakaran hutan dan lahan paling besar sepanjang sejarah Indonesia yang terjadi di hampir seluruh pulau besar.

Di Kalimantan kebakaran menghanguskan 6,5 juta hektare, Sumatra (1,7 juta hektare), Jawa (100 ribu hektare), Sulawesi (401 ribu hektare), dan Irian Jaya (1 juta hektare lebih) dengan total keseluruhan area terbakar adalah 9,7 juta hektare (Bappenas, 2011). Ratusan ribu hektare sawah produktif di Jawa mengalami fuso, mengakibatkan harga bahan pokok selangit yang memaksa pemerintah mengimpor enam juta ton beras pada 1998. Beras pun raib sekejap di pasaran karena dibeli dan ditimbun oleh orang-orang kaya dan kelas menengah, ditambah lagi melemahnya nilai tukar rupiah sehingga kemudian pecahlah krisis politik.

Bencana harus mengasah ketajaman politik ekologis pemerintah agar cermat dan sigap membangun sistem peringatan dini serta kebijakan-kebijakan penyelamatan ekologis jangka panjang yang berpihak pada keselamatan bersama. Roh etika utilitarisme yang mengajarkan mendedikasi sebuah tindakan baik untuk kemanfaatan bersama harus menjadi basis politik negara untuk memuliakan bumi yang ditempati dengan perilaku dan karya nyata. Karenanya, negara perlu hadir 24 jam ketika rakyatnya dirundung duka bencana. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics-nya pernah menegaskan bahwa kepentingan bersama merupakan prinsip dasar etika politik sebuah negara.

Sudah lama pula pentas kekuasaan kita mengalami longsor etika dan moralitas sehingga yang tercipta hanyalah penumpukan ego, individualisme, hasrat memiliki berlebih yang merusak kemesraan hubungan rakyat dengan pemerintah, juga rakyat, pemerintah dengan bumi atau lingkungan. Karena itu, politik perebutan kekuasaan yang mendemarkasi kehendak rakyat dari kehendak sekelompok elitis seperti yang terjadi di Senayan akhir-akhir ini sudah saatnya dihentikan agar kesinambungan batin para penguasa dan rakyat benar-benar (genuin) bersemi kembali, khususnya di lokasi-lokasi perkabungan bencana. n

Umbu TW Pariangu

Dosen Fisipol Undana, Kupang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement