Rabu 17 Dec 2014 16:00 WIB

Negeri Serbatandingan

Red:

Nasib Partai Golkar yang terbelah makin tak terbantahkan. Pada Senin (15/12), Menkumham membuat surat penjelasan. Ini merupakan jawaban atas permohonan dua kepengurusan partai beringin itu, pada Senin (8/12), untuk dicatat di Kemenkumham. Pemerintah tak bisa memenuhi permohonan mereka sampai dualisme kepengurusan berakhir, sesuai mekanisme internal partai atau melalui penetapan pengadilan.

Lahirnya kepengurusan tandingan ini merupakan kecenderungan baru di era reformasi pasca-Pemilihan Presiden 2014. Sebelum ini lahir dualisme di PPP, bahkan dualisme di DPR. Semua itu merupakan bagian dari rangkaian dampak keras persaingan pada masa pemilihan presiden lalu. Pemilihan presiden yang lalu membuat Indonesia terbelah dua. Perkubuan yang tercipta telah membelah bangsa ini dalam dua kelompok pendukung yang memang memiliki genealogi yang relatif berjarak dalam sejarah politik Indonesia.

Seolah membuka luka lama. Ada nuansa agama, ada persaingan subkultur, ada bumbu persaingan ras, dan juga persaingan kelompok ekonomi. Tak heran jika pertarungannya demikian keras dan panas. Namun, kematangan bangsa ini serta sistem dan nilai-nilai demokrasi yang relatif sudah berakar membuat semuanya bisa kita lalui dengan baik. Apakah kemudian berhenti? Tidak.

Setelah pemilihan presiden, perkubuan berlanjut di parlemen. Ini melanjutkan dua koalisi sebelumnya: Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Perbedaan perolehan suara pilpres yang tipis—53 persen berbanding 47 persen—membuat oposisi memiliki rasa percaya diri. Di parlemen oposisi menjadi mayoritas karena menguasai 63 persen suara. KMP menguasai struktur pimpinan di DPR maupun MPR. KIH ingin mendapat bagian di pimpinan komisi di DPR. Merasa tak terakomodasi, KIH membentuk struktur pimpinan DPR tersendiri.

Pada sisi lain, ada faksi-faksi di PPP dan Partai Golkar—yang saat pemilihan presiden berada di KMP—yang ingin bergabung dengan pemerintah. Tiap-tiap kubu memanfaatkan momentum Muktamar PPP dan Munas Golkar. Ada yang kalah dan ada yang menang. Terlepas dari perdebatan soal konstitusi partai, yang kalah membentuk kepengurusan tersendiri. Di sisi yang lain lagi, kendati awalnya Presiden Jokowi ingin membentuk koalisi ramping, belakangan ingin koalisi pendukung pemerintah bisa 60, 70, bahkan 80 persen. Suatu pilihan rasional. Namun, itu telah menjadi daya untuk menyempurnakan kelanjutan pertarungan.

Seorang pemikir abad ke-19 pernah berujar, "Sebenarnya sejarah itu tidak ada, yang ada adalah biografi." Sang pemikir, Ralph Waldo Emerson, tak sedang menafikan berbagai kekuatan dan faktor-faktor yang membuat suatu peristiwa terjadi. Ia hanya sedang menekankan, pada akhirnya, suatu peristiwa terjadi karena ada yang melaksanakannya. Secara ekstrem, jika sekumpulan biografi itu disatukan dalam satu perspektif, jadilah sebuah sejarah, termasuk sejarah suatu bangsa.

Lahirnya dualisme ini menimbulkan kebuntuan. Presiden melarang menteri hadir di DPR. DPR tak mau memasang foto presiden. Karena itu, ini bukan sekadar kekuatan dan faktor-faktor pembentuk peristiwa. Di baliknya adalah para aktor di KMP dan KIH. Suatu aksi pasti ada reaksi, atau suatu reaksi pasti didahului aksi. Kita bisa menilai aktor macam apa yang sedang melakukan peran sejarah tersebut. Biografi macam apa yang sedang ditorehkan mereka.

Politik bukan hanya soal prosedur, sistem, dan proses. Politik juga nilai-nilai dan visi. Apa yang mereka pertontonkan masih dalam derajat demokrasi prosedural. Demokrasi tanpa kedalaman. Negeri ini tak bisa disandera seperti itu. Kita berharap pada Januari 2015 sudah ada solusi dari kebuntuan ini. Harus ada kerelaan dari yang kalah untuk menerima kekalahan dan ada kesediaan dari pemenang untuk dikontrol dengan ketat.

Oposisi menguasai parlemen bukanlah hal baru di dunia. Kenyataan ini jangan digunakan oposisi untuk menggulingkan pemerintah ataupun menjegal program pemerintah. Yang diperlukan adalah kesepahaman terhadap visi masa depan bangsa dan negara ini. Mereka bisa duduk bersama soal ini. Perlu ada konsensus bersama. Tak perlu formal.

Hubungan pemerintah dan DPR bukan semata APBN, tapi juga penentuan komisioner, kepala Polri, panglima TNI, duta besar, dan sebagainya. Jika politik tandingan menjadi mode, negara ini berada dalam kebuntuan yang akut. Politik adu kuat bukanlah rumus kehidupan demokrasi yang sehat. Itu justru pertanda demokrasi yang sakit.

Para aktor di KMP dan KIH tentu tak ingin mencatatkan biografi demokrasi Indonesia yang dinisbahkan pada keaktoran mereka. Mereka harus merujuk pada sejarah emas para founding fathers dalam mengurai perbedaan, bukan pada sejarah kelamnya. Kemajuan suatu bangsa tergapai karena berpatokan pada puncak-puncak capaian yang telah diraih. Mulailah dengan mengakhiri dualisme di DPR. Dari sini, persoalan di PPP dan Partai Golkar akan terselesaikan dengan sendirinya. Tentu akan tetap ada residu, tapi itu biasa. Karena, demokrasi memang memiliki sisi gelapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement