Senin 29 Sep 2014 13:00 WIB

Kilang Minyak dan Efisiensi Energi

Red:

Menghadapi masalah bahan bakar minyak (BBM) yang terus membebani perekonomian, pemerintahan baru berencana membangun kilang minyak dengan kapasitas 300 ribu sampai 500 ribu di Indonesia timur. Pembangunan ini kelanjutan dari rencana pemerintah sebelumnya. Pembangunan kilang itu untuk menjaga stok dan menghindari disparitas harga antara Indonesia barat dan Indonesia timur serta mengatasi beban impor BBM.

Pembangunan kilang minyak merupakan langkah strategis menekan impor BBM. Indonesia diperkirakan butuh minimal dua kilang minyak baru untuk mengatasi defisit BBM sebesar 608 ribu barel per hari (bph).

Kapasitas kilang Indonesia saat ini 1,157 juta bph. Sedangkan, produksi minyak Indonesia yang dapat diolah di kilang dalam negeri hanya 649 ribu bph. Di sisi lain, kebutuhan BBM dalam negeri mencapai 1,257 juta bph.

Untuk 2015, kapasitas kilang Indonesia diperkirakan 1,167 juta bph, produksi minyak yang bisa diolah 719 ribu bph. Kebutuhan BBM diperkirakan 1,359 juta bph sehingga terjadi defisit 640 ribu bph.

Menurut perkiraan ESDM, pada 2025 kapasitas kilang diperkirakan 2,067 juta bph, produksi minyak yang dapat diolah sekitar 1,384 juta barel, konsumsi BBM 2,012 juta barel, dan defisit 628 juta bph.

Jika pembangunan kilang dalam pemerintahan Jokowi selesai, sehingga total produksi dalam negeri dari 719 ribu bph saat ini, ditambah hasil dari kilang baru 500 ribu bph, total menjadi 1,216 juta bph. Pembangunan kilang minyak memerlukan waktu tiga sampai empat tahun. Pertanyaannya, apakah kebutuhan BBM kita akan tetap 1,359 juta bph?

Jika pemerintah masih menetapkan harga BBM pada level sekarang, masih belum tentu dapat mengurangi kuota dan beban subsidi BBM karena ada pertambahan kendaraan terus setiap hari. Berdasarkan data BPS dan Gaikindo di Jakarta untuk mobil meningkat setiap harinya 500 kendaraan dan sepeda motor 1.500 unit per hari.

Subsidi BBM dalam 10 tahun terakhir meningkat tajam. Pada 2003 subsidi BBM Rp 80 triliun dan meningkat tajam menjadi Rp 350 triliun pada 2014. Berarti, ada peningkatan 4,375 kali. Ini terjadi karena makin banyaknya populasi sepeda motor dan kendaraan roda empat yang didorong pertumbuhan ekonomi yang terus membaik.

Jika diproyesikan pertumbuhan ekonomi rata rata lima sampai enam persen per tahun selama 2014-2019, niscaya populasi kendaraan meningkat tajam dan konsumsi BBM bisa naik luar biasa dari sebelumnya 1,359 juta bph.

Cadangan minyak kita kurang lebih tinggal 10 tahun. Gas masih lebih baik, kurang lebih 27 tahun, dan cadangan batu bara kurang lebih 57 tahun. Hingga Juli ini, produksi minyak rata-rata 788 ribu bph dan dalam RAPBN 2015 lifting minyak mentah diperkirakan 845 ribu bph serta lifting gas bumi 1.248 ribu barel setara minyak per hari.

Jika konsumsi BBM terus meningkat dan produksi minyak tidak meningkat atau tidak ditemukan sumur baru, perekonomian kita akan dibebani defisit minyak sekaligus defisit BBM. Padaha,l kuota BBM bersubsidi naik terus, impor minyak juga meningkat sehingga mendorong defisit perdagangan barang (trade account) dan defisit akun lancar (current account) yang berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.

Harapan akan adanya investasi baru dalam sektor kilang akan mendorong tumbuhnya industri petrokimia. Menteri Perindustrian MS Hidayat memperkirakan, masuknya investasi pengilangan akan diikuti terbangunnya 15-20 perusahaan hilir petrokimia. Belum lagi, dampaknya terhadap serapan tenaga kerja dari sisi produksi maupun hilir.

Kita sadari, investasi kilang membutuhkan biaya besar. Di sisi lain, margin keuntungan dari bisnis ini tidak terlalu besar. Ada pula keharusan menyuplai produk BBM 300 ribu ton per hari selama 30 tahun.

Aspek ekonomi proyek memang menjadi faktor penting proyek kilang ini. Banyak investor urung merealisasikan minat karena proyek ini tidak mempunyai insentif. Perlu dikaji pemerintah untuk memberikan keringanan pajak (tax holiday) atau pembebasan pajak lebih besar. Tentu saja, potensi kehilangan mendapatkan penerimaan pajak penghasilan harus dikompensasikan dengan manfaat ekonomi dari investasi kilang ini.

Persoalan lain pembangunan kilang adalah bahan baku kilang (minyak mentah) yang sebagian besar juga diimpor. Meski penghasil minyak, tapi kita sudah net importir karena produksi yang diekspor jauh lebih sedikit daripada yang kita impor (baik minyak mentah maupun BBM).

Efisiensi energi

Indonesia perlu peningkatkan efisiensi energi karena dapat meningkatkan keamanan dan kemandirian energi serta mengurangi impor BBM. Indonesia kaya akan sumber daya energi terbarukan maupun energi alternatif, selain sumber energi yang sudah banyak kita olah, seperti batu bara, gas, panas bumi, air, dan biofuel.

Konsumsi energi BBM di Indonesia mengalami pemborosan (inefisiensi) khususnya, untuk pergerakan transportasi dan industri karena disubsidi sehingga mendorong konsumsi. Padahal, BBM termasuk sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan akan habis jika terus dieksploitasi dan bisa mengancam ketahanan energi.

Ada kesenjangan pemakaian BBM, antara Jawa dan luar Jawa, antara perdesaan dan perkotaan. Pemakaian energi di perkotaan cenderung tidak efisien karena dipakai untuk transportasi, bukan kegiatan produktif seperti industri. Pemborosan energi di perkotaan dan Jawa pada umumnya karena buruknya sistem transportasi publik yang baik.

Bisa jadi, energi bukanlah komoditas elastis yang tingkat konsumsinya turun drastis ketika harganya naik. Artinya, meski harga BBM naik terus, ternyata konsumsi BBM juga tetap naik. Terbukti, setiap pemerintahan menaikkan harga BBM, tapi konsumsi BBM naik terus.

Hal ini yang perlu dipikirkan pemerintahan baru mendatang. Meski, ada rencana menaikkan harga BBM, tapi itu belum tentu menurunkan konsumsi BBM. Menaikkan harga BBM hanya dapat mengurangi beban subsidi dalam anggaran, tidak memutus lingkaran masalah dalam sektor energi.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement