Selasa 16 Sep 2014 16:00 WIB

Quo Vadis Kementerian Dikti?

Red:

Belum lama ini, Wakil Presiden RI terpilih Jusuf Kalla (JK) melontarkan gagasan menarik. Di hadapan civitas akademika Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta, Rabu (3/9), ia menyampaikan gagasannya tentang pemisahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menjadi dua kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset. Apa hal menarik dari gagasan tersebut?

Saya mencatat tiga hal. Pertama, pemisahan Kemdikbud menjadi dua kementerian, seperti halnya kementerian bidang serupa di luar negeri, seperti di Malaysia. Di Malaysia, terdapat dua kementerian, yaitu Kementerian Pelajaran Malaysia (KPM) dan Kementerian Pengajian Tinggi Malaysia (KPTM). Kementerian yang pertama berfokus ke pendidikan dasar dan menengah, sedangkan kementerian kedua pendidikan tinggi.

Singkat kata, bidang pendidikan tinggi di Malaysia diurus kementerian yang memiliki anggaran memadai untuk riset dan publikasi internasional. Alhasil, sejumlah universitas di Malaysia menduduki posisi terpenting dalam sejumlah survei publikasi internasional. Cukup banyak putra-putri kita yang melanjutkan studi lanjut (S-2/S-3) ke sana, salah satu alasannya karena bidang risetnya setara dengan negara maju.

Namun, gagasan pemisahan Kemdikbud menjadi dua kementerian diharapkan tak hanya persoalan ganti nama atau ikut-ikutan kementerian serupa di luar negeri. Secara pribadi, saya mendukung pemisahan tersebut mengingat beban kerja Kemdikbud terlalu besar. Bayangkan, seorang Mendikbud saat ini harus mengurus berbagai persoalan dan kebijakan pendidikan, dari tingkat dasar hingga tinggi.

Becermin dari KPTM, saya usul agar Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset (KPTR) kita nanti juga diberi kewenangan dan anggaran memadai guna meningkatkan kualitas perguruan tinggi (PT). Para dosennya juga aktif didorong untuk melakukan riset dan publikasi internasional bersama dosen universitas di luar negeri. Bahkan, jika perlu profesor dari luar negeri ditarik menjadi pengajar tamu di PT kita.

Kedua, terkait poin pertama, KPTR perlu melakukan pengelompokan PT di Tanah Air. Tahun 2007, Dikti telah merilis 50 Promising Indonesian Universities. Melalui rilis tersebut, Dikti mengelompokkan 50 universitas di Indonesia yang terkategorikan "terbaik". Bagi kalangan PTS, rilis 50 Promising Indonesian Universities tidak berpengaruh apa-apa mengingat Dikti tidak memiliki ikhtiar yang memadai setelahnya.

Untuk hal yang satu ini, kita perlu belajar dari Cina. Pada 1998, Biro Pelayanan Pendidikan Rakyat Cina mendanai 39 universitas melalui "Proyek 985". Dari program tersebut, akhirnya Peking University dan Tsinghua University berhasil menjadi universitas kelas dunia, dan sejumlah universitas di Cina banyak diincar mahasiswa luar negeri, termasuk dari Indonesia, guna menempuh studi S-1, S-2, dan S-3.

Selanjutnya, melalui "Proyek 211" Pemerintah Cina kembali membangun sekitar 100 universitas utama (key university) dan 1.000 disiplin ilmu utama (key diciplines) dari 1.700 universitas yang terdapat di sana. Inilah kunci keberhasilan PT di Cina di kemudian hari, dan inilah pula yang patut ditiru oleh KPTR kita nanti. Jadi, usul saya, pengelompokan PT di Tanah Air merupakan keniscayaan yang sifatnya mendesak.

Sebagai contoh, kita perlu pengelompokan PT sesuai bidang keilmuan, seperti pertanian, infrastruktur dan teknologi, serta pendidikan. Setelah itu, KPTR dapat menyediakan anggaran riset dan publikasi internasional bagi tiap-tiap kelompok PT tersebut. Institut Pertanian Bogor (IPB), misalnya, yang dipandang memiliki kapasitas dalam pengembangan bidang pertanian dapat didorong untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Tanah Air seperti visi-misi politik Jokowi-JK.

Evaluasi ulang kebijakan

Ketiga, perlu evaluasi ulang terhadap sejumlah kebijakan pendidikan tinggi di Tanah Air, salah satunya pengurusan jabatan akademik dosen oleh Dikti. Bagi kalangan PTS, pengangkatan jabatan akademik terendah dosen (baca: asisten ahli/AA) cukup rumit. Selain harus memenuhi ketiga poin Tri Darma PT (pengajaran, riset/publikasi, dan pengabdian), dosen bersangkutan juga harus memiliki NIDN, yang berada di dalam kewenangan Dikti.

Ironisnya, Dikti sering terlambat --untuk tidak menyebut menunda-nunda-- dalam merespons pengajuan NIDN dari PTS. Di sisi lain, PTS sangat memerlukan dosen berjabatan akademik (minimal AA) guna meningkatkan skor/nilai akreditasi, baik tingkat universitas maupun program studi (prodi). Jangankan mengangkat dosen berjabatan guru besar, PTS tak kuasa penuh untuk mengangkat dosennya sendiri untuk berjabatan akademik AA.

Kebijakan lainnya yang juga perlu dievaluasi ulang ialah kewajiban dosen mengisi Sistem Informasi Pengembangan Karier Dosen (SIPKD), Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) sebagai laporan semesteran, dan laporan kinerja dosen. Kewajiban yang bersifat administratif itu dianggap terlalu berlebihan dan mengunci gerak lincah PT dalam berkiprah dan berinovasi. Alhasil, dosen lebih sibuk urusan administrasi ketimbang riset.

Akhir kata, pemisahan Kemdikbud menjadi dua kementerian, salah satunya KPTR perlu diapresiasi sekaligus diberikan catatan khusus. Paling tidak, ada dua hal yang perlu dilakukan sesegera mungkin, yaitu melakukan pengelompokan PT dan mengevaluasi kebijakan yang sifatnya administratif belaka. Semoga masukan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terkait. Quo vadis Kementerian Dikti?

Sudaryanto

Dosen PBSI UAD, Pengajar Tamu di Guangxi University for Nationalities dan Xiangsihu College, Nanning, Cina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement