Senin 15 Sep 2014 12:56 WIB

Pilkada dan Makna Demokratis

Red:

Sebelum terselenggaranya Pilpres 9 Juli 2014, pembahasan RUU Pemilukada mengarah pada keinginan untuk mempertahankan pilkada kabupaten/kota dipilih secara langsung. Namun kini yang berkembang di DPR periode 2009-2014 pada masa akhir jabatannya adalah pilkada dilakukan oleh DPRD. Perubahan arah ini tentu sangat mengejutkan bagi pegiat demokrasi dan bagi perkembangan demokrasi di Tanah Air.

Mesti dipahami bahwa penyelenggaraan pemilukada berdasarkan pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, "Gubernur, Bupati, Wali Kota dipilih secara demokratis." Terhadap ketentuan ini kemudian di-breakdown ke dalam UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menjadi "Pemilihan kepala daerah yang kemudian disebut gubernur, bupati, dan wali kota sepenuhnya menjadi kewenangan DPRD. Pemerintah pusat hanya melantik dan mengesahkan hasil pemilihan kepala daerah yang sepenuhnya dilakukan oleh DPRD".

Berdasarkan UU No 22 Tahun 1999, sesungguhnya telah terjadi kemajuan dalam hal pemilihan kepala daerah yang semula sentralistik menjadi desentralisasi oleh DPRD. Namun, pergeseran dari sentralistik ke desentralisasi ini belum memberikan jaminan bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah akan berjalan lebih baik. Justru berdasarkan UU ini, pelaksanaan pilkada banyak masalah serius, antara lain, distorsi antara siapa yang diinginkan rakyat dengan pilihan anggota DPRD.

Hal tersebut terjadi karena masih kuatnya dominasi pimpinan partai politik (DPP) yang memberikan restu kepada calon yang boleh diajukan dalam arena pilkada. Dalam hal ini DPP partai politik dalam pelaksanaannya turut menentukan calon dan yang akan dipilih.

Sayangnya anggota DPRD lebih mendengarkan suara elite politik di partainya ketimbang suara rakyat yang diwakilinya. Juga terjadi politik uang pada proses pendaftaran hingga pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD mengingat penentu yang diterima dan tidak sebagai bakal calon adalah fraksi di DPRD.

Beberapa masalah itu kemudian digagas pilkada secara langsung oleh rakyat yang dikonkretkan dengan terbitnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Perubahan hukum pilkada terjadi pada cara memilih kepala daerah. Semula pilkada dilakukan atas dasar pencalonan fraksi-fraksi di DPRD dan dipilih oleh anggota DPRD menjadi dicalonkan oleh partai politik yang memperoleh suara 15 persen dari jumlah kursi DPRD kemudian dipilih secara langsung oleh rakyat.

Dominasi pemerintah pusat memang berkurang, tapi semangat sentralistik masih terasa. Hal itu masih dirasakan cara partai politik mengajukan calon gubenur, bupati, atau wali kota masih menggunakan restu-restuan dari DPP partai politik yang berkantor di Jakarta.

Harus dipahami juga, jika gagasan ini disetujiui DPR dan disahkan Presiden, maka akan terjadi perubahan konsekuensi pertanggungjawaban. Sebab, jika bupati/wali kota dipilih oleh rakyat, maka bupati/wali kota bertanggungjawab kepada rakyat. Dengan demikian jika dipilih oleh DPRD, maka bupati/wali kota bertanggung jawab kepada DPRD. Pengalaman tahun tahun lalu, ketika bupati/wali kota dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD, bupati/wali kota cukup repot menghadapi manuver politik anggota DPRD saat bupati/wali kota menyampaikan laporan pertanggungjawaban per tahunnya. Tentu saja hal ini cukup mengganggu jalannya pemerintahan.

Selain itu, pemilihan pilkada oleh DPRD mengandung beberapa kelemahan, yakni terjadi ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan antara kepala daerah selaku penyelenggara kekuasaan eksekutif dan DPRD sebagai lembaga legislatif. Dapat dipastikan akan terjadi model pemerintahan yang berbentuk legislative heavy karena kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya, yakni DPRD.

Jika ini yang terjadi, justru bertolak belakang dengan gagasan demokratisasi yang menghendaki adanya check and balances berbasis trias politica. Kepala daerah akan diperlakukan sebagai "bawahan" DPRD dan dipermainkan oleh DPRD jika kepala daerah tidak mengakomodasi kepentingan politik anggota Dewan Perwakilan Daerah. Kondisi ini akan mempersempit kebebasan kepala daerah dalam berinovasi membangun daerahnya.

Makna Pasal 18 (4) UUD 1945

Merujuk pada dua ketentuan yang termuat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 56 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tidak ditemukan satu kata pun bahwa pilkada diselenggarakan secara langsung. Yang ditemukan adalah kata dipilih secara demokratis.

Maka perlu dikupas lebih jauh makna kata demokratis. Sebab, demokratis bisa dimaknai demokrasi secara langsung, demokrasi secara perwakilan, atau bahkan secara progresif dapat diartikan disetujui oleh seluruh rakyat secara aklamasi, pun juga cara yang tidak kurang nilai demokratisnya.

Maka, pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati yang sejak berlakunya UU No 32 Tahun 2004 diselenggarakan secara langsung saja, tapi bisa dilakukan dengan tiga cara: demokrasi perwakilan oleh DPRD, demokrasi secara langsung oleh rakyat, atau secara aklamasi.

Khusus untuk pemilihan gubernur, bisa dengan alternatif gubernur dipilih oleh anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kota/kabupaten dalam wilayah provinsi, tapi pertanggungjawaban tetap pada rakyat. Dengan demikian gagasan ini bisa dijadikan jalan lain  antara pemilihan gubernur oleh DPRD dan secara langsung oleh rakyat atau secara penetapan oleh DPRD, (contoh gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta). Cara-cara tersebut tidak melampau makna dipilih secara demokratis sehingga tidak melanggar ketentuan UUD 1945.

Untuk menentukan pilihan apakah dilakukan secara langsung, dipilih oleh DPRD atau penetapan oleh DPRD dikembalikan kepada kemauan dan kesiapan daerah masing masing. Selama ini, pemilukada yang diselenggarakan secara langsung sudah berjalan baik, maka terus diselenggarakan secara langsung. Sedangkan yang masih berujung konflik masif, perlu dipikirkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Pemerintah daerah bersama DPRD dan segenap komponen masyarakat diberi kebebasan menentukan apakah penyelenggaraan pilkada dilakukan secara langsung, perwakilan atau penetapan oleh DPRD. Sedangkan, untuk pemilihan gubernur bisa dilakukan dengan dipilih oleh anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kota/kabupaten dalam wilayah provinsi setempat.

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berdasarkan pada kemauan dan kesiapan masing masing daerah, maka dapat dipastikan penyelenggaraan pilkada akan dapat berlangsung lebih khidmat dan tidak kehilangan nilai demokrasinya. Sekarang tinggal daerah mana yang mencoba pilkada sesuai kondisi masyarakat setempat. Karena pada hakikatnya, rakyat Indonesia menghormati dan menghargai keanekaragaman, termasuk dalam hal berdemokrasi.

Sulardi

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement