Jumat 05 Sep 2014 18:30 WIB

Menuntut Israel

Red:

Lima puluh hari penyerangan Israel ke Palestina menampilkan realitas kejahatan atas kemanusiaan di Jalur Gaza. Sebanyak 2.101 anak dan perempuan Gaza yang tewas menjadi bukti atas perilaku ini. Lebih dari 17 ribu permukiman penduduk, rumah sakit, rumah ibadah, sekolah, universitas, dan kantor yang hancur.

Sedangkan, 475 ribu penduduk Gaza menjadi pengungsi internal atau internally displaced people (IDPs). Mungkinkah hukum humaniter internasional efektif digunakan Palestina menyeret Israel ke Mahkamah Pidana Intenasional (ICC)?

Sebagai bagian terbesar pada hukum internasional publik, hukum humaniter berlaku dalam konflik bersenjata dan bertujuan ganda: mengatur perilaku permusuhan (conduct of hostilities) dan melindungi korban konflik bersenjata (Hukum Humaniter Internasional, 2008). Dikenal juga dengan hukum konflik bersenjata atau hukum perang (ius in bello), hukum ini berpijak pada Konvensi Jenewa 1949 dan dua Protokol Tambahan 1977.

Hukum ini berisi beberapa aturan dasar, di antaranya, pihak yang terlibat konflik harus setiap saat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan. Penduduk sipil secara keseluruhan maupun secara individual tidak boleh diserang. Penyerangan hanya boleh dilakukan terhadap objek militer.

Pihak yang terlibat konflik maupun para anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai hak yang tak terbatas untuk memilih sarana dan cara berperang. Selanjutnya, disimpulkan bahwa pelaku kejahatan perang adalah aktor yang melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional.

Di samping pemahaman di atas, tindakan deportasi atau pemindahan penduduk secara melawan hukum dan penjarahan barang-barang milik publik atau milik pribadi juga termasuk kejahatan perang. Lebih jauh, hukum humaniter internasional tidak menjawab pertanyaan apakah suatu perang sah atau tidak (ius ad bellum). Keabsahan ini merupakan ranah analisis piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada domain ini, kita menjadi sadar mengapa Israel dibenarkan, bahkan dibantu Amerika dan sekutunya ketika menduduki Palestina pada 1948.

Dalam Islam, pemisahan antara legalitas perang dan hukum humaniter tidak terjadi. Dua hal ini terintegrasi dalam aturan yang kolektif. Islam memaknai perang sebagai sarana pembelaan diri dan metode penghapus kemungkaran yang berbasis human values. Konstruksi perang juga berpijak pada term jihad, sebagai perang yang adil (bellum justum) di mana perang menjadi wajib (defence of war) ketika ada kelompok yang memerangi Islam dan kaum Muslimin. Sebaliknya, perang menjadi terlarang (unlawful war) jika ditujukan pada kelompok yang bersahabat dengan Islam dan tidak mengganggu jalannya dakwah Islamiyah.

Beberapa basis argumentasi yang menyebutkan alasan atau legalitas perang juga eksplisit ada pada surah al-Baqarah: 190, yang artinya, "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampui batas karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas."

Lebih jauh, prinsip ius ad bellum juga dijabarkan dalam surah al-Hajj: 39-40, "Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar kecuali karena mereka berkata, 'Tuhan kami hanyalah Allah' dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa."

Aspek hukum humaniter internasional dalam Surah al-Baqarah (2): 190 mengenai "melampui batas" juga diperluas pemaknaannya oleh al-Hasan al-Bisri sebagai tindakan mencincang musuh, membunuh wanita, anak-anak, orang lanjut usia yang tidak ikut berperang, atau nonkombatan lainnya. Konstruksi hukum humaniter internasional juga jauh sebelumnya telah diletakkan Rasulullah ketika memerintahkan Khalid untuk tidak membunuh perempuan, anak-anak, ataupun pekerja upahan dalam peperangan (HR Ibnu Majah).

Tantangan politik

Melacak dan menyeret perilaku Israel ke Mahkamah Pidana Internasional dengan variabel hukum humaniter tentu bukan hal mudah. Proses politik yang mendahuluinya seringkali menghambat penegakan keadilan ini. Ada dua hal utama yang menjadi acuan. Pertama, Israel dan kekuatan lobi internasionalnya.

Tidak diragukan, Amerika Serikat sebagai sekutu utama akan mengadang langkah-langkah Palestina. Selain memveto varian resolusi di Dewan Keamanan PBB yang menjadi dasar persetujuan ICC untuk berkerja, ada juga ancaman penghentian bantuan dari Inggris dan negara Eropa lainnya. Sesuatu yang sulit buat Palestina di saat hampir semua aspek kekuatan mereka tergerus.

Pertumbuhan ekonomi negara yang stagnan dan hancurnya aset-aset produktif, hampir menyisakan ketergantungan sepenuhnya pada bantuan asing. Pada tahap ini, tuntutan kolektivitas komunitas internasional, khususnya masyarakat Islam, menjadi signifikan dan krusial dalam menopang ekonomi mereka. Kedua aspek di dalam negeri Palestina sendiri atau domestik. Membawa kejahatan perang Israel ke mahkamah pidana internasional mengharuskan Palestina mengesahkan Statuta Roma di ICC.

Langkah ini jelas sering terjegal di saat kontestasi dan dinamika politik internal Palestina tidak satu suara. Heterogenitas basis perjuangan di antara kelompok moderat Fatah dan kelompok militan Islam seperti Hamas dan Jihad Islam kerap menjadi bumerang ketika masuk ranah diplomasi internasional. Seperti yang dikhawatirkan analis dari Ramallah, Abbas, upaya diplomasi menjadi sulit di saat para pemimpin militan mengarahkan rudal-rudal ke Israel. Untuk itu, mutlak diperlukan persatuan di ranah domestik Palestina sendiri.

Hanan Ashrawi, anggota komite eksekutif dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengungkap sikap Palestina saat ini di PBB (the New York Times). Ia menyatakan akhir dari ketimpangan rangkaian perundingan tak kunjung usai yang semakin merugikan Palestina.

Langkah diplomasi yang dijalankan Palestina tentu membutuhkan dukungan semua pihak. Tidak hanya komunitas Islam, tapi semua umat. Kemerdekaan adalah milik semua manusia. Dan ‘memanusiakan’ manusia jauh di atas semua hukum buatan manusia.

Hasbi Sidik, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Lampung

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement